Jumat, 03 Mei 2013

perkembangan agama buddha di jepang


1.      Perkembangan agama Buddha di jepang
 
            Seperti yang telah diketahui awal mula Agama Budha berasal dari Negara India. Melalui jalur utara, India menyebarkan agama Budha sampai melewati Cina dan mulai masuk ke Jepang pada  tahun 522. Penyebaran dari India tersebut menggunakan perantara dari Kerajaan Cina, yaitu dengan dikirimnya Biksu muda ke Jepang oleh kerajaan Cina untuk menyebarkan agama Budha. Akan tetapi rakyat Jepang pada saat itu tidak begitu memberikan tanggapan terhadap penyebaran agama Budha tersebut.
            Awal mula masuknya agama Budha di Jepang dengan mulai mengalami tanggapan dari masyarakat Jepang dipercaya pada tahun 538 pada jaman Asoka melalui delegasi dari kerajaan Baekjae di Korea. Agama Budha sendiri dalam bahasa jepang disebut Bukkyo yang diambil dari dua kanji Butsu yang berarti Budha dan Kyo yang berarti ajaran atau aliran. Diketahui beberapa tahun setelah datangnya delagasi dari kerajaaan Baekjae Korea masuk pula buku – buku dan literatur Cina yang berisikan ajaran Agama Budha, buku – buku dan literatur tersebut masuk ke Jepang dari Cina pada masa Dinasti Sui. Literatur tersebut berjudul Jusichijono Kempo.
            Perkembangan agama Budha sendiri mengalami pasang surut sejak jaman Asoka sampai masa modern ini. Awal masuk dari agama Budha sendiri terjadi banyak penolakan dan pergolakan dari masyarakat sekitar yang secara empiris memiliki kepercayaan memuja banyak Dewa yang disebut kepercayaan Shinto.

Sejarah perkembangan Buddhisme di Jepang meliputi tiga periode, yaitu: periode Nara, periode Heian, dan pasca-periode Heian. Dari tiga periode tersebut dapat dilihat perkembangan Buddhisme yang pasang-surut. penjelasan secara lebih rinci dari perkem bangan Buddhisme di Jepang, sebagai berikut:

a.    Periode Nara (periode kedatangan) abad ke 6-7.

Perkembangan agama Budha pada jaman Asoka dan Jaman Nara  dapat pula disebut dengan babak awal kedatangan dan perkembangan Agama Budha di Jepang. Pada masa – masa awal penjajakan Agama Budha di Jepang yaitu dengan penyesuaian dan adaptasi terhadap kepercayaan asli rakyat Jepang, yaitu Shinto. Para biksu penyebar agama Budha tetap melaksanakan ritual – ritual pemujaan nenek moyang milik ajaran Shinto. Dengan begini agama Budha dapat terus berjalan dan berkembang tanpa mempengaruhi ajaran Shinto.
            Pada awal masuknya agama Budha di Jepang di jaman Asuka, banyak penolakan yang terjadi. Pada masa pemerintahan militer Oda Nobunaga, agama Buddha mengalami masa suram karena pemerintah saat itu bersikap antipati terhadap agama ini. Hal ini disebabkan karena pada masa itu muncul banyak pemberontakan oleh rakyat menentang pemerintah yang kebetulan didukung oleh pendeta Buddha khususnya dari sekte Tendai di kuil Hiei. Pemberontakan akhirnya berakhir dengan penyerbuan ke kuil di yang terletak di atas puncak bukit itu dan membunuh ribuan pengikutnya.
Akan tetapi pada jaman Nara, kepercayaan Budha semakin berkembang. Penerapan ajaran agama Buddha dari China oleh Jepang berdasarkan latar belakang karakter kebudayaan China, di mana agama Buddha diterima oleh keluarga kaum bangsawan. Kaum bangsawan di Jepang pada waktu itu adalah kaum intelektual yang biasanya di Jepang juga para Damyo, kerabat kerajaan dan bangsawan – bangsawan lainnya. Begitu kaum bangsawan menerima agama Buddha, maka penyebarannya ke seluruh negeri berlangsung dengan cepat.
            Pada jaman Nara terdapat enam sekte agama Budha cukup terkenal dan memiliki cukup banyak pengikut. Kesemua sekte ini berasal dari Tiongkok dan penyebarannya melalui beberapa negara – negara. Enam sekte tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Sekte Kegon, yang dalam bahasa Tiongkok adalah Hua-yen mengambil dari aliran Avatamsaka. Mempunyai pandangan dan kepercayaan bahwa semua yang ada di dalam ini dapat berhubungan erat dengan kosmik yang terwujud di dalam tubuh Buddha.
2.      Sekte Ritsu, merupakan pengembangan dari aliran Vinaya. Lebih ditekankan pada disiplin (vinaya) serta semata-mata merupakan alternatif akademik. Pada saat penyelamat alam yang ideal yang diperkenalkan adalah apa yang diajarkan Lotus Sutra dan penekanannya pada peranan umat seperti penjelasan dalam Vimalakitri Sutra. 
3.      Sekte Kusha , yaitu aliran Abidharmakosha
4.      Sekte Shanron, mengambil dari aliran Tiga Kitab Suci dari Madyamika
5.      Sekte Hosso , mengambil dari aliran Dharmalaksana mengajarkan bahwa ada beberapa yang tidak bisa diselamatkan.
6.      Sekte Jojitsu,  menganut aliran Satyasiddhi-sastra
Pada periode Nara para pengikut dari sekte – sekte tersebut masih dalam kalangan Bangsawan dan petinggi – petinggi Damyo. Hal tersebut dikarenakan  ritualnya yang masih rumit, perlu pengetahuan yang mendalam untuk mempelajarinya dan teks-teks ajaran Buddhanya yang pada saat itu masih menggunakan dengan huruf  Kanbun yaitu huruf – huruf Cina kuno.
Selama periode Nara banyak biara yang dibangun, bangunan-bangunan sakral tersebut mengikuti Arsitektur Tang seperti biara terkenal Todaiji (terkenal dengan patung besar Buddha -Nara Daibutsu) dan biara Horyuji yang dibangun dengan bahan dari kayu dan berdiri sampai kini, biara Horyuji adalah bangunan yang dianggap tertua didunia yang dibuat dari kayu. Bangunan-bangunan yang bergaya arsitektur Tang lebih banyak dijumpai di Jepang daripada di Tiongkok sendiri, hal ini disebabkan oleh peperangan-peperangan atau bencana alam yang sering melanda Tiongkok dan bangunan-bangunan dari kayu lebih mudah terbakar.
            Selama pemerintahan Nara (710-884) sesungguhnya agama Buddha telah menjadi agama negara. Kaisar Shomu secara aktif telah mempropagandakan agama ini dan membuat patung Bud­dha yang besar di Nara serta menjadikannya sebagai pusat kebudayaan nasional. Di tiap propinsi dibangun pagoda-pagoda dan sistem pembabaran Dhamma yang efektif sesuai dengan keadaan setempat.
b.      Periode Heian (periode nasionalisasi) abad ke 9-14

Periode ini diawali dengan munculnya dua aliran agama Buddha di Jepang, yaitu aliran Tendai oleh Saicho (797-822) dan aliran Shingon oleh Kukai (774-835). Tujuan dari para pendiri aliran tersebut adalah agar agama Buddha dapat diterima oleh rakyat Jepang.
Selama pemerintahan Nara (710-884) sesungguhnya agama Buddha telah menjadi agama negara. Kaisar Shomu secara aktif telah mempropagandakan agama ini dan membuat patung Bud­dha yang besar di Nara serta menjadikannya sebagai pusat kebudayaan nasional. Di tiap propinsi dibangun pagoda-pagoda dan sistem pembabaran Dhamma yang efektif sesuai dengan keadaan setempat. Sekte Kegon (Huan Yen) versi Jepang memberikan ideologi Buddhis baru bagi negara. Selama pemerintahan Nara terdapat 6 sekte yang berkembang di Jepang.
Sekte Kegon (sekte Hwaom Korea) adalah sekte yang mempunyai pandangan dan kepercayaan bahwa semua yang ada di dalam ini dapat berhubungan erat dengan kosmik yang terwujud di dalam tubuh Buddha. Yang dimakud adalah bahwa Dharmma itu tidak terlepas dari ajaran sang buddha yaitu trikaya. Pandangan dan kepercayaan ini didasarkan pada Avatamsamkasutra.
Pendidikan dan pemikiran Ratsu terutama lebih ditekankan pada disiplin (vinaya) serta semata-mata merupakan alternatif akademik. Pada saat penyelamat alam yang ideal yang diperkenalkan adalah apa yang diajarkan Lotus Sutra dan penekanannya pada peranan umat seperti penjelasan dalam Vimalakitri Sutra. Dengan adanya cara penyelamatan yang ideal ini menjadi jelas bagi raja bahwa rohaniawan terlalu banyak berperan dan aktif di dalam politik.             Selama pemerintahan anak perempuan (putri) Kaisar Shoma, bhikku Donkyu yang bertindak selaku pejabat pemerintah dari putri kaisar tersebut telah mencoba untuk menjadi kaisar. Hanya karena adanya perlawanan para aristocrat, maka Jepang tidak menjadi negara teokrasi beragama Buddha aliran Tibet yaitu negara yang memotori gerakan perkembangan Agama Buddha adalah kaum bangsawan sebab pemikirannya lebih mendalam dibandingkan dengan kaum biasayang masih berfikir sederhana. Sebagian dari perlawanan ini karena adanya tekanan dari Sangha, yaitu berupa tekanan bahwa seorang Bhikkhu tidak boleh memiliki peran ganda (bercampur dengan urusan polotik) karena adanya situasi yang tidak menguntungkan ini, akhirnya pengadilan memutuskan untuk memindahkan pusat pemerintahan ke Kyoto pada tahun 794.
Pada tahun 804, Bhikṣu Saichi dikirim ke China dan kemudian kembali ke Jepang untuk mengajarkan (membabarkan) doktrin dari Tien Tai (dalam bahasa Jepang disebut Tendai).
Walaupun sekte Hasso telah mengajarkan bahwa ada beberapa yang tidak bisa diselamatkan, tetapi Tendai menekankan pembabatan dan penyelamatan alam (dengan cara mengkritisi Bhiksu supaya tidak memiliki peran ganda yang berarti seorang Bhiksu yang seharusnya menjalani aturan vinayaan jalur keviharaan, bukan ikut jalur politik sehingga Bhiksu tetap berada dijalur kerohanian). Agama Buddha Jepang yang berkarakter Jepang terus berlangsung dan dapat didengar dalam pendidikan dan pemikiran baru dari masa Huan. Kompleks Vihāra Tendai di atas pegunungan Hie dikenal sebagai cikal bakal dari agama Buddha di dalam menyelamatkan keamanan negara.
Aliran Shingon adalah salah satu bentuk dari aliran Tantra yang diperkenalkan kepada Jepang oleh Bhikkṣu Kukai di awal abad ke-­9. Agama Buddha Shingon menentukan penyatuan dari pemeluknya dengan Buddha (persatuan Kawula-Gusti) dalam berbagai macam bentuknya. Dalam perkembangan sekte-sekte Buddhis, Tendai dan Shingon bercampur baur dengan agama Shinto yang nampak dalam penyatuan pemujaan dewa Shinto dan dewa-dewa dalam agama Buddha, sehingga terjadi persekutuan pemujaan. Gerakan dalam agama Buddha terjadi pada abad ke-10 dengan munculnya kepercayaan terhadap Buddha Amitābha. Banyak orang yang memeluk kepercayaan ini karena kesederhanaan ajaran, yakni dengan mengucapkan ”Amitābha Buddha” secara berulang-ulang akan terlahir di Tanah Suci (Sukhavati). Kemudian gerakan lain banyak muncul pada abad ke-13 karena banyak didorong oleh cita­-cita umat awam untuk mencapai kemurnian dan kesederhanaan ajaran maupun caranya. Yang menjadi awal adalah kepercayaan ini adalah pemahaman yogacara dan madyamika. Dengan pemahaman terhadap dua hal tersebut mengakibatkan sulitnya penyebaran agama Buddha, sebab pemikiran kaum Jepang masih berpikir praktis dan sederhana. Dengan melihat keadaan yang ada  maka dipakainya metode praktis sehingga kaum Jepang dapat menerima  dengan mnegucapkan “Amitaba Buddha”. Pandangan ini banyak dianut oleh para petani dan prajurit.
Pada zaman Kamakura mulai timbul feodalisme di Jepang. Aliran-aliran agama Buddha yang tumbuh dalam suasana feodalisme tersebut di antaranya adalah Zen yang diperkenankan oleh Eisai (1141-1215), Dogen (1200-1253) serta Nichiren yang didirikan oleh Nichiren (1222-1282). 

c.       Pasca-periode Heian (periode lanjutan) abad ke 15-20


Dengan berakhirnya periode Kamakura, maka di Jepang tidak terdapat perkembangan agama yang berarti, kecuali meluasnya beberapa aliran. Pada zaman Edo (1603-1867), agama Buddha sudah kembali menjadi agama nasional di bawah perlindungan Shogun Tokogawa. Pada masa pemerintahan Shogun Tokogawa, agama Buddha di Jepang menjadi tangan (alat) dari pemerintah. Vihāra sering digunakan sebagai pendataan dan pendaftaran penduduk dan dijadikan salah satu cara untuk mencegah penyebaran agama Kristen yang oleh pemerintah feodal dianggap sebagai ancaman politik. Agama Buddha tidak begitu populer di kalangan masyarakat pada masa pemerintahan Meiji (1868-1912). Pada waktu itu, muncul usaha untuk menjadikan Shinto sebagai agama negara, yang dilakukan dengan cara memurnikan ajaran Shinto yang telah bercampur dengan agama Buddha, dan untuk itu dibutuhkan suatu penyelesaian. Cara yang dilakukan antara lain dengan menyita tanah vihāra dan membatasi gerak-gerik para bhikṣu. Keadaan tersebut berubah setelah restorasi Meiji pada tahun 1868, agama Buddha menghadapi saingan dari agama asli, Shinto. Namun hal itu dinetralisir dengan kebebasan memeluk agama yang diberikan oleh undang-undang dasar Jepang.Selama periode ultra nasional (1930-1945) pemikir-pemikir agama Buddha menyerukan penyatuan dunia Timur (Asia Timur Raya) ke dalam tanah suci Buddha (Buddha Land) di bawah pengawasan Jepang. Setelah perang berakhir, kelompok-kelompok agama Buddha yang baru dan lama mulai menyatakan bahwa agama Buddha merupakan agama negara yang penuh dengan perdamaian dan persaudaraan.

d.   Perbandingan Ajaran Buddha Jepang Dengan Negara Lain

            Pada mulanya memang agama Budha masuk ke Jepang melalui Korea, Cina dan India. Akan tetapi seiring berkembangnya ajaran Buddha di Jepang, ajaran Budha di Jepang memiliki keunikan tersendiri dan perbedaan – perbedaan dalam dasar alirannya yang membedakan dengan Negara – Negara lain.
India merupakan asal muasal dari agama Budha yang berasal dari ajaran seorang petama yang bernama Sidharta Gautama dengan kitab Tripitaka. Adanya pepatah Ashy Ajatang Abhutang Akatang Asam Khatang “suatu yang tidak dilahirkan, tidak dijelmakan, tidak diciptakan dan mutlak. Sedangkan di India sendiri sempat mengalami perpecahan dan kemrosotan sekitar 1.600 thn setelah budha meninggal, abad ke-12 budha benar2 sirna dari India. Lalu diperkenalkan dari Srilangka pada akhir abad ke-19 M, 700 thn sebelumnya tidak ada agama Budha di India.
            Di Korea penyebar aliran ajaran Budha memiliki dukungan yang cukup besar dari pemerintahnya. Kebanyakan orang yang menganut agama Budha akan bernasib baik dengan adanya aliran dana dari pemerintah untuk mengembangkan ajaran Buddha. Walaupun di Korea terdapat “Human Right Watch”, akan tetapi pemerintah tetap memberikan keuntungan lebih pada para pemganut ajaran Budha. Hal tersebut menjadikan penganut Buddha di Korea mencapai 1.082.000 jiwa yaitu 40% dari jumlah seluruh penduduk Korea.
            Sedangkan di Cina, perbedaan mendasar terdapat alirannya. Rakyat Cina sangat menentang aliran Hinayana. Aliran Hinayana adalah aliran Buddha yang memilki aturan yang ketat dimana para pengikutnya harus meninggalkan kepentingan duniawi untuk beribadah. Sehingga menggunakan ajaran Buddha yang dapat berkolaborasi dengan budaya setempat dan tetap mempertahankan kepentingan – kepentingan duniawi seperti bekerja dan sebagainya.
            Sedangkan di Jepang sendiri banyak sekali keunikan serta budaya yang muncul karena pengaruh ajaran Buddha. Seperti seni Zen yang telah dijelaskan sebelumnya. Menghasilkan budaya – budaya baru untuk Jepang. Dan banyak sekte – sekte yang muncul di tiap – tiap jaman sehingga memunculkan pasang surut aliran agam Buddha. Di Jepang sendiri memperbolehkan para Biksu untuk menikah. Hal tersebut dilakukan untuk memunculkan penerus yang mengembangkan ajaran Buddha. Setelah para Biksu itu merasa cukup tua dan anaknya mampu untuk meneruskannya, biksu itu akan menyendiri sesuai dengan ajaran Budha yaitu terlepas dari kepentingan – kepentingan dunisawi.
Bukti-bukti adanya Buddhisme di jepang
Dari kurang lebih 710 banyak sekali kuil dan vihara dibangun ibu kota Nara, seprti pagoda lima tingkat dan Ruang Emas Horyuji, atau kuil Kofukuji. Banyak sekali lukisan dan patung dibuat sampai tak trhitung dan sering kali dengan sponsor pemerintah. Pembutan seni Buddha Jepang mencapai masa keemasan antara abad ke-8 dan abad ke-13semasa pemerintahan di Nara, heian-kyo, dan Kamakura. Banyak sekali lukisan dan patung dibuat sampai tak terhitung dan seringkali dengan
Kuil Budha atau dalam bahasa jepangnya Tera bisa ditemukan dalam jumlah yang sangat banyak dan tersebar di berbagi tempat. Kebanyakan dari bangunan Tera yang ada termasuk Kuil Keluarga yang artinya pengelolaannya berada pada perorangan yang diwariskan secara turun-temurun. Kebanyakan Tera yang ada adalah berbentuk bangunan kayu yang sudah sangat tua dan dibangun sekitar abad ke8. Namun kebanyakan dari bangunan kuil sekarang sudah direnovasi dari kuil lama. Diperkirakan sekarang ini terdapat sekitar 80.000 kuil di seluruh Jepang.
Berikut merupakan empat kuil yang terdapat di Jepang  yang telah ditetapkan sebagai World hertage (warisan dunia) oleh Unesco:
1)      Kuil Toudaiji, dibangun pada tahun 728. Kuil ini terkenal merupakan bangunan kayu yang tertua di dunia.
2)      Kuil Kinkakuji atau kuil Emas, sangat terkenal karena sesuai dengan namanya, bangunanya berwarna kuning keemasan.
3)      Kuil Kiyomizu Dera, yang dibangun sekitar tahun 789.
Kuil Rnno-ji in, yang dibangun pada tahun 766. Pada kompleks bangunan ini kadang dikenal dengan nama Nikko Temple karena berada di daerah Nikko.

1 komentar:

  1. Blog yang menarik, mengingatkan saya akan keindahan dan keteduhan suatu tempat sangatlah luar biasa hingga dapat diganggap setiap elemen alam ini adalah ilahi. Gunung, lautan dan sungai semuanya adalah roh ilahi atau dewa (‘kami’ dalam Bahasa Jepang), sebagaimana halnya matahari, bulan dan Bintang Utara.
    Saya mencoba menulis blog tentang hal ini, semoga anda juga suka http://stenote-berkata.blogspot.com/2020/07/wawancara-dengan-haruki.html

    BalasHapus