Jumat, 03 Mei 2013

perkembangan agama buddha di tibet


1.      Perkembangan agama Buddha di Tibet


Jhnanaprabha

Pada pertengahan abad ke-9 M, seorang pangeran dari Tibet, Nigon, meninggalkan negerinya pergi ke barat serta mendirikan kerajaan Guge (shensung). Kerajaan baru ini dibagi ketika raja meninggal dunia. Putera yang tertua, cakrasena, menerima upasampada,menjadi bhikkhu yang bernama Jnanaprabha. Bhikkhu jhnanaprabha banyak belajar dan membaca kitab-kitab, dikenal sebagai seorang rasionalis dan mewarisi sifat ayahnya yang sangat setia pada agama Buddha.

Agama Buddha mulai berkembang di Tibet ketika paham Tantra menyebar luas di India. Pada zaman kehidupan  Bhikkhu Jhnanaprabha, paham Tantra telah mempengaruhi agama-agama di bumi India, tidak terkecuali agama Buddha. Bhikkhu  Jhnanaprabha tidak tertarik pada paham Tantra, bahkan beliau menulis sebuah buku untuk menentangnya. Mengenai hal ini para penganut Tantra di Tibet mengatakan bahwa Bhikkhu yang berdarah biru ini menghadapi neraka dengan bukunya itu.    

Bhikkhu Jnanaprabha menyadari bahwa beliau seorang diri tidak akan mampu mencegah meluasnya paham Tantra di Tibet. Untuk itu beliau memilih 21 anak muda yang mempunyai intelegensi tinggi yang dididiknya sendiri selama 10 tahun sebelum mengirimkan mereka ke Kashmir untuk malanjutkan pendidikan. Tidak satupun di antara mereka yang dikirim itu mampu bertahan terhadap iklim di Kashmir. Semuanya meninggal dunia kecuali Ratnabadhra (Rin-Chen-Zang-Po) dan Suprajna(Legs-Pahi-Shes­-Rah).

Ratnabadra di kemudian hari dikenal sebagai seorang penerjemah besar di Tibet. Pulang dari pendidikan di Kashmir, Ratnabandra disambut oleh Devaguru Jnanaprabha yang senantiasa menyadari bahwa cita-cita reformasi yang diinginkannya terlalu besar untuk dikerjakan seorang diri. Pengalaman pahit dengan mengirim murid-muridnya ke Khashmir memberikan pelajaran kepada Bhikkhu. Jnanaprabha bahwa lebih baik mengundang cendekiawan dari India ke Tibet.

Dari para siswa yang berasal dari Tibet barat yang banyak di India, Bhikkhu Jnanaprabha mendengar nama seorang Bhikkhu terkemuka waktu itu, yaitu Dipankara Srijnana dari Vikramamasilamahavihara. Begitu mendengar hal ini, Bhikkhu Jnanaprabha melakukan persiapan untuk mengirim rombongan utusan untuk mengundang dan memohan  Bhikkhu Dipankara ke Tibet. Namun mereka gagal untuk memohon Bhikkhu  Dipankara melakukan kunjungan ke Tibet.

Jnanaprabha bukanlah seorang seseorang yang cepat putus asa. Beliau menyiapkan kembali rombongan utusan yang lain. Namun usaha kedua ini menghadapi masalah pembiayaan, maka beliau mengunjungi provinsi Gartog untuk mengumpulkan emas. Dicatat dalam sejarah Tibet bahwa  Bhikkhu Jnanaprabha ditangkap dan disandera untuk diminta tebusan oleh Raja Gartog. Ketika berita penyanderaan itu didengar oleh putera Bhikkhu Jnanaprabha, Bodhiprabha (Byang Chub Od), beliau mengusahakan untuk mengumpulkan uang untuk membebaskan ayahnya. Setelah mengumpulkan uang, belaiu mengunjungi ayahnya dipenjara. Mendengar maksu puteranya. Bhikkhu Jnanaprabha memberikan nasihat bahwa beliau telah tua, sewaktu-waktu dapat meninggal dunia. Seandainya masih hidup, hanya bisahidup sepuluh tahun lagi dan apa yang akan dikerjakannya tetap sama. Lebih baik uang itu digunakan untuk menjemput Bhikkhu Dipankara dari India. Alangkah bahagianya apabila belaiu dapat meninggal dunia untuk tujuan yang mulia itu, dan engkau (Bodhiprabha) dapat mengirimkan semua emas yang ada untuk menjemput cendekiawan itu. Kemudian Bhikkhu Jnanaprabha melanjutkan. Lagi pula, belum tentu raja akan membebaskannya setelah tebusan dibayarkan. Olek karena itu, tidak perlu merisaukan dirinya, Lebih baik mengirimkan emas itu kepada Atisa (sebutan lain dari Dipankara Srijnana). Saya yakin bahwa beliau setuju untuk datang ke negeri Bhots (Tibet), terlebih setelah mendengar keadaan yang menyedihkan ini, beliau akan merasa welas asih pada kita. Bilamana oleh karena alasan-alasan tertentu beliau tidak bisa datang, usahakan mendapatkan murid beliau sebagai penggatinya. Devaguru Jnanaprabha meletakan tangannya pada putranya serta merestuinya seperti tidak akan berjumpa lagi.         
Pada waktu itu, merupakan kebiasaan dalam masyarakat Tibet untuk menyembut para  Bhiksu yang berdarah ningrat sebagai  Devaguru (Lha-Blama). Devaguru Bodhiprabha mulai menyiapkan utusan untuk mlaksanakan amanat ayahnya. Upasaka Gun-Than-Pa yang pernah tinggal di India selama dua tahun dipilih untuk melaksanakan tugas tersebut. Kemudian Upasaka Ghun-Than-Pa memilih orang-orangnya untuk menyrtai perjalanan yang terdiri dari Bhiksu Silajaya atau Jayasila (Chul-Kharims-Gyal-Va) dari Nag Chomo serta beberapa orang lagi sebagai rombongan ke Vikramasila mahavihara.
Kitab Guru Gunadharmakara, riwayat hidup (biografi) Bhikkhu Dipankara Srijnana yang ditulis oleh murid beliau, mencatat tentang kedatangan sepuluh orang dari Tibet lewat Nepal. Ketika akan menyeberangi sungai Gangga, penumpang perahu telah penuh, maka tukang perahu memberitahu mereka bahwa dia akan datang kembali untuk menjmput mereka. Karena perahu tak kunjung datang, mereka takut dibohongi oleh tukang perahu, maka rombongan dari Tibet bermaksud menanamkan emas yang dibawa mereka di pasir dan kemudian tidur. Ketika mereka menyatakan keragu-raguan apakah tukang perahu akan kembali menjemput, oleh tukang perahu dijawab bahwa tidak berani melawan hukumdengan meninggalkan mereka di tepi sungai tanpa diseberangkan.  
Setelah tiba di tepi seberang, pintu gerbang kota telah ditutup dan tukang perahu menyarankan mereka untuk menginap di suatu penginapan di dekat gerbang barat. Dari atas pintu gerbang, Bhikkhu Vikramsingh (Tson Sen) mendengar percakapan rombongan yang tidak asing baginya. Beliau berasal dari Gya (desa terakhir di Ladakh menuju Kulu) dan ingin tahu maksud kunjungan rombongan itu.
Setelah mendengar maksud kunjungan, Bhikkhu Vikramasingh menyarankan untuk tidak langsung menyatakan maksud mereka membawa Atisa ke Tibet. Disarankan supaya mengatakan bahwa kedatangan mereka untuk belajar Dhamma. Hal ini menurut Bhikkhu Vikramasingh agar dapat mencapai tujuan mereka. Beliau juga Setelah mendengar menjanjikan untuk membawa mereka untuk Atisa pada waktu yang tepat.
            Beberapa hari setelah rombongan Tibet tiba, di Vikramasila ada pertemuan para siswa dan Bhikkhu Vikramasingh mengajak pertemuan untuk melihat sendiri murid-murid terkemuka dari Bhikkhu Dipankara Srijnana (Atisa) seperti Ratnakirti, Tathagatataraksita,Sumatikitri,Vairucanaraksita, dan Kanakasri. Beberapa hari setelah itu Bhikkhu Vikramasingh membawa rombongan Tibet kepada Bhikkhu Dipankara Srijnana.
            Rombongan dari Tibet tersebut meletakkan emas yang diwanya kedepan Atisa serta menceritakan kisah kematian yang menyedihkan dari Bhikkhu Jnanaprabha di penjara. Bhikkhu  Dipankara mendengar penuturan rombongan denga gelisah dan berkata, “Tidak diragukan lagi bahwa  Bhikkhu Jnanaprabha adalah seorang Bodhisatta yang telah mengorbankan dirinya sendiri untuk Dhamma.   Saya ingin memenuhi keinginan beliau, tetapi kalian harus mengetahui tanggung jawab saya yang besar atas 108  Vihara  berada dikedua pundakku, saya juga mempunyai tugas-tugas lain yang memerlukan perhatian. Saya perlu 18 bulan untuk menyerahkan tugas-tugas tersebut. Setelah itu, saya baru bisa berangkat ke Tibet. Sementara ini simpanlah dulu emas ini.”

Rombongan dari Tibet sangat puas akan jawaban Atisa. Mereka memanfatkan waktu denagn belajar di Vikramasila mahavihara.  Sementra itu, Atisa mempersiapkam keberangkatannya. Atisa berangkat ke Tibet pada tahun 1030 Masehi pada usia 57-58 tahun.


Ācariya Dipankara Srijnana

Ācariya Dipankara Srijnana membuat Tibet dan India menjadi dekat dalam kebudayaan. Namanya begitu harum di Tibet dan oleh beberapa pihak dikatakan bahwa beliau setingkat dengan Padmasambhava. Sebelum kedatangan Ācariya Dipankara ke Tibet, terdapat beberapa cendekiawan India yang terkenal, seperti Ācariya Santarasikta dan muridnya, Ācariya Kamalasila. Kelebihan Ācariya Dipankara dibandingkan dengan mereka berdua adalah menjadikan kitab-kitab Sansekerta menjadi bernilai bagi masyarakat Tibet. Pada umumnya para cendekiawan India di Tibet diberi nama bahasa Tibet, misalnya Ācariya Dipankara Srijnana dikenal sebagai Dpal-mar-med-mdsa Ye-Ses atau Jo-Vo-rJe Pal dan Atisa (Svami Sri Atisaya) yang disingkat menjadi Atisa.

Ācariya Dipankara adalah putera Raja Kalyana Sri dan Ibu Sri Pra­bhavati, lahir di Sahor (India Timur) tahun 982 M. Tidak jauh dari istana Raja Kalyana Sri, tempat Ācariya Dipankara dilahirkan, terdapat Vikrama vihāra yang juga disebut Vikramasilavihāra. Berbeda dengan sumber dari India, sumber-sumber dari Tibet menyebutkan Bhagalpur sebagai tempat kelahiran Ācariya Dipankara.

 Kehidupan Raja Kalyana Sri mempunyai hubungan erat dengan Vikramasilavihara.dalam tradisi disebutkan, ketika Acariya Dipankara lahir, orang tua beliau pergi ke Vihara untuk beribadah dan di ikuti suatu prosesi yang  terdiri dari 500 kereta kuda. Raja Kalyana Sri mempunyai tiga anak laki-laki, masing-masing Padmagarbha, Chandragarbha,( kemudian di kenal sebagai  Acariya Dipankara Srijnana) dan Srigarbha.

Pendidikan dan pengajaran pada waktu itu terdapat di vihāra-vihāra dan kebetulan sekali Vikramasilamahavihāra yang terkenal itu terletak tidak jauh dari istana Raja Kalyana Sri. Demikian pula Nalanda Mahāvihāra yang lebih maju dan terkenal juga terletak di wilayah India. Pangeran Chandragarbha ketika masih muda bertemu dengan Ācariya Jitari (ahli tata bahasa) dan lebih mendapat dorongan untuk belajar di Nalanda Mahāvihāra daripada di Vikramasila Mahāvihāra. Hal itu akan lebih baik bagi Chandragarbha untuk memperoleh pendidikan jauh dari rumah.

Chandragarbha tidak gampang memperoleh ijin dari ayahnya untuk menjadi bhikkhu (untuk diterima sebagai murid di Nalanda Mahāvihāra). Beliau diijinkan berangkat ke Nalanda dengan pendamping. Setelah melapor kepada Bhikkhu Bodhibhadra, pimpinan bhikkhu, maka Chandaragarbha yang masih berumur 11 tahun masih harus menunggu 9 tahun lagi untuk dapat ditahbis menjadi bhikkhu. Saat itu Chandragarbha hanya diterima sebagai sāmaṇera dengan nama Dipankara Srijnana.

Pada usia 12 tahun, samanera Dipankara Srijnana dititipkan oleh Bhikkhu Bodhibadra kepada gurunya, Maitri Avadhutipada (Advayavajra) seorang penganut Siddha di Rajagaha untuk dididik. Pada zaman itu, kepercayaan akan mantra dan Siddha cukup mendapat tempat dimasyarakat sehingga Samanera Dipankara terpaksa mendapat pelajaran yang bukan termasuk agama Buddha selama empat tahun. Tokoh Siddha yang terkenal pada waktu itu adalah Naropa (Nadapada atau Narottamapada) yang juga seorang cendekiawan. Dia menetap di gerbang utara Vikramasila Mahavihara. Baik Nalanda maupun Vikramasila Mahavihara.

Dari Rajagaha, Sāmera Dipankara melanjutkan pendidikan di bawah asuhan Naropa di VikramasilaMahāvihāra. Beberapa asuhan Naropa yang terkenal antara lain Prajnaraksita, Kanakasri, Manakasri, dan Murpa (guru dari Milarepa, seorang penyair Siddha terkenal dari Tibet). Akhirnya Dipankara menyelesaikan pendidikan di Vikramasila Mahāvihāra.

Dipankara sangat haus akan ilmu pengetahuan dan melanjutkan belajar Vinaya Pitaka di VajrasanaMahāvihāra di Both Gaya. Beliau berdiam di Mati Vihāra dan diasuh Mahavinayadhara Silaraksita. Setelah dua tahun mempelajari Vinaya Piaka, pada usia 31 tahun, Bhikkhu Dipankara telah diakui sebagai cendekiawan serta memiliki pengetahuan tentang ketiga Pitaka dan Tantra.

Sewaktu belajar di Vikramasila Mahavihara, Bhikkhu  Dipankara berkenalan dengan murid-murid dari Acariya Dharmapala yang mengajar agama Buddha dikerajaan Sriwijaya, Sumatera (Swanadwipa), antara lain Ratnakarasanti (seorang Siddha Jananasari). Karena ingin belajar dari Acariya Dharmapala, setelah menyelesaikan belajar di Both Gaya, Bhikkhu Dipankara mewujudkan cita-cita beliau dan berlayar ke Sriwijaya. Perjalanan beliau terjadi tahun 1013 yakni pada masa pemerintahan Raja Vijayapala (960-1040 M) dari kerajaan Magadha, pada waktu Mahmud Ghaznavi (997-1030 M) menyerbu dan menghancurkan Kanauj, Mathura, Banaras, dan Kalanjar.   di Vikramasila MahāvihāraBhikkhu Dipankara berkenalan dengan murid-murid dari Ācariya Dharmapala. Beberapa murid Ācariya Dharmapala yang mengajar agama Bud­dha di kerajaan Sriwijaya, Sumatera (Swarnadwipa), antara lain Ratnakarasanti (seorang Siddha), Jananasari. Karena ingin belajar dari Ā (997-1030 M) menyerbu dan menghancurkan Kanauj, Mathura, Banaras dan Kalanjar.
            Bhikkhu Dipankara belajar di Sriwijaya selama 12 tahun, mempelajari kitab-kitab yang telah diketahui beliau. Kitab-kitab tersebut di antaranya adalah Ahsamayalankara  karya Asanga dan Bodhicaryavatara karya Santideva. Di Sriwijaya dicatat bahwa  Bhikkhu Dipankara mulai mendalami Tantra maupun kitab-kitab lainnya. Pada waktu itu merupakan kebiasaan bagi seorang murid tinggal bersama-sama gurunya dalam waktu yang lama untuk mempelajari hal-hal penting secara metodik. Bhikkhu Dipankara kembali ke Vikramasila ketika berusia 44 tahun.

Latar belakang pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki beliau menyebabkan beliau dipercaya untuk memimpin 51 cendekiawan serta 108 vihāra. Sebelum dijabat oleh Bhikkhu Dipankara, kedua kedudukan itu masing-masing dijabat oleh Siddha Butakotipada dan Siddha Avadhutipada. Pada jaman itu perguruan tinggi agama Buddha di India didirikan di Nalanda, Uddantapuri (Bihar Sharif), Vajrasana, dan Vikramasila. Dari keempat perguruan tinggi tersebut hanya Vikramasila yang mempunyai asal usul yang menarik. Ketika maharaja Dharmapala dari kerajaan Pala berkunjung ke daerah itu, beliau sangat tertarik akan keindahan suatu bukit kecil di tepi sungai Gangga dan memutuskan untuk mendirikan sebuah vihāra di sana. Vihāra tersebut, dibangun pada akhir abad ke-8 M dan dalam perkembangannya selama 250 tahun telah menjadi suatu lembaga pendidikan yang besar. Bahkan jumlah mahasiswa di Vikramasila lebih banyak daripada jumlah di Nalanda. Di antara para guru ternama yang mengajar di Vikramasila adalah 108 cendekiawan, 8 ahli atau pandit dan seorang guru besar Ratnakarasanti yang menjadi kepala vihāra. Beberapa di antara ahli atau pandit tersebut adalah  Bhikkhu Dipankara Srijnana, Santibhadra, Maitripa (Avadhutipa), Dombipa Sthavirabhadra, dan Smrtyakara Siddha (Kasmiri).

Di Vikramasila juga terdapat vihara dengan bodhisatta Avalokitesvara yang terletak ditengah komplek vihara serta 53 vihara besar dan kecil. Di vihara-vihara tersebut juga ditemui para dewa dan para dewi yang dipuja serta gambar-gambar suci yang dipuja penganut paham tantra. Selain itu juga masih terdapat 3 vihāra lagi yang didirikan oleh dinasti Pala (765-1200 M).

Setelah Bhikkhu Dipankara Srijnana menyetujui permohonan rombongan dari Tibet untuk mengajar Dhamma disana, hal tersbut disampaikan kepada pimpinan Vikramasila Mahavihara,Bhikkhu Ratnakarasanti. Pada waktu itu, bangsa-bangsa Turki dari barat yang beragama Islam telah mulai menyerang India. Bhikkhu Ratnakarasanti menanyakan kepada rombongan Gun Than Pa sekiranya mereka tidak bersungguh-sungguh untuk membawa pergi Bhikkhu Dipankara Srijnana dari India. Bhikkhu Dipankara Srijnana adalah buah mata India dan dengan kepergian beliau ke Tibet, Bhikkhu Ratnakarasanti yakin bahwa Dhamma yang diajarkan oleh Buddha akan tenggelam. Pada akhirnya Bhikkhu Ratnkarasanti mengizinkan kepergian Bhikkhu Dipankara Srijnana ke Tibet. Emas yang dibawa oleh rombongan Gun Than Pa dibagi menjadi empat, masing-masing untuk para pandit, vihara Vajrasana di Both Gaya, Bhikkhu Ratnakarasanti dan yang terakhir untuk para pimpinan paham-paham yang ada.  

Perjalanan Bhikkhu Dipankara Srijnana ke Tibet ditemani oleh sebelas bhikkhu sampai ke Nepal, termasuk di antaranya Bhikkhu Vikrama dari Gaya yang bertindak selaku penerjemah. Bhikkhu Dipankara Srijnana terlebih dahulu mengunjungi Both Gaya, tempat bersejarah di mana Pangeran Siddharta Gotama mencapai Penerangan Sempurna (Ke-buddha-an). Di Both Gaya beliau mengunjungi Vihāra Vajrasana dan tempat-tempat bersejarah lainnya. Kemudian beliau diantar oleh Ksitigarbha dan 19 orang lainnya sampai vihāra terakhir diperbatasan India dan melanjutkan perjalanan ke Tibet.

Setelah melewati perbatasan dan sampai di ibukota Nepal, rombongan disambut oleh Raja Jayakamadeva dari dinasti Thakuri yang memohon Bhikkhu Dipankara Srijnana tinggal di Nepal. Permohonan itu dikabulkan oleh Bhikkhu Dipankara Srijnana dan beliau tinggal di Nepal selama satu tahun. Pada waktu itu, salah seorang puteri kerajaan memasuki kehidupan ke-Bhikkhuni-an. Dari Nepal, Bhikkhu Dipankara Srijnana mengirim surat kepada Raja Nayapala (1040-1055) dari dinasti Pala. Terjemahan surat tersebut disimpan dalam koleksi kitab Tajur di Tibet.   

Ketika Bhikkhu Dipankara Srijnana tiba di Tibet, Agama Buddha di negeri ini telah berkembang menjadi beberapa aliran. Aliran yang pertama bersifat heterogen dengan ajaran agama Buddha yang tidak teratur, mereka dari kelompok Rn-:n-ma pa (Aliran Tua) yang terbagi ke dalam 4 sub-aliran. Mereka memuja Padmasambava sebagai guru, mempercayai yang bersifat alamiah maupun mistik. Pada umumnya dikenal sebagai golongan bertopi merah.

Kedatangan Bhikkhu Atisa, Agama Buddha bangkit kembali di Tibet. Selama abad ke-11,Vihāra Sakya Melek dari sekte ”Topi Kuning” menjadi terkenal dan menguasai Tibet. Di bawah kekuasaan Mongol, Vihāra Sakya Melek menjadi pusat kekuasaan spiritual yang menguasai Tibet dengan pimpinan yang disebut Dalai Lama, yang dipercayai sebagai inkarnasi dari Bodhisattva Avalokitesvara. Di pihak lain, pimpinan Vihāra Tashilunpo di sebelah barat Lhasa terkenal dengan sebutan Panchen Lama, yang dipercaya sebagai inkarnasi Bodhisatva Amitabha. Tidak seperti Dalai Lama, Panchen Lama hanya dianggap sebagai pemimpin spiritual.

Bhikkhu Atisa mengadakan pembaharuan dengan berdasarkan tradisi Yogacara dari ĀcariyaMaitreya dan Asanga, yang dikemudian hari oleh pengikutnya dikembangkan sebagai aliran Bkah-gdams-pa. Aliran ini menyatukan ajaran Hīnayāna dan Mahāyāna, serta menuntut para bhikkhu berselibat serta meniadakan praktek-praktek magic. Pada abad ke-11, oleh pembantu Agama Buddha bangsa Tibet, Tson-kha-pa, aliran Bkah-gdams-pa diperbaharui serta dimurnikan dan disebut Dge-lugs-pa.

Dua aliran lain yang lahir pada abad ke-11 dan masih mempunyai kaitan dengan Bkah-gdams-pa adalah :
  1. Bkah-rgyd-pa yang didirkan oleh Lama Mar-pa (teman Bhikkhu Atisa serta murid Naropa dari Nalanda) dan mempunyai hubungan dengan aliran dhyāna yang populer di China dan Jepang. Aliran ini terbagi ke dalam beberapa sub-aliran, antara lain Karma-pa dan Hbrug-pa.
  2. Sa-skya-pa (Tanah abu-abu), mengambil warna tanah yang berwarna abu-abu untuk vihāramereka yang didirikan pada tahun 1071. Aliran ini dekat dengan aliran Bkah-rygyud-pa dan mencoba membaurkan ajaran Tantra tua dan baru melalui ajaran Madhyamika dari Nagarjuna bahkan berhasil membangun suatu hirarki yang kuat sampai lahirnya aliran Tson-kha-pa.

Salah satu penganut paham Sa-skya bernama Hyhags pa pada abad ke-13 diangkat menjadi penasehat spiritual Kaisar Khubilai Khan dari Mongol yang menguasai Tibet terlebih dahulu sebelum menjatuhkan China. Sa-skya dikukuhkan sebagai penguasa Tibet tengah pada tahun 1270. Masa itu adalah masa awal dari negara theokrasi di Tibet. Sa-skya-pa memajukan pendidikan bangsa Tibet dan salah satu penganutnya yang terkenal adalah Bu-ston (1290­1354), yang terkenal sebagai komentator kitab-kitab Agama Bud­dha, seorang ahli sejarah bahkan seorang pengumpul kitab pertama di Tibet, dari karya-karya yang sudah diterjemahkan ke bahasa Tibet. Bu-ston membuat sistematika Bkah-gyur (PerihalBuddha) yang terdiri dari 100 jilid dan Bstan-gyur (Ajaran-ajaran) yang terdiri dari 225 jilid.

Pada akhirnya Tson-kha-pa (lahir di Amdo tahun 1358) melakukan pembaharuan dan sejak itu agama Buddha di Tibet memulai jaman modern. Para bhikkhu di Tibet sering berperan sebagai panglima perang, sehingga vihāra juga berfungsi sebagai pusat militer. Hal ini dapat dimengerti, karena sejarah agama di Tibet penuh dengan gejolak perebutan kekuatan dan kekuasaan. Penjajahan yang kemudian menimpa Tibet, baik dari Mon­gol, China nasionalis maupun China komunis sering memecah belah kekuasaan Dalai Lama dan Panchen Lama. Dalai Lama sejak tahun 1959 melarikan diri dari Tibet ke India setelah China komunis menguasai Tibet.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar