Sabtu, 28 September 2013

Puisi Buddhis

        SENANDUNG PILU DEVADATTA
                        Karya : Triyo Wibowo

Kini senja telah menghampiriku
Dan sebentar lagi mentari kan pulang ke peraduan
Tak ada lagi kata yang terucap
Atau hal istemewa yang mampu kurangkai
Hitamnya malam
Tak mampu sembunyikan dukkha lara di hatiku

          Memori itu begitu nyata
          Bercokol dan mencengkram
          Setiap relung sanubariku
          Walau aku tidak menginginkannya
          Dan tlah kucoba tuk mengenyahkannya
          Tapi aku tak bisa

Belang hidup menghantui slalu
Kian mengharu-biru, dan mencabik-cabik jiwaku
Ooooh, mengapa irihati dan dengki tlah membutakan mataku
Siddharta sepupuku kuanggap musuh
Kini jadi Buddha guruku
Hendak kulenyapkan dan kurebut kedudukannya

          Gajah Nalagiri kubuat mabuk
          Pengeran Ajattasattu kutipu daya
          Bebatuan Gijjhakutta kuruntuhkan
          Persamuan Sangha kukacaukan
          Hingga tercerai-berai dan berkeping-keping
          Tuk hancurkan Buddha

Kini dukkha lara begitu mendera
Mengucur derai air mata
Membanjiri keriput wajah dan lusuh jubahku
Kering, keriput, lemah tak berdaya
Merobek-robek dan menyayat-nyayat hati terluka

          Apakah ini laknat? Sumpah serapah terhujat?
          Atau cerita malaikat?
          Tapi ini bukan khayalan



Aku termenung, tepekur dalam-dalam
Aku ingin terlepas dari lumpur nestapa nan teramat dalam
Mencuci noda diri yang termat kusam
Aku ingin kembali, kembali ke jalan-Mu
Bersujud di hadapan-Mu dan memohon ampunan-Mu
Aku ingin kembali berlindung kepada-Mu, Buddha

          Aku pun tertatih
          Dan terus tertatih
          Terseok ke ujung tandu
          Tuk jernihkan mata nan penuh debu
          Hai siswa-siswaku, bawa aku ke hadapan Guru
          Aku akan bertobat pada-Nya!

Oh, aku takut! Aku takut!
Bukan takut panas api neraka avici
Yang kan membakar tubuh rentaku
Yang kan hanguskan kulit keriputku
Tapi aku takut raga ini tak mampu
Dan tak ada waktu bertemu

          Tapi apalah daya
          Lonceng kematian sudah berdentang
          Raja maut keburu menjelang

Saat turun dari tandu yang membisu
Dan kuinjakkan kaki menyetuh bumi
Suara gemuruh menggelegar menyambutku
Lagit bergoncang
Bumi pun terbelah
Menelanku dan menyeretku masuk
Masuk
Dan masuk
Menjeratku ke neraka avici

          Dan kini hanyalah tinggal nama

          Yang tak pernah terukir pada arca 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar