Selasa, 30 April 2013


SANGHAKAMMA
Sanghakamma merupakan kegiatan para bhikkhu yang timbul karena kegiatan tersebut memerlukan persetujuan Sangha atau perlu diketahui Sangha berkenaan dengan pelaksanaan Upasampada, Uposatha, Pavarana dan Kathina. Sanghakamma juga sering disebut sebagai sidang Sangha atau upacara Sangha Tempat untuk melaksanakan Sanghakamma adalah di Uposathagara. Berdasarkan Vinaya Pitaka, Sanghakamma yang dilakukan dalam Uposathagara adalah; penahbisan para bhikkhu, pembacaan Patimokha setiap bulan terang dan gelap, penyelesaian pelanggaran para bhikkhu, dan Penentuan hak Kathina. Sanghakamma dapat dikelompokan menjadi beberapa bagian, yaitu;

1)             Apalokanakamma
Menyampaikan informasi kepada Sangha tentang 5 hal. Dapat dikatakan Apalokanakamma apabila termasuk dalam 5 jenis hal berikut ini;
a)    Nissarana
Mungusir atau memecat samanera yang telah melecehkan dan menghina Buddha.
b)   Osarana
Menerima kembali seseorang dalam persamuan Sangha setelah berhasil memperbaiki sikapnya.
c)    Bhandukamma
Meminta izin untuk mencukur rambut calon samanera yang akan ditahbiskan dan bhikkhu sendiri langsung yang akan mengerjakannya.
d)   Brahmadanda
Pengucilan terhadap bhikkhu yang memiliki perilaku tidak terpuji. Pengucilan dilakukan dengan cara tidak menegur, tidak menasehati bhikkhu tersebut. Contohnya hukuman Brahmadanda untuk Bhikkhu Channa yang memiliki sifat sombong dan sulit dinasehati.
e)    Kammalakkhana
Memperkenankan untuk tidak beranjali kepada bhikkhu yang memiliki penyimpangan seksual dengan seorang bhikkhuni
2)             Nattikamma
Kegiatan yang berupa usul (natti) tanpa pengumuman (anusavana), misalnya memanggil calon bhikkhu kedalam Sangha yang telah diselidiki adanya hal-hal yang merintangi untuk pelaksanaan Upasampada.
Nattikamma dapat dikategorikan kedalam 9 jenis, yaitu;
a.       Osarana : Memanggil ke tengah-tengah Sangha seseorang yang ingin ditahbiskan menjadi samanera berkaitan dengan hambatan untuk penahbisan.
b.      Nissarana : tindakan untuk memberhentikan kecuali dari proses penetapan hukum yang sah, Dhammakathika (pendeta Dhamma) tidak berhak melawan sebuah kasus tanpa alasan.
c.       Uposatha : pembacaan Patimokkha di depan umum.
d.      Pavarana : memberi kesempatan Bhikkhu lain untuk mengakui kesalahannya atau mengundang Bhikkhu untuk mendengarkan pengakuan dari umat.
e.       Menyampaikan tentang beragam pembicaraan, begitu menyampaikan tentang diri sendiri atau yang lain untuk bertanya hambatan dalam melakukan penasbihan, dan menyampaikan tentang diri sendiri atau yang lain bertanya atau menjawab pertanyaan tentang Vinaya.
f.       Mengembalikan jubah asli, mangkok pata dan sebagainya yang termasuk Nissaggiya.
g.      Menerima pengakuan Apati dari Bhikkhu Sangha.
h.      Tindakan yang berurusan deangan penundaan pavarana.
i.        Kammalakkhana : menyatakan langkah awal dalam menyelesaikan perselisihan lewat metode tinavattharakavinaya.



3)             Nattidutiyakamma ( 2 pengumuman)
Adalah kegiatan dengan mengajukan usul (natti) dan mengumukan (anusavana) misalnya pengumuman tentang sima dan bhikkhu yang ditugaskan untuk itu atas nama Sangha.
a. dan  b. Nissarana dan Osarana : contoh yang diberikan di Pali ialah dengan menyatakan ketidaksetujuan Vaddhalic Chavi yang memiliki tingkah laku memalukan ajaran Buddha dan mengumukan pembatalan apabila telah menyadari kesalahannya dan memiliki pengendalian dimasa depan.
c. Mengumumkan berbagai pembicaraan seperti Sima(batas) dan menujuk satu bhikkhu untuk menyelesaikan pekerjaan atas nama Sangha.
d. Memberikan ungkapan terimakasih dengan cara memberikan jubah kepada para bhikkhu atau samanera yang telah merawatnya ketika sakit.
e.   Menyatakanpembatalan hak istimewa dalam Kathina.
f.   Mengumunkan skema dimana sebuah kuti akan dibangun untuk bhikkhu.
g.  Kammalakkhana : dituliskan dalam kitab Pali tentang Nattidutiyakamma yang menceritakan akhir dari perselisihan melalui Tinavattharakavinaya.

4.             Natticatutthakamma (4 pengumuman)
Mengemukakan usul (natti) dan pengumunan usul (anusavana) itu sampai tiga kali. Jadi kegiatan ini (kamma) berupa empat kali pengumuman (Natticatutthakamma). Misalnya, empat kali pengumuman tentang calon bhikkhu untuk diterima sebagi bhikkhu.
a.       dan b. Nissarana dan Osarana : dijelaskan dalam kitab Pali bahwa Sangha melakukan 7 tindakan salah satunya Tajjaniyakamma. Menghukum para bhikkhu yang memiliki tingkah laku yang tidak pantas dan ceroboh dan mengampuni para bhikkhu yang memiliki kembali tingkah laku yang pantas.
b.      mengumukan instruksi oleh Bhikkhu kepada Bhikkhuni.
c.       Menunjuk tentang Parivasa dan Manatta untuk Bhikkhu yang melakukan Sanghadisesa.
d.      Niggaha : bhikkhu menjalani parivasa atau manatta dan berjanji untuk tidak melakukan sanghadisesa yang lain, harus di lakukan dari permulaan.
e.       Samanubhasana : mengumumkan larangan terhadap bhikkhu ynag memiliki pandangan salah, di katakan di sanghadisesa (latihan peraturan) dengan tiga keterangan dan pada pelatihan ke-8 dari sappanavagga pada bab pacittiya.
f.       Kammalakkhana : yang mana di ceritakan dalam kitab Pali tentang upasampada dan abbhana atau rehabilitasi dari seorang bhikkhu yang melakukan sanghadisesa apabila latihan dari parivasa dan manatta sudah lengkap.
Sangha yang melaksanakan empat kamma ini di tentukan oleh nomor  dari vagga tersebut. Sangha yang terdiri dari empat bhikkhu di sebut caturavgga, dari lima bhikkhu di sebut pancavagga, sepuluh bhikkhu di sebut dasavagga, dua puluh bhikkhu di sebut visativagga, demikianlah pembuatan empat vagga. Di dalam campeyyakhandhaka, mahavagga (vinaya pitaka), ada sangha yang terdiri dari dua puluh bhikkhu di sebut atirekavisativagga, tapi tidak menuliskan fungsi dari visativagga seperti yang telah di jelaskan.
Dengan mengikuti empat perbuatan, pavarana, memberikan kain kathina, upasampada dan abhana, semua perbuatan dapat di lakukan dengan caturavagga-sangha. Di dalam campeyyakhandhaka tidak disebutkan bagaimana cara memberikan kain kathina. Pavarana memberikan kain kathina dan upasampada dapat di laksanakan di luar negara oleh pancavagga-sangha. Jika upasampada di lakukan di dalam suatu negara maka di lakukan oleh dasavagga-sangha. abhana hanya dapat di lakukan oleh visativagga-sangha. Perbuatan yang di perlukan hanyalah empat bhikkhu maka dapat menjadi sah dengan melakukan nomor yang lebih besar.
Seorang bhikkhu yang membuat pavarana akan di berikan kain kathina, di upasampada oleh upajjaya. Dalam hal ini dapat di sebut caturavagga-sangha yaitu melaksanakan perbuatan demikian. Di dalam menyatakan tentang pelaksanaan upasampada ini, makapaling tidak di butuhka lima bhikkhu termasuk bhikkhu yang mengumumkan atau bhikkhu upajjaya. Dalam kitab Pali tidak memasukkan perbuatan yang bertentangan dengan perbuatan yang di laksanakan oleh pancavagga-sangha. Dalam mengumumkan urusan sangha, seorang calon bhikkhu atau samanera harus memilih seseorang dan menyetujui dari awal sebuah kammarahapuggala  (seorang yang pantas untuk membawa urusan sangha). Saat dia sedang melaksanakan pavarana, dia harus manyuruh bhikkhu lain untuk mengkritiki dia dari masing-masing bhikkhu tidak termasuk bhikkhu yang ada di dalam pertemuan. Pada awal pemberian kain kathina, tidak mengetahui siapa penerimanya. Upajjaya tidak di pilih di luar sima tetapi di dalam sima. Sesuai dengan istiadat sekarang ada upajjaya yang di pilih di luar sima tetapi akhirnya harus di dalam sima juga. Pemilihan upajjaya di luar sima dulu juga pernah di lakukan pada saat Sang Buddha masih hidup, yaitu ketika Sang Buddha meminta Y.M.Sariputta untuk menahbiskan Radhabrahmana.
Bhikkhu yang berpartisipasi, dengan membuat sebuah rapat dari sangha untuk melakukan kamma, dalam kitab Pali di sebut “ partisipasi kamma”. Mereka harus bhikkhu normal, mereka bukan bhikkhu yang di usir dari sangha karena ukkhepaniyakamma, mereka adalah samanasamvasa (komunikasi yang sama) dan memiliki pemikiran yang sama dengan bhikkhu lain. Kalau satu bhikkhu di usir, di adalah nanasamvasa (komunikasi yang berbeda).
Kammavipatti ( perbuatan yang tidak sesuai )
Perbuatan yang telah dicontohkan dan diajarkan harus dilakukan sesuai dengan petunjuk seperti yang telah Sang Buddha ajarkan. Akibatnya, apabila tidak dimengerti perbuatan yang dianggap benar akan menjadi perbuatan yang tidak sesuai. Sebagai contoh suatu pertemuan yang mengharuskan seorang bhikkhu datang tapi bhikkhu tersebut tidak datang, apabila seorang bhikkhu diharuskan bertanya dan menjawab tapi bhikkhu tersebut tidak melakukan hal demikian, atau seorang bhikkhu yang harus memberikan suara untuk kesepakatan suatu hal namun ia tidak melakukan hal tersebut.
Perbuatan yang tidak sesuai menurut parisa (peserta) dapat di lihat dari contoh berikut: suatu perbuatan yang di lakukan dari caturavaggasangha, pancavaggasangha, dasavaggasangha atau visativaggasangha. Para bhikkhu yang ikut berpartisipasi harus membentuk kuorum (jumlah anggota rapat yang harus hadir dalam mengambil keputusan) dan tidak boleh kurang dari jumlah yang telah ditentukan.
Cara Dari Pengucapan Kata-Kata
Seseorang yang bernyanyi di gereja harus tahu group dari surat dan tempat dari artikulasi dari masing-masing mereka, dan dia harus tahu bagaimana caranya melafalkannya. Dengan demikian dia akan mampu untuk menyanyikan dengan benar dan dengan lancar. Cara dari pengucapan kata-kata adalah satu bagian dan yang keinginan untuk mengetahui ini harus tunjuk ke buku telah terbit. Seperti aku harus mengucapkan sekitar terkait aspek itu secara langsung ke kamavaca. Atthakata-acariyas yang merekomendasikan bahwa bhikkhu yang chanting kamavaca memperhatikan ke sepuluh aspek dari abjad, yaitu sithila (bukan menghisap udara), dhanita (dihisap udara), digha (lama), rassa (pendek), garu  (ditekan), lahu (tanpa tekanan), niggahita (bunyi sengau), vimutta (buka), sambandha (euphonic), dan vavathita (dipisahkan)
     konsonan tidak disertai hembusan napas dipanggil sithila dan terdiri dari yang pertama dan konsonan ketiga dari lima group: k,g;  c,j;  ṭ,ḍ;  t,d;  p,b.
huruf mati yang dihisap udara dipanggil dhanita dan terdiri dari kedua dan konsonan ke-empat dari lima group: kh,gh  ch,jh;  th,dh;  ph,bh.
huruf vokal panjang disebut digha dan terdiri dari: a, i, u, e, o.
huruf vocal pendek melafalkannya dengan separuh panjang. Huruf hidupnya disebut rassa dan terdiri dari: a i u.
huruf vocal panjang adalah garu, menekan. Huruf vocal pendek disebut lahu, tidak ditekan. Bagaimanapun huruf vocal pendek digabungkan dengan huruf mati (disebut samyoga) adalah garu. Buddharakkhitattherassa nakkhamati. Huruf vocal pendek tanpa konjungsi huruf mati adalah lahu. Buddharakkhitattherassa nakkhamati. Huruf dengan nigghahita adalah menekan. Sangham upasampadam.
pada komentar buku ini dijelaskan bahwa huruf yang ditutup dengan menutup mulut mempertahankan bibir bersama-sama dan memaksa memendapat melalui hidung dipanggil niggahita. keterangan ini rup-rupanya mengacu pada membunyikan niggahita. Bunyi sengau m atau ṁ.
            Suara yang di buka disebut vimutta, sunatu me, esa natty. Kata yang digabung disebut sambandha, tunha’ssa atau tunhi’ssa. Kata yang terpisah disebut vavatthita, tunhi assa.
            Atthakatha-Acariyas memberikan contoh pengucapan kata-kata yang salah:
1.      Di dalam kata sunatu me satu pengucapan t as th, ie. Sunathu me atau eg. Pattakallam esa natti seperti patthakallam esa natthi. Ini adalah pengucapan sithila seperti dhanita.
2.      Di dalam kata bhante saṅgho, bh dilafalkan seperti  b, gh seperti g ie. Seperti bante saṅgo ini adalah pelafalan dhanita seperti sithila.
3.      Di dalam kata dimana suara dibuka eg.  Sunantu me, jika suara ditutup dan sengau ie. Sunantu me; atau eg. esa natthi kembali esam natthi; ini adalah pelafalan vimutta seperti niggahita.
4.       Jika kata-kata dengan suara ditutup dan sengau, eg. pattakalam adalah pelafalan seperti dibuka dan tidak sengau eg. pattakalla; ini adalah pelafalan niggahita seperti vimutta.
Keempat  macam contoh pelafalan salah tersebut dipengaruhi kamma yang kurang baik melalui kammavaca. Selain keenam macam pelafalan yang salah, pelafalan digha seperti rassa, garu seperti lahu, dan vice-versa dan pelafalan yang belum jelas dari sambadha atau vavatthita, adalah penghormatan seperti tidak merusak kamavaca. Siapapun Bhikkhu yang akan chanting kammavaca harus melafalkan setiap huruf secara benar menurut sifat pelafalannya, menjaga tradisi yang hampir hilang dan tidak membiarkannya hilang.
Di dalam ringkasan, bagian dari komentar para ahli melafalkan kata-kata dan huruf-huruf salah jadi sama artinya dengan merusak tidak dapat dibenarkan. Dengan pelafalan salah yang tidak merusak arti dapat digunakan, tetapi pemakaian seperti itu menyebabkan bhikkhu dari beberapa kelompok untuk menyalahkan bhikkhu dari kelompok lain yang melafalkan berbeda dari pemikiran mereka, pemberian pentahbisan dengan kamavaca yang kurang baik dan orang yang ditahbis tersebut tidak sesuai dengan yang diajarkan Buddha.
Dalam kenyataannya suara bukan orang asli bahasanya berbeda dengan suara orang asli. Sebagai contohnya orang China, Eropa dan India yang berbicara Thailand. Pengucapannya aneh!. Dengarkan suaranya, jangan lihat suaranya,seseorang dapat menceritakan kebangsaan seseorang. Tetapi dalam bahasa yang kita miliki datar, Kata-katanya sama pengucapan berbeda. Sebagai contoh, logat Bangkok dan Nakorn si thnnart (di selatan). Variasi seperti itu tidak terbatas untuk bahasa Thailand, untuk bahasa inggris dan bahasa lainnya mempunyai kecenderungan yang sama.
Kemampuan berbicara asing sama artinya berkemampuan untuk membuat dirinya mengerti dan paham apa yang dikatakan. Kita setuju orang china eropa dan india seperti ucapan orang Thailand ketika kita paham apa yang mereka katakana dan ketika mereka tahu apa yang kita katakan. Kita memuji mereka seperti “berhasil berbicara Thailand” ketika mereka berbicara dengan cara yang sama dimana mereka tinggal.
Suatu bahasa mati adalah seseorang  berbicara tanpa menemukan arus, seperti bahasa Magadha yang kita tahu sekarang sebagai bahasa pali. Ini memberi perkembangan banyak kebiasaan yang berbeda dari pelafalan. Seseorang harus mendengarkan chanting  bhikkhu Mahanikaya, Bhikkhu Dhammayuttika, Bhikkhu Ramanna, Bhikkhu Burma, Bhikkhu Sinhalai, mereka suaranya berbeda! Seseorang yang belajar vinaya menyadari kecenderungan dari bahasa yang berbeda dari yang biasa diucapkan. Mereka tidak akan bangga dalam pelafalan seperti itu dan akan tahu bagaimana menghormat bhikkhun dari kelompok lain dalam sikap yang tepat.




Sima
Sanghakamma yang dilakukan dilakukan oleh Sangha adalah ; penasbihan para bhikkhu, pembacaan Patimokha setiap bulan terang dan gelap, penyelesaian pelanggaran para bhikkhu, dan Penentuan hak Kathina disuatu lokasi yang mempunyai batas yang jelas terlihat yang dinamakan Sima.menurut vinaya Sima merupakan suatu unsur yang penting untuk dapat terlaksanakannya Sanghakamma. Suatu Sanghakamma tidak syah apabila sima tidak memenuhi syarat yang ditentukan oleh vinaya meskipun unsur-unsur lain yang telah ditetapkan. Ada dua jenis Sima yaitu ;
a.              Baddha Sima, yaitu Sima ynag batas-batasnya ditentukan oleh Sangha sendiri dan merupakan Sima yang tetap.
a)      Daerah Sima
Baddha Sima memiliki batas minimal dan maksimal. Batas minimal adalah lokasi yang dapat menampung minimal 21 orang bhikkhu yang duduk sejarak satu hasta satu dengan lainnya. Batas maksimalnya adalah tiga yojana (1 yojana=16km). Sima yang lebih kecil atau lebih besar dari itu tidak memenuhi syarat dan tidak boleh digunakan untuk Sanghakamma. Sima merupakan daerah hutan yang tidak ada pemiliknya. Dengan berjalannnya waktu, berangsur-angsur seperti sekarang, terbatas pada tanah milik dan harus mendapat izin dari pemerintah. Lokasi ynag digunakan untuk Sima adalah milik Sangha, sama seperti lokasi untuk kutiyng disebutkan dalam Sikkhapada ke 6 dan ke 7 dalam Sanghadisesa. Jika terdapat desa-desa dalam lokasi yang diteteapkan oleg Sangha sebagai Sima, maka desa-desa beserta bangunan diatasnya tidak termasuk kedalam Sima.
b)      Pilar batas Sima (Nimitta)
Batas suatu Sima ditandai dengan berbagai objek. Untuk tanda batas Sima diperkenankan oleh Sang Buddha dengan material yang disebut Nimitta yang berarti tanda. Dalam vinaya disebutkan 8 jenis yang dapat digunakan sebagai Nimitta: a.) bukit-bukit, b.) batu karamng, c.) hutan kayu, d.) pohon-pohon,e.) bukan sarang semut, f.) jalan-jalan, g.) sungai-sungai dan h.) danau atau genangan air semacam itu.
Beberapa banyak nimitta dapat di gunakan sebagai pilar batas sima tidak ada penjelasannya, tetapi paling sedikit di gunakan 3 nimitta. Sima memiliki 3 nimitta berbentuk segitiga. Bila 4 nimitta berbentuk segi empat dengan berbagai variasi tergantung pada letak nimitta. Sima yang mempunyai banyak nimitta akan mempunyai bentuk beraneka ragam tergantung pada posisi dari nimitta-nimitta seperti terlampir.
c).adhitthana sima
Setiap lokasi yang akan dijadikan Sima, pertama kali harus dilakukan adhitthana pencabutan ataupembatalan daerah itu sebagai Sima meskipun tidak ada tanda-tanda yang menunjukan bahwa disana pernah ada Sima. Siapa tau, pada zaman dahulu kala lokasi itu telah digunakan sebagai Sima. Bila tidak dilakukan pembatalan tempat itu sebagai Sima, maka Sima baru akan tumpang tindih dengan Sima yang lama.
Sangha tidak boleh menetapkan Sima baru yang bertumpah tindih dengan Sima yang lain. Sima yang tumpang tindih tidak memenuhi syarat dan tidak boleh di gunakan untuk Sanghakamma. Sima yang sesuai dengan ketentuan Vinaya di namakan Samanavasa-Sima artinya “lokasi tempat orang yang sama”. Para Bhikkhu yang tinggal di daerah ini punya hak untuk Uposatha, Pavarana, dan Sanghakamma lainnya. Di dalam Samanavassa Sima,seorang bhikkhu boleh berpisah dengan Ticivara kecuali dalam desa dan bangunan yang ada di sana yang terdapat dalam Sima tersebut.
Pada zaman dahulu terdapat berbagai jenis Baddhasima. Dalam perkembangannya kemudian terdapat tiga jenis Baddhasima, yaitu: Kandasima (Sima yang hanya mencakup uposatha ghara), Mahasima(Sima yang hanya mencakup seluruh wilayah vihara), Dua bagian Sima dalam Maha Vagga (Vinaya Pitaka) disebutkan nadipara-sima, artinya “sima tepian sungai”. Sima terletak diantara dua tepian sungai yang terbatas.

d.Mendirikan Sima
Mendirikan Sima pada zaman sekarang dimulai dengan membatalkan lokasi sebagai Sima yang mungkin telah ada pada zaman dahulu, meskipun tidak ada tanda bahwa disana pernah ada Sima dengan Uposathagharanya. Lokasi yang akan ditetapkan menjadi Sima harus mendapat izin lebih dahulu dari pemerintah agar daerah itu menjadi Visungama, artinya daerah itu tidak termasuk daerah desa atau kota. Sima akan kehilangan statusnya apabila tidak digunakan lagi oleh Sangha, namun tidak perlu dilakukan pembatalan Sima. Apabila Sangha ingin membatalkannya, maka Bhikkhu-bhikkhu ynag tinggal didaerah itu harus mengadakan pertemuan untuk mendapatkan kata sepakat guna pembatalan suatu Sima sesuai dengan prosedur Sanghakamma.
Bila Sangha menetapkan pembatalan Sima, maka pertama-tama dilakukan pembatalan tempat itu sebagai tempat dimana para bhikkhu dapat berpisah dengan Ticivara (ticipara-avipavassa). Kemudian membatalkan sebagai tempat tinggal orang yang sama(samana-samvasa sima). Pembacaan Paritta melepaskan sebagai Ticivara-avippavassa dan Samana-samvasa sima dilakukan dalam satu hari. Sekiranya pembacaan paritta tidak selesai pada hari itu, maka pembacaan Paritta Ticivara-avippavassa dilakukan sehari sebelumnya.
Pada waktu Adhitthana Sima, semua bhikkhu harus hadir sesuai dengan prosedur Sanghakamma. Sangha harus memerintahkan Samanera atau pembantu vihara mencegah agar Bhikkhu lain tidak memasuki Sima atau berada di sekitar Sima sewaktu upacara. Adanya Bhikkhu lain yan jaraknya lebih dari satu hasta menunjukkan bahwa Sangha tidak dalam persatuan (Samaggi). Karenanya Sima itu tidak sah dan harus di ulangi lagi dengan mengikutsertakan Bhikkhu yang berada di luar jarak satu hasta.
Semua aktivitas melepas adhitthana Sima lama atau Sima baru, meletakkan Nimitta Sima harus di lakukan dalam Sima. Apabila dilakukan di luar Sima, maka tindakan atau kamma adalah salah (Kamma-vipatta) dan Sima itu juga tidak sah (Sima Vipatta). Uposathaghara adalah bangunan yang terletak dalam Sima dan luasnya tidak boleh melewati batas Sima. Luas Uposathaghara minimal harus dapat menampung 21 orang Bhikkhu yang duduk sejarak satu hastadengan yang lainnya. Uposathaghara adalah bangunan utama dan di pandang paling suci di vihara, di sinilah upacara yang bersangkutan dengan Sanghakamma di lakukan.  

b.             Abaddha Sima, yaitu Sima yang batasnya ditentukan oleh pemerintah atau dengan cara lain dan merupakan Sima yang tidak tetap.
a)      Ganasima
Apabila Sangha sendiri tidak menetapkan Sima, maka daerah Samavasa ditetapkan dengan batas desa atau kota dimana para bhikkhu tinggal. Lokasi ini disebut Gamasima atau Nigamasima. Gamasima mencakup sebuah desa, sedangkan Nigamasima mencakup beberapa desa. Nigamasima digunakan bila terdapat satu kelompo(nikaya) yang sama dan sedikit bhikkhu yang hadir, tetapi bila banyak kelompok bhikkhu (nikaya) digunakan Gamasima.
b)      Visungamasima
Atthakatha Acariya menggambarkan daerah tertentu dalam suatu desa dipisahkan dari desa oleh raja dan diberikannya kepada seseorang ynag berjasa. Daerah yang terpisah dari Ganasima itu dinamakan Visungamasima. Kedua sima ini, yaitu Visungamasima dan Gamasima yang normal sama dengan Baddhasima, kecuali dalam kedua Sima ini tidak dapat ditetapkan sebagai tempat para bhikkhu dapat tinggal terpisah dari Ticivara (Ticivara-avippavassa). Daerah Visungamasima tidak terjamin, karena dapat diambil kembali oleh pemerintah.
c)      Sattabhantagarasima (100 metet Sima)
Permukaan genangan air (danau) tidak dapat ditetapkan sebagai Sima, tapi Samvassa dapat dibatasi dengan radius yang ditentukan dari seberapa jauh air dapat dilemparkan oleh orang biasa, keadaan ini disebut Udakukkhapa(dibatasi oleh air). Vinaya menyebutkan ada tiga jenis genangan air, yaitu sungai(nadi), lautan(samudra), danau(jatisara). Sungai(nadi) adalah sungai yang tetap berair, tidak kering setelah empat bulan musim hujan berlalu. Lautan(samudra) berarti timbunan air yang berasa asin, termasuk teluk. Danau, telaga (jatarasi) adalah timbunan air yang banyak dan tidak mengalir seperti sungai.

Sanghakamma dapat dilakukan disalah satu diatas permukaan air, diatas kapal atau rakit yang diikat agar tidak dibawa arus. Jarak kapal atau rakit dengan pantai atau tepi sungai adalah paling kurang sejauh lemparan air. Diperkenankan juga melakukan Sanghakamma diatas panggung yang dibuat diatas sungai. Daerah Samvassa adalah sejauh satu lemparan air disekeliling Sangha. Ganasima sattabbhantasima dan Ukakukkhepasima termasuk dalam Abaddhasima.

Kathina
Bhikkhu yang akan menjalani Kathina harus menjalani Vassa selama 3 bulan tanpa putus dan tinggal dalam satu vihara dengan 5 atau lebih Bhikkhu lainnya. Atthakatha Acariya menjelaskan bahwa kain Kathina harus diberikan oleh Sangha kepada Bhikkhu yang memakai jubah lusuh atau tua. Jika banyak Bhikkhu yang demikian, maka kain Kathina diberikan kepada vassa yang tertinggi. Apabila banyak Bhikkhu yang vassanya sama maka kain tersebut diberikan kepada Bhikkhu Mahapurisa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar