A.
Pengertian
Vinaya Kamma
Vinaya Pitaka merupakan
bagian pertama dari tiga bagian Tripitaka (kitab suci
agama Buddha). Bagian ini
berisi hal-hal yang berkenaan dengan peraturan-peraturan bagi para bhikkhu dan bhikkhuni. Jika
peraturan peraturan tersebut dilanggar maka akan mengakibatkan apatti. Di dalam
pelanggaran tersebut para bhikkhu harus paham mengenai vinayakamma. Didalam vinayakamma
membahas tentang cara pengakuan apatti dan cara bagai mana seorang bhikkhu
dalam mengambil sebuah keputusan (adhitthana).
B.
Cara
Pengakuan Apatti
Di antara pelanggaran yang dilakukan oleh para
bhