Rabu, 01 Mei 2013

pengertian vinayakamma serta pembahasannya


A.    Pengertian Vinaya Kamma
Vinaya Pitaka merupakan bagian pertama dari tiga bagian Tripitaka (kitab suci agama Buddha). Bagian ini berisi hal-hal yang berkenaan dengan peraturan-peraturan bagi para bhikkhu dan bhikkhuni. Jika peraturan peraturan tersebut dilanggar maka akan mengakibatkan apatti. Di dalam pelanggaran tersebut para bhikkhu harus paham mengenai vinayakamma. Didalam vinayakamma membahas tentang cara pengakuan apatti dan cara bagai mana seorang bhikkhu dalam mengambil sebuah keputusan (adhitthana).
B.     Cara Pengakuan Apatti
Di antara pelanggaran yang dilakukan oleh para bhikkhu terdapat satu jenis apatti yang tidak dapat diperbaiki lagi, yaitu parajika. Seorang bhikkhu yang telah melakukan parajika maka ia harus mengakui bahhwa ia telah melakukan pelanggaran dan kemudian meninggalkan kebhikkhuannya sesuai dengan masing-masing apatti. Cara untuk menyelesaikan majjhimapatti (kesalahan menengah) yaitu sangha-disesa, bhikkhu yang melakukan sangha-disesa tidak dapat membersihkan dirinya dari kesalahan tanpa bantuan bhikkhu lain yang mengerti tentang hal itu.
            Seorang bhikkhu yang telah melakukan pelanggaran dan kemudian telah menutup-nutupi perbuatannya tersebut baik dirinya sendiri maupun orang lain disebut alajji (tanpa malu), oleh sebab itu para bhikkhu tidak boleh melanggar batas-batas apatti dan jika melanggarnya maka mereka harus mengakuinya. Cara untuk melakukan lahukapatti adalah dengan mengakui kesalahan dihadapan bhikkhu lain, metode kesalahan tersebut terdapat dalam vinaya bagian uphosathakkandaka dari mahavagga.
Seorang bhikkhu yang telah melakukan apatti harus pergi ke bhikkhu lain dengan mengenakan jubah yang menutup bahu kiri, kemudian berjongkok dan bersikap anjali sambil berkata “aham avuso itthannamam apattim apanno tam pattidesemi (teman yang mulia, setelah melakukan pelanggaran aku mengakuinya)”.
Kemudian bhikkhu yang menerima pengakuan tersebut harus berkata “passasi (apakah kau melihatnya?)
Bhikkhu yang mengaku menjawab : ama passami (ya, aku melihatnya)
Bhikkhu penerima berkata : ayatim sanvareyyasi (kamu harus mengendalikan dirimu di waktu yang akan datang)
Dengan mengucapkan kata-kata demikian maka bhikkhu tersebut telah bersih dari apatti, dan apabila bhikkhu ragu-ragu dengan beberapa apatti maka ia harus mengucapkan sebagai berikut :
“aham avuso itthannamaya apatti vematiko yada
Nibbematiko bhavissami tada tam apattim patikkarissami
(teman yang mulia, saya meragukan tentang pelanggaran (nama apatti) tetapi ketika aku terbebas dari keragu-raguan itu, maka saya akan merubah apatti tersebut).
Menurut metode di atas maka apatti tersebut harus diakui ditempat tinggal seorang bhikkhu, kemudian ia harus memilih penerima pengakuan yang tinggal bersamanya dalam satu vihara dan dilarang melakukan pengakuan dihadapan bhikkhu yang tidak satu tempat dengannya. Di dalam mahavibbhanga, disebutkan bahwa jika terjadi seorang bhikkhu yang menghilangkan barang-barang milik sangha, maka bhikkhu yang melakukan nisagiya harus datang kesangha dengan mengenakan jubah yang menutup bahu kiri dan jongkok bersikap anjali sambil mengucapkan kata-kata penyia-nyiaan barang milik sangha sesuai dengan formula yang telah dilakukan dan mengakui apatti. Dengan cara demikian penyia-nyiaan milik sangha telah diketahui, pengakuan ini dilakukan diluar dari hattahapasa sangha, namun jika sebuah formula telah di buat didalam atthakatha yang menjadi kata-kata untuk menetapkan seorang bhikkhu agar menerima apati, sebagai berikut :
Sunatu me bhante sangho ayam itthannamao bhikkhu apatim sarati vivarati udanikaroti deseti yadi sanghassa pattakallam aham atthannamassa bhikkuno apatim patigganheyyam. (teman yang mulia biarkan sangha mendengarkan saya ini, bhikkhu ini “nama” ingat, mengungkapkan, menjelaskan dan mengumumkan apatti dari dirinya, apabila ada kesedihan penuh dari sangha, saya harus memberitahukan apatti dari bhikkhu “nama” . Dengan cara demikian maka apatti telah diakui dan diberitahukan didalam sangha.
Seorang bhikkhu harus mengakui satu pacittiya apatti dan mengakuinya ditempat kediaman seorang bhikkhu yang lebih yunior daripadanya, maka ia harus berkata “Aham avuso pacittiyam apattim apanno tam patidesemi” dan kemudian seorang bhikkhu yang menerima pengakuan berkata “passatha bhante”, pengaku menjawab “aham avuso passami”, penerima pengakuan berkata “ayatim bhante sanvareyyatha.
Apabila apati yang dilanggar memiliki dasar sama, misalnya mempunyai banyak jubah ekstra lebih dari sepuluh hari adalah satu nissagiya pacittiya bagi setiap jubahnya. Mereka disebut apatti yang memiliki dasar sama dan nama sama. Apatti ini dapat diakui bersama-sama pada waktu yang samadengan menggunakan kata sambahula, yang berarti banyak. Seorang bhikkhu boleh mengatakan sebagai berikut :
Aham avuso sambahula nissaggiya pacittiyayo
Apattiyo apanno ta patidesemi
Untuk  apati yang melibatkan dua hal, maka harus menggunakan kata dve=dua sebagai pengganti dari sambahula, tetapi apabila terdapat dua atau lebih kasus maka sambahula harus  dipakai. Kemudian apatti yang sama namanya tetapi mempunyai dasar yang berbeda seperti dukkata, dan tidak menghindari hal yang tidak pantas untuk dilihat, kemudian dalam keadaan tidak sakit memakai payung memasuki daerah pemukiman, duduk diatas sofa yang di isi dengan kapuk, semua adalah apatti dukkata, tetapi masing-masing apati mempunyai dasar yang berbeda. Semua apatti ini dapat diakui bersama-sama pada waktu yang sama dengan menggunakan kata “nanavatthukayo” yang artinya dengan dasar berbeda.
Apabila hanya dua dasar yang dilampaui dan jumlah apattinya juga hanya ada dua, maka kata-kata yang yang digunakan adalah dve nana-vatthukayo. Apabila apati lebih dari itu, maka kata-kata yang harus dipakai adalah “sambahula nanavathukayo”. Walaupun apatti dubbhasita (ucapan salah) timbul dari berbagai ejekan ,olok-olokan, namun dikatakan mempunyai dasar yang sama dan tidak timbul dari dasar-dasar berbeda, maka oleh karena itu ia harus diakui sebanyak apatti yang mempunyai dasar sama.
Dalam hal pengakuan apatti yang tidak jelas, maka bhikkhu yang mengaku bersalah itu harus menceritakan dasarnya (sifat dari pelanggarannya) kepada penerima pengakuan, tetapi ada larangan untuk mengakui dan memberitahukan kepada bhikkhu-bhikkhu yang membuat kesalahan yang sama (sabhagapatti). Oleh karena itu sebaiknya menceritakan dasar apatti kepada bhikkhu lain, kecuali seorang bhikkhu mengakui apatti di tempat tinggal dari seorang bhikkhu yang barusaja selesai mengakui apatti.
Apabila apatti dengan dasar yang sama dilanggar oleh dua orang bhikkhu atau lebih maka disebut sabhagapatti (apati dari jenis yang sama), dan apati tersebut harus diakui ditempat kediaman bhikkhu lain . dan apabila seluruh bhikkhu mempunyai subbhagapatti, maka seorang bhikkhu diharuskan mengakuinya dimana saja sedangkan sisanya harus mengakui ditempat tinggalnya , atau mengakui satu persatu kepada yang lain (yang sudah mengadakan pengakuan). Apabila bhikkhu tersebut dapat melakukannya, maka hal itu merupakan sesuatu yang baik, bila tidak dapat demikian maka ia harus melakukannya pada hari uposatha kepada sangha.  Sekali pengumuman ini diumumkan maka uposatha dapat dilaksanakan . apabila disana terdapat bhikkhu-bhikkhu yang telah mengakui dan memberitahukan sabhagapatti bersama-sama dan menganggap seolah-olah apatti tersebut telah diakui,. Maka hal tersebut adalah dukkata baik bagi pengaku kesalahan maupun penerima pengakuan.
Apatti itu harus diakui sesuai dengan nama, dasar dan jumlahnya. Pengakuan terhadap apatti dengan menggunakan nama yang salah tidak boleh dilakukan. Apabila terdapat kesalahan mengenai dasar dan jumlahnya, melakukan banyak apatti dan mengakui sedikit saja,maka hal ini tidak boleh dilakukan. Tetapi sedikit melakukan apatti dan mengakui seperti banyak apatti boleh dilakukan.
Apatti dengan nama-nama berbeda tidak dapat secara kolektif diakui dalam waktu yang sama. Para bhikkhu harus mengakuinya satu per-satudan dilarang banyak bhkkhu secara bersama-sama (pada waktu yang bersamaan) untuk mengakui apatti di tempat kediaman seorang bhikkhu. Hal ini tidak boleh dilakukan karena apatti yang dilakukan para b hikkhu tidak sama. Dan dilarang untuk mengaku di tempat kediaman dari empat atau lima orang bhikkhu yang tinggal di luar sima. Ini berarti bahwa tempat itu tidak dapat dibuat sebagai tempat Sanghakamma.
Nama-nama dari apatti tunggal yang harus diucapkan demikian: thullaccaya apattim nissaggiya pacittiyam apattim, pacittiyam apattim, dukkhatam, apattim dan dubbhasitam apattim menurut apatti. Apabila terdapat banyak apatti ia harus dikatakan sebagai berikut: thullaccayo apattiyo. Dan kata-kata dve atau sambahula bag apatti yang mempunyai satu dasar dan tambahkan nanavatthukayo bagi dasar-dasar yang berbeda itu. Apabila disebut Patidesaniya (yang harus diakui) mempunyai kata-kata jelas yang diberikan untuk pengakuannya dalam naskah dari Patimokkha. Gerayham avuso dhammam apajjim asappayam patidesaniyam tatidemi. Artinya “teman yang mulia saya telah melakukan perbuatan yang patut disalahkan yang tidak biasa dan harus diakui kesalahannya. Untuk itu saya mengakuinya”.
Seorang bhikkhu yang melakukan apatti tetapi tidak mengakuinya dalam bahasa vinaya disebut sebagai “seorang yang tidak melihat apatti” atau ia mengaku telah melakukan apatti dan tidak melakukan pengakuan maka ia dinamakan “seorang yang tidak melakukan perbaikan”. Dalam kedua dasarini Sang Buddha memperkenankan Sangha untuk ikut campur dalam menjatuhkan hukuman ikkhepaniya-kamma.
Bhikkhu seperti itu dihalang-halangi dari samvasa, makan dan tidur bersama-sama dengan bhikkhu lain. Bhikkhu itu disebut “ukkhitako”, yang artinya “seorang yang ditinggalkan diluar sangha”. Apabila ada seorang bhikkhu yang berhubungan dengan bhikkhu tersebut maka ia melakukan pacittiya menurut eraturan latihan kesembilan dari sappanavagga dalam pacittiya.
Apabila bhikkhu itu mengakuinya atau melihat pelanggarannya sebagai suatu apatti atau ia berkeinginan untuk membuat perbaikan-perbaikan. Sangha dapat membuat suatu pengumuman untuk mengakhiri ukkhepaniya-kamma tersebut, sehingga ia diperbolehkan masuk dalam anggota Sangha sebagaimana sebelumnya.

C.    Mengambil Keputusan (Adhitthana)
Seorang bhikkhu dibolehkan untuk memiliki beberapa alat-alat kebutuhan sebagai milik pribadi, namun tidak dibolehkan untuk mempunyai lebih dari jumlah yang diperbolehkan atau lebih lama dari batas waktu yang ditentukan. Apabila seorang bhikkhu ingin menyimpan alat-alat keperluan sebagai milik pribadi, ia harus membuat adhitthana (ketetapan hati atau tekad) tehadap alat keperluan mereka.
Alat keperluan itu harus disebutkan namanya saat melakukan adhitthana, misalnya: sanghati, uttarasanga, anataravasaka yang secara kolektif disebut tiga jubah. Dalam setiap membuat adhitthana harus menyebutkan satu nama yang sesuai untuk masing-masing alat kebutuhan tersebut. Seorang bhikkhu hanya boleh memiliki satu mangkok, maka aditthana hanya untuk satu mangkok yang dipakai.
Sehelai kain untuk duduk (nisidana) dapat melakukan adhitthana sepeti diatas. Kain alas tidur (paccattharana), kain untuk memersihkan muka dan mulut (mukhapunchana), kain unuk menyaring air, tas untuk mangkok, tas bahu, kain pembungkus disebut sebagai
kebutuhan kecil (parikkharacola). Semuanya tidak dibatasi jumlahnya dan boleh dipakai dalam jumlah secukupnya. Terhadap  yang kain-kain tersebut boleh mengambil adhitthana ada setiap waktu. Tetapi kain untuk menutup luka hanya boleh mengambil adhitthana pada waktu sakit saja. Diperbolehkan adhitthana untuk satu kain hujan selama vassa (empat bulan muim penghujan). Adhitthana kedua kebutuhan ini harus dicabut kembali bila waktu pemakaiannya telah berakhir.
Kata-kata adhitthana untuk alat keperluan, misalnya mengambil jubah sebagai sanghati adalah: imam sanghatim adhitthami, yang berarti “aku memutuskan (memakai) sanghati ini”, “aku memutuskan ini sebagai sanghati”. Untuk adhitthana dalam kasus alat-alat kebutuhan lain kata sanghatim boleh diubah sebagai berikut:
1)      Uttarasangam                          : untuk jubah bagian atas
2)      Antaravasakam                        : untuk jubah bagian bawah
3)      Nisadanam                              : untuk kain duduk
4)      Kandupaticchadim                  : untuk kain penutup borok dan luka
5)      Vassikasatikam                        : untuk kain hujan
6)      Paccattharanam                       : untuk kain tidur
7)      Mukhapunchanacolam            : untuk kain pengelap muka dan mulut
8)      Parikkharacolam                      : kain untuk keperluan lain
Kata-kata untuk memutuskan kain dengan mengambil kain untuk alas tidur adalah sebagai berikut: imani paccattharanani adhitthami, yang berarti “aku memutuskan kain ini untuk tidur” atau “aku memutuskan kain ini adalah kain untuk tidur”. Untuk memutuska kain-kain lain sebagai alat keperluan, kata paccattharanani harus diubah sebagai berikut:
1)   Mukhapunckanacoleni             : untuk kain pnglap muka dan mulut
2)    Parikkharacolani                      : kain untuk keperluan lain
Ada dua jenis adhitthana yaitu: adhitthana dengan badan dan adhitthana dengan menggunakan kata-kata. Adhitthana dengan badan berarti menjangkau atau memegang dengan tangan alat-alat keperluan atau memukul alat-alat keperluan yang harus diputuskan, membuat pikiran terarah dengan kokoh terhadap adhitthana yang diberikan. Adhitthana dengan kata-kata dilakukan dengan mengucapkan kata-kata walaupun tidak menyentuh alat-alat keperluan tersebut dengan anggota badan. Alat-alat keperluan yang digunakan engan melakukan adhitthana terlebih dahulu tidak boleh melebihi jarak dua panjanglengan dan satu panjang tangan. Panjang lengan itu diukur mulai dari tulang belikat, ini mejadi satu panjang lengan. Panjang lengan dapat juga dimulai kurang lebih dari lutut. Oleh sebab itu alat-alat keperluan terletak dalam jarak yang dapatdisentuh dengan tangan.
Apabila seorang bhikkhu berkeinginan mengambil adhitthana untuk alat-alat keperluan dari jenis yang terbatas hanya pada satu alat kebutuhan saja, sedangkan miliknya yang lama masih ada maka belum melakukan adhitthana untuk menggunakan alat yang baru, ia harus melepaskan miliknya yang lama. Melepaskan alat-alat kebutuhan yang lama disebut “paccuttharana”, atau melepaskan adhitthana. Formula untuk melepaskan adhitthana sebuah sanghati adalah sebagai berikut:” imam sanghatim paccuttharani”,yang berarti “aku melepaskan sanghati ini”.
