Rabu, 01 Mei 2013

pengertian unsur api atau panas ( Tejo-Dhatu) menurut agama Buddha


TEJO-DHATU (Unsur api atau unsur panas)

Api merupakan suatu elemen yang mempunyai sifat panas, dapat membakar apapun yang ada dihadapanya dan menghasilkan cahaya atau sinar yang sangat terang. Seperti yang yang dijelaskan oleh Dhatu adalah unsur dari api, kekuatan untuk membakar, untuk menyala dan untuk menjadikan masaknya sifat-sifat materi. Sifat yang memasak ini karena sebab dari panas (kelapa)”. Dan api merupakan salah satu unsur pembentuk materi lainya, dengan kata lain semua benda merupakan gabungan dari empat unsur dan salah satunya api atau unsur panas. Suatu keadaan yang dapat berubah dan bercerai salah satunya dikarenakan oleh unsur panas.
Elemen api atau elemen panas merupakan elemen besar yang memiliki sifat internal atau eksternal. Apakah elemen api internal itu?”

DHAMMACETIYA SUTTA


DHAMMACETIYA SUTTA
(89)


Demikian telah saya dengar:

Add caption
1. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berada di negeri Sakya.  Di sana terdapat sebuah kota kaum Sakya yang bernama Medalumpa.

2. Pada saat itu Raja Pasenadi dari Kosala sudah tiba di Nangaraka untuk suatu urusan atau yang lain.  Kemudian beliau berkata kepada Digha Karayana: "Sobatku, apakah kereta telah siap ? Kita akan pergi ke Taman Hiburan untuk melihat tempat yang menyenangkan.  "

"Baik, Tuanku" jawabnya.  Ketika kereta istana sudah siap dia memberitahukannya kepada raja: "Tuanku, kereta telah siap.  Sekarang saatnya untuk melakukan seperti yang Tuan kehendaki.'

3. Kemudian, Raja Pasenadi menaiki keretanya dan pergi dari Nangaraka dengan penuh kebesaran. dia berjalan terus menuju Taman.  Beliau melakukannya sejauh perjalanan tersebut cocok untuk kereta, kemudian turun dari keretanya dan berjalan kaki.

4. Ketika ia berjalan dan berkeliling di Taman, beliau melihat akar-akar pohon yang menimbulkan kepercayaan dan keyakinan pada dirinya yang tenang dan tidak diganggu oleh suara-suara, dengan udara yang segar tempat seorang dapat mengasingkan diri dari masyarakat, baik untuk menyepi.  Suasana seperti itu mengingatkan ia kembali pada Sang Bhagava:

SANTHAVA-JATAKA


No.162

SANTHAVA-JATAKA

"Tak ada adalah lebih buruk ..." - Kisah ini diceritakan oleh sang Guru saat bertempat tinggal di Jetavana, tentang pemujaan api suci. Masalahnya sama seperti kelahiran Nanguttha yang dimaksud di atas. 

1. Para Bhikkhu, setelah mengamati kaum pemuja api, berkata kepada Yang Terberkahi, "Yang Mulia, ada petapa berambut jambul yang mempraktikkan segala macam pertapaan sesat. Apakah kebaikannya?" "Tak ada kebaikannya," kata Sang Guru. "Sebelumnya, para orang bijak pun berpendapat ada beberapa kebaikan dalam pemujaan api suci, tapi setelah melaksanakannya sekian lama, menyadari bahwa tiada kebaikannya, dan telah memadamkannya dengan air, dan memberes-bereskannya dengan kayu, tak pernah memandangnya begitu perlu sejak itu." Lalu Beliau menceritakan mereka kisahnya.

Danthabhumi Sutta


DANTABHUMI SUTTA
(125)
 
1.         Demikian telah saya dengar:
Pada suatu ketika Sang Bhagava menetap di Rajagaha
di   Vihara Veluvana, di Tempat Memberi Makan tupai-tupai.

2.       Pada saat itu Samanera Aciravata tinggal dalam gubuk di hutan.  Kemudian, ketika Pangeran Jayasena sedang berjalan-jalan sebagai latihan, ia menemui Samanera Aciravata dan memberikan hormat kepadanya, dan setelah tegur sapa menghormat dan ramah itu diucapkan, duduklah ia di satu sisi.  Setelah duduk, ia berkata: "Aggivessana, aku telah mendengar hal ini:

pengertian KSITIGARBHA BODHISATTVA (TI CHANG WANG PHU SA)


KSITIGARBHA BODHISATTVA
(TI CHANG WANG PHU SA)
Ksitigarbha dalam bahasa Sansekerta (क्षितिगर्भ Kitigarbha) dikenal dalam Buddhisme di Asia Timur sebagai seorang Bodhisattva Mahasattva, biasanya merupakan seorang Bhikkhu. Namanya dapat diartikan sebagai "Bendahara Bumi", "Simpanan Bumi", atau "Rahim Bumi." Ksitigarbha terkenal dengan sumpahnya guna mengambil alih tanggung jawab atas perintah kepada seluruh mahluk di enam dunia, pada masa antara kematian Buddha Gautama (Shakyamuni) dan kebangkitan Buddha Maitreya, juga akan sumpahnya untuk tidak mencapai pencerahan hingga seluruh neraka menjadi kosong. Oleh karena itu ia seringkali dianggap sebagai Bodhisattva akan mahluk-mahluk neraka. Biasanya ia digambarkan sebagai seorang bhikkhu dengan lingkaran cahaya mengelilingi kepalanya yang tercukur bersih, ia membawa tongkat untuk membuka paksa gerbang neraka danpermata pengabul permohonan untuk menerangi kegelapan.
            Pada saat itu, Sang Buddha mengangkat tangan emas-Nya dan menyentuh kepala Ksitigarbha Bodhisattva seraya bersabda:

pengertian vinayakamma serta pembahasannya


A.    Pengertian Vinaya Kamma
Vinaya Pitaka merupakan bagian pertama dari tiga bagian Tripitaka (kitab suci agama Buddha). Bagian ini berisi hal-hal yang berkenaan dengan peraturan-peraturan bagi para bhikkhu dan bhikkhuni. Jika peraturan peraturan tersebut dilanggar maka akan mengakibatkan apatti. Di dalam pelanggaran tersebut para bhikkhu harus paham mengenai vinayakamma. Didalam vinayakamma membahas tentang cara pengakuan apatti dan cara bagai mana seorang bhikkhu dalam mengambil sebuah keputusan (adhitthana).
B.     Cara Pengakuan Apatti
Di antara pelanggaran yang dilakukan oleh para bhikkhu terdapat satu jenis apatti yang tidak dapat diperbaiki lagi, yaitu parajika. Seorang bhikkhu yang telah melakukan parajika maka ia harus mengakui bahhwa ia telah melakukan pelanggaran dan kemudian meninggalkan kebhikkhuannya sesuai dengan masing-masing apatti. Cara untuk menyelesaikan majjhimapatti (kesalahan menengah) yaitu sangha-disesa, bhikkhu yang melakukan sangha-disesa tidak dapat membersihkan dirinya dari kesalahan tanpa bantuan bhikkhu lain yang mengerti tentang hal itu.
            Seorang bhikkhu yang telah melakukan pelanggaran dan kemudian telah menutup-nutupi perbuatannya tersebut baik dirinya sendiri maupun orang lain disebut alajji (tanpa malu), oleh sebab itu para bhikkhu tidak boleh melanggar batas-batas apatti dan jika melanggarnya maka mereka harus mengakuinya. Cara untuk melakukan lahukapatti adalah dengan mengakui kesalahan dihadapan bhikkhu lain, metode kesalahan tersebut terdapat dalam vinaya bagian uphosathakkandaka dari mahavagga.
Seorang bhikkhu yang telah melakukan apatti harus pergi ke bhikkhu lain dengan mengenakan jubah yang menutup bahu kiri, kemudian berjongkok dan bersikap anjali sambil berkata “aham avuso itthannamam apattim apanno tam pattidesemi (teman yang mulia, setelah melakukan pelanggaran aku mengakuinya)”.
Kemudian bhikkhu yang menerima pengakuan tersebut harus berkata “passasi (apakah kau melihatnya?)
Bhikkhu yang mengaku menjawab : ama passami (ya, aku melihatnya)
Bhikkhu penerima berkata : ayatim sanvareyyasi (kamu harus mengendalikan dirimu di waktu yang akan datang)
Dengan mengucapkan kata-kata demikian maka bhikkhu tersebut telah bersih dari apatti, dan apabila bhikkhu ragu-ragu dengan beberapa apatti maka ia harus mengucapkan sebagai berikut :
“aham avuso itthannamaya apatti vematiko yada
Nibbematiko bhavissami tada tam apattim patikkarissami
(teman yang mulia, saya meragukan tentang pelanggaran (nama apatti) tetapi ketika aku terbebas dari keragu-raguan itu, maka saya akan merubah apatti tersebut).
Menurut metode di atas maka apatti tersebut harus diakui ditempat tinggal seorang bhikkhu, kemudian ia harus memilih penerima pengakuan yang tinggal bersamanya dalam satu vihara dan dilarang melakukan pengakuan dihadapan bhikkhu yang tidak satu tempat dengannya. Di dalam mahavibbhanga, disebutkan bahwa jika terjadi seorang bhikkhu yang menghilangkan barang-barang milik sangha, maka bhikkhu yang melakukan nisagiya harus datang kesangha dengan mengenakan jubah yang menutup bahu kiri dan jongkok bersikap anjali sambil mengucapkan kata-kata penyia-nyiaan barang milik sangha sesuai dengan formula yang telah dilakukan dan mengakui apatti. Dengan cara demikian penyia-nyiaan milik sangha telah diketahui, pengakuan ini dilakukan diluar dari hattahapasa sangha, namun jika sebuah formula telah di buat didalam atthakatha yang menjadi kata-kata untuk menetapkan seorang bhikkhu agar menerima apati, sebagai berikut :
Sunatu me bhante sangho ayam itthannamao bhikkhu apatim sarati vivarati udanikaroti deseti yadi sanghassa pattakallam aham atthannamassa bhikkuno apatim patigganheyyam. (teman yang mulia biarkan sangha mendengarkan saya ini, bhikkhu ini “nama” ingat, mengungkapkan, menjelaskan dan mengumumkan apatti dari dirinya, apabila ada kesedihan penuh dari sangha, saya harus memberitahukan apatti dari bhikkhu “nama” . Dengan cara demikian maka apatti telah diakui dan diberitahukan didalam sangha.
Seorang bhikkhu harus mengakui satu pacittiya apatti dan mengakuinya ditempat kediaman seorang bhikkhu yang lebih yunior daripadanya, maka ia harus berkata “Aham avuso pacittiyam apattim apanno tam patidesemi” dan kemudian seorang bhikkhu yang menerima pengakuan berkata “passatha bhante”, pengaku menjawab “aham avuso passami”, penerima pengakuan berkata “ayatim bhante sanvareyyatha.
Apabila apati yang dilanggar memiliki dasar sama, misalnya mempunyai banyak jubah ekstra lebih dari sepuluh hari adalah satu nissagiya pacittiya bagi setiap jubahnya. Mereka disebut apatti yang memiliki dasar sama dan nama sama. Apatti ini dapat diakui bersama-sama pada waktu yang samadengan menggunakan kata sambahula, yang berarti banyak. Seorang bhikkhu boleh mengatakan sebagai berikut :
Aham avuso sambahula nissaggiya pacittiyayo
Apattiyo apanno ta patidesemi
Untuk  apati yang melibatkan dua hal, maka harus menggunakan kata dve=dua sebagai pengganti dari sambahula, tetapi apabila terdapat dua atau lebih kasus maka sambahula harus  dipakai. Kemudian apatti yang sama namanya tetapi mempunyai dasar yang berbeda seperti dukkata, dan tidak menghindari hal yang tidak pantas untuk dilihat, kemudian dalam keadaan tidak sakit memakai payung memasuki daerah pemukiman, duduk diatas sofa yang di isi dengan kapuk, semua adalah apatti dukkata, tetapi masing-masing apati mempunyai dasar yang berbeda. Semua apatti ini dapat diakui bersama-sama pada waktu yang sama dengan menggunakan kata “nanavatthukayo” yang artinya dengan dasar berbeda.
Apabila hanya dua dasar yang dilampaui dan jumlah apattinya juga hanya ada dua, maka kata-kata yang yang digunakan adalah dve nana-vatthukayo. Apabila apati lebih dari itu, maka kata-kata yang harus dipakai adalah “sambahula nanavathukayo”. Walaupun apatti dubbhasita (ucapan salah) timbul dari berbagai ejekan ,olok-olokan, namun dikatakan mempunyai dasar yang sama dan tidak timbul dari dasar-dasar berbeda, maka oleh karena itu ia harus diakui sebanyak apatti yang mempunyai dasar sama.
Dalam hal pengakuan apatti yang tidak jelas, maka bhikkhu yang mengaku bersalah itu harus menceritakan dasarnya (sifat dari pelanggarannya) kepada penerima pengakuan, tetapi ada larangan untuk mengakui dan memberitahukan kepada bhikkhu-bhikkhu yang membuat kesalahan yang sama (sabhagapatti). Oleh karena itu sebaiknya menceritakan dasar apatti kepada bhikkhu lain, kecuali seorang bhikkhu mengakui apatti di tempat tinggal dari seorang bhikkhu yang barusaja selesai mengakui apatti.
Apabila apatti dengan dasar yang sama dilanggar oleh dua orang bhikkhu atau lebih maka disebut sabhagapatti (apati dari jenis yang sama), dan apati tersebut harus diakui ditempat kediaman bhikkhu lain . dan apabila seluruh bhikkhu mempunyai subbhagapatti, maka seorang bhikkhu diharuskan mengakuinya dimana saja sedangkan sisanya harus mengakui ditempat tinggalnya , atau mengakui satu persatu kepada yang lain (yang sudah mengadakan pengakuan). Apabila bhikkhu tersebut dapat melakukannya, maka hal itu merupakan sesuatu yang baik, bila tidak dapat demikian maka ia harus melakukannya pada hari uposatha kepada sangha.  Sekali pengumuman ini diumumkan maka uposatha dapat dilaksanakan . apabila disana terdapat bhikkhu-bhikkhu yang telah mengakui dan memberitahukan sabhagapatti bersama-sama dan menganggap seolah-olah apatti tersebut telah diakui,. Maka hal tersebut adalah dukkata baik bagi pengaku kesalahan maupun penerima pengakuan.
Apatti itu harus diakui sesuai dengan nama, dasar dan jumlahnya. Pengakuan terhadap apatti dengan menggunakan nama yang salah tidak boleh dilakukan. Apabila terdapat kesalahan mengenai dasar dan jumlahnya, melakukan banyak apatti dan mengakui sedikit saja,maka hal ini tidak boleh dilakukan. Tetapi sedikit melakukan apatti dan mengakui seperti banyak apatti boleh dilakukan.
Apatti dengan nama-nama berbeda tidak dapat secara kolektif diakui dalam waktu yang sama. Para bhikkhu harus mengakuinya satu per-satudan dilarang banyak bhkkhu secara bersama-sama (pada waktu yang bersamaan) untuk mengakui apatti di tempat kediaman seorang bhikkhu. Hal ini tidak boleh dilakukan karena apatti yang dilakukan para b hikkhu tidak sama. Dan dilarang untuk mengaku di tempat kediaman dari empat atau lima orang bhikkhu yang tinggal di luar sima. Ini berarti bahwa tempat itu tidak dapat dibuat sebagai tempat Sanghakamma.
Nama-nama dari apatti tunggal yang harus diucapkan demikian: thullaccaya apattim nissaggiya pacittiyam apattim, pacittiyam apattim, dukkhatam, apattim dan dubbhasitam apattim menurut apatti. Apabila terdapat banyak apatti ia harus dikatakan sebagai berikut: thullaccayo apattiyo. Dan kata-kata dve atau sambahula bag apatti yang mempunyai satu dasar dan tambahkan nanavatthukayo bagi dasar-dasar yang berbeda itu. Apabila disebut Patidesaniya (yang harus diakui) mempunyai kata-kata jelas yang diberikan untuk pengakuannya dalam naskah dari Patimokkha. Gerayham avuso dhammam apajjim asappayam patidesaniyam tatidemi. Artinya “teman yang mulia saya telah melakukan perbuatan yang patut disalahkan yang tidak biasa dan harus diakui kesalahannya. Untuk itu saya mengakuinya”.
Seorang bhikkhu yang melakukan apatti tetapi tidak mengakuinya dalam bahasa vinaya disebut sebagai “seorang yang tidak melihat apatti” atau ia mengaku telah melakukan apatti dan tidak melakukan pengakuan maka ia dinamakan “seorang yang tidak melakukan perbaikan”. Dalam kedua dasarini Sang Buddha memperkenankan Sangha untuk ikut campur dalam menjatuhkan hukuman ikkhepaniya-kamma.
Bhikkhu seperti itu dihalang-halangi dari samvasa, makan dan tidur bersama-sama dengan bhikkhu lain. Bhikkhu itu disebut “ukkhitako”, yang artinya “seorang yang ditinggalkan diluar sangha”. Apabila ada seorang bhikkhu yang berhubungan dengan bhikkhu tersebut maka ia melakukan pacittiya menurut eraturan latihan kesembilan dari sappanavagga dalam pacittiya.
Apabila bhikkhu itu mengakuinya atau melihat pelanggarannya sebagai suatu apatti atau ia berkeinginan untuk membuat perbaikan-perbaikan. Sangha dapat membuat suatu pengumuman untuk mengakhiri ukkhepaniya-kamma tersebut, sehingga ia diperbolehkan masuk dalam anggota Sangha sebagaimana sebelumnya.

C.    Mengambil Keputusan (Adhitthana)
Seorang bhikkhu dibolehkan untuk memiliki beberapa alat-alat kebutuhan sebagai milik pribadi, namun tidak dibolehkan untuk mempunyai lebih dari jumlah yang diperbolehkan atau lebih lama dari batas waktu yang ditentukan. Apabila seorang bhikkhu ingin menyimpan alat-alat keperluan sebagai milik pribadi, ia harus membuat adhitthana (ketetapan hati atau tekad) tehadap alat keperluan mereka.
Alat keperluan itu harus disebutkan namanya saat melakukan adhitthana, misalnya: sanghati, uttarasanga, anataravasaka yang secara kolektif disebut tiga jubah. Dalam setiap membuat adhitthana harus menyebutkan satu nama yang sesuai untuk masing-masing alat kebutuhan tersebut. Seorang bhikkhu hanya boleh memiliki satu mangkok, maka aditthana hanya untuk satu mangkok yang dipakai.
Sehelai kain untuk duduk (nisidana) dapat melakukan adhitthana sepeti diatas. Kain alas tidur (paccattharana), kain untuk memersihkan muka dan mulut (mukhapunchana), kain unuk menyaring air, tas untuk mangkok, tas bahu, kain pembungkus disebut sebagai

Perkembangan agama Buddha di Myanmar


Perkembangan agama Buddha di Myanmar
1) Masuknya agama Buddha di Myanmar :
a) Agama asli masyarakat Myanmar (Burma) adalah Nat, yaitu kepercayaan terhadap roh.
b)  Etnis Myanmar adalah:
i.               Mon (Khmer)
ii. Pyu (orang Tibet – Burma)
i.      Myanmar (Burma) kemungkinan berasal dari Asia Tengah, dan
ii.    Shan (Siam)

c)      Komunitas india berdiam dibelakang pantai Bengal sampai Kalimantan, sedangkan di Myanmar mereka berada di Thaton (Suddhammapura/ Sudhanmawati), Pegu (Ussa/ Hamsavati), Yangon (Ukkala), dan Arakan (Dhannavati) di sepanjang Tenasseri. Komunitas pedagang india di pantai selatan Myanmar yang membawa budaya dan agama Hindu, berhubungan dengan etnis Mon. Dengan demikian mereka terlebih dahulu mengenal agama hindu.
d)     Sebelum agama Buddha Theravada telah berkembang Ari Budhisme, yaitu sinkretisme dari agama Buddha Mahayana (Vajrayana), Hindu, dan Nat.
e)      Sejarah agama Buddha Myanmar bersumber pada Sasanavamsa, yaitu babab yang ditulis dalam Bahasa Pali oleh Bhikkhu Pannasami.
f)       Dalam Sasanavamsa diceritakan kunjungan Buddha ke Myanmar yaitu:

Kamboja
Kamboja berbatasan dengan Thailand di Barat, Laos di Utara, Vietnam di Timur, dan Teluk Thailand di Selatan, tepatnya di lembah Mekong antara Thailand dan Vietnam. Kepercayaan awal adalah Brahmanisme. Agama Buddha masuk ke Kamboja dipercaya pada abad ke- 5, pada masa Raja Rudravarman dari Dinasti Funan (negara bagian pertama yang sekarang Kamboja) yang dipercaya telah mengklaim orang –orangnya menghormati relik rambut panjang Buddha. Pada abad ke- 5 sampai ke- 6 Theravada dan bahasa Sanskerta dikembangkan di Funan, sedangkan pada abad ke- 7 bahasa Pali masuk ke wilayah Selatan Kerajaan Funan. Mahayana mulai berkembang pada masa pemerintahan Jayavarman VII (1181 - 1220) dari Dinasti Angkor. Jayavarman sebagai pengikut Buddha yang taat telah melakukan kebajikan yaitu membangun 798 candi dan 102 rumah sakit, sehingga ia mendapat gelar anumerta Mahaparamasaugata. Setelah kematian Jayavarman, Mahayana tergantikan Theravada.
Pada abad ke- 19 – 20 ketika Perancis menguasai Kamboja, agama Buddha mengalami kemunduran dan berkembang lagi sejak terbebasnya dari Perancis. Masyarakat Kamboja menganut agama Buddha Theravada, Hindu (Dewa Siwa), Kristen, dan Islam. Agama Buddha di Kamboja menjadi dasar secara Nasional sesuai peraturan tahun 1943 dan 1948. Kelompok kebhikkhuan yaitu Thommayut dan Mohanikay. Thommayut dengan pengikut sedikit diperkenalkan pada tahun 1864 dengan dukungan keluarga kerajaan, namun terbatas pada Phnom Penh. Mohanikay memiliki pengikut sebanyak

PERKEMBANGAN AGAMA BUDDHA DI ASIA TENGGARA DARATAN khususnya negara thailand


PERKEMBANGAN AGAMA BUDDHA DI ASIA TENGGARA DARATAN

2.2.1. Thailand
Masuknya Buddhisme di Thailand menurut sejarah mulai diperkenalkan selama pemerintahan Asoka. Sumber lain menyebutkan bahwa berdasarkan temuan arkeologi dan temuan sejarah lain menyebutkan bahwa Buddhismer masuk ke Thailand ketika etnis Mon – Khmer dari Dvaravati diketahui sekarang berada di Nakon Pathom (Nagara Prathama) sebelah barat Bangkok. Adanya pagoda besar di Nakon Pathom bernama Pathom Chedi (Pathama Cetiya) seperti Stupa Sanchi di India yang diasumsikan sebagai pagoda pertama di Suvannabhumi, dan temuan sejarah lainnya menunjukkan bahwa ajaran Buddha dalam bentuk lain mencapai Thailand pada empat periode yang berbeda yaitu :

perkembangan agama buddha di negara filipina


Perkembangan Agama Buddha di Filipina
Filipina mendapat pengaruh Buddhisme Vajrayana pada abad ke- 7 ketika kerajaan Sriwijaya menguasai Malaysia yang berlangsung selama abad ke- 7 sampai abad ke-13. Kekuasaan Sriwijaya di Filipina terbukti dengan adanya “Lempeng Tembaga Laguna” yang ditulis dalam tulisan Kawi, dan bahasa campuran Tagalong, Malay Lama, dan Sanskerta pada tahun 900 M. Antara abad ke- 14 sampai abad ke- 20 datang pedagang Cina dan India yang membawa ajaran Buddha dan ikonografi Buddhis dengan bukti adanya patung Buddha dan artefak pada zaman ini. Sekte yang berkembang adalah Mahayana, Nichiren, Theravada dan Vajrayana. Sekte Nichiren diperkenalkan bhikkhu dari Jepang pada abad ke- 13. Sekte Theravada diperkenalkan dari Sri Lanka dan Thailand. Sekte Vajrayana diperkenalkan dari Tibet. Di Thailand ditemukan arkeologi dengan penanggalan abad ke- 7 berupa patung Buddha ikonografi Vajrayana, patung Padmapadi dan Tara Emas yang ditemukan pada 1917 di Esperanza. Terjadi perdagangan dengan Champa (Vietnam) pada abad ke- 9 di Butuan (Mindanao, Filipina Selatan) dan di Ma-I (Mindoro, Filipina Tengah) dengan pengaruh Buddha yang kuat. Pada tahun 1001 M pengauasa Buddhis Bhutan, Saru Bata Shaja, membuat anak sungai ke Cina diikuti penguasa Basilan (Filipina Selatan) dan Pangasinan (Filipina Utara) empat ratus kemudian. Masa penguasaan Spanyol :

perkembangan buddhis di negara Singapura dan malaysia


2.1. PERKEMBANGAN AGAMA BUDDHA DI ASIA TENGGARA MARITIM
2.1.1.  Perkembangan Agama Buddha di Singapura
Agama Buddha pertama kali masuk ke Singapura diperkirakan terpengaruh oleh Kerajaan Sriwijaya. Agama Buddha di Singapura dinut oleh mayoritas ernis Cina, kemudian Sri Lanka, dan Thailand. Sekte yang berkembang paling dominan adalah Mahayana, Theravada, dan Vajrayana (Tibet). Perwakilan organisasi Buddhis di Singapura disebut Singapore Buddhist Federation. Pemuda-pemudi Buddhis Singapura tergabung dalam organisasi yang terdapat di Candi Kong Meng San Kark See, Singapore Buddhist Mission Youth, WAY (Wat Ananda Youth), The Buddha Fellowship, NUS Buddhist Society, NTU Buddhist Society, Singapore Polytechnic Buddhist Society, Nanyang Polytechnic Buddhist Society, Ngee Ann Polytechnic Buddhist Society, Amitabha Buddhist Centre, Firefly Mission, YBC (Young Buddhist Chapter), 3GEMS (Buddhist guided tours), dan sebagainya. Perkembangan agama Buddha didukung oleh bhikkhu-bhikkhu dari Sri Lanka, Thailand, dan dari Negara Timur Selatan yang mengajarkan Dhamma ke Singapura. Di Singapura, muncul vihara-vihara Theravada seperti Candi Sakyamuni Buddha Gaya. Muncul organisasi Buddhis Jepang yaitu Soka Gokai International. Candi Buddha Mahayana Cinadi Singapura yaitu Vihara Kong Meng San Phor Kark, Vihara Theravada adalah Wat Ananda Metyarama.

2.1.2.  Perkembangan Agama Buddha di Malaysia
Agama Buddha adalah agama terbesar kedua di Malaysia yang dianut oleh etnis Cina di Malaysia. Penyebaran agama Buddha di Malaysia terjadi pada abad ke- 2 SM dan adanya pedagang India ke tanah Melayu. Periode perkembangan agama Buddha di Malaysia yaitu :