Melepaskan alat-alat keperluan lain harus menyebutkan nama alat yang dilepas. Jika mereka adalah alat-alat keperluan yang dapat dipakai, misalnya untuk jubah harus dicelupkan dengan warna yang cocok dan dibuat bindu atau tanda barang itu menurut formula praturan latihan surapana vagga, bab pacittiya sesudah diambil adhitthana. Kata-kata untuk membuat bindu (tanda) adalah: “imam bindukappam karomi”, yang berarti: “aku membuat tanda dengan titik ini”.
Seorang bhikkhu melepaskan uttarasanga yang sudah lama dan tidak ingin lagi memakainya dan serta kemudian membuat adhitthana untuk memakai satu uttarasanga baru. Jika ia berpikir bahwaia tidak mau memakai jubah yang sudah tua itu lagi, maka ia boleh memutuskannya untuk pemakaian lain, misalnya sebagai kain untuk alas tidur. Tetapi apabila ia ingin memakai jubah tua itu lagi, maka ia boleh memakai jubah itu dan harus membagi pemilikan jubah itu dengan bhikkhu lain.
Suatu adhitthana akan berakhir disebabkan adanya sembilan faktor,yaitu: diberikan kepada orang lain, dicuru, diambil teman atas dasar kepercayaan (vissasa), pemilik orang gila, pemilik lepas jubah, pemiliknya mati, perubahan kelamin, dilepaskan adhitthana, dan berlubang. Diantara sembilan faktor yang menyebabkan berakhirnya adhitthana ada lima faktor yang harus kita perhatikan, yaitu: memberikan kepada orang lain, dicuri oleh pencuri, diambil oleh teman atas dasar kepercayaan dan adanya lubang pada barang itu.
Berkenaan dengan alat-alat kebutuhan tersebut yang mempunyai pembatasan bahwa hanya satu saja yang dapat dilakukan adhitthana apabila salah satu dari faktor prtama sampai keempat diatas terjadi, maka seorang bhikkhu dapat mengambil adhitthana selembar jubah baru yang bukan merupakan jubah kedua (yakni menjadi satu dari tiga jubah). Faktor kelima berlaku terhadap tiga jubah dan mangok. Lubang yang terdapat di dalam tiga jubah itu dikatakan seukuran dengan jari kelingking. Lubang ini harus benar-benar berlubang tanpa adanya benang yang masih melintang pada lubang yang letaknya paling sedikit satu bentangan tangan dari sudut jubah bagian bawah atau paling tidak empat inci dari panjangnya jubah bawah, lubang itu terletak paling tidak delapan inci dari panjangnya jubah bawah atau dari sudut pinggir lebarnya jubah dari jubah atas dan satu bentangan tangan dari sisi pada panjangnya (uttarasanga dan sangati).
Apabila seorang bhikkhu ingin memutuskan memakai jubah baru, maka ia harus melepaskan jubah lama atau membuang yang lama terlebih dahulu. Jubah yang terbakar api dan menyababkan lubang yang besar, lebih besar dari skedar satu titik lubang saja, bilamana dikenakan oleh seorang bhikkhu tidak dapat menutup seluruh badannya, maka bhikkhu tersebut dapat melakukan adhitthana jubah baru pengganti yang lama tanpa melepaskan yang lama karena jubah yang tidak dapat dipakai lagi dapat dipandang sebagai melepaskan adhitthana.
Apabila pada mangkok terdapat lubang yang dapat dilalui sebutir gandum, maka mangkok baru tidak boleh diminta. Apabila seorang bhikkhu melihat mangkoknya mempunyai lubang yang cukup besar sehingga tidak dapat menampung makanan lagi, maka adhitthana sudah terputus. Dia akan menggunakan mangkok baru tanpa melepaskan adhitthana yang lama.

D.    Hak Pemlikan Rangkap (Vikappa)
Jenis jubah yang dinamakan atireka-civara (jubah ekstra) serta ukurannya seperti apa yang telah digariskan sebagai hak pemilikan rangkap (vikappa), telah dijelaskan dalam peraturan latihan civara vagga dan parikkhara paribhoga dalam bagian yang berhubungan dengan civara. Arti dari vipakka dan bagaimana melaksanakannya telah dijelaskan dalam vikappa sikkhapada, surapana vagga yang kesembilan dalam bab Pacittiya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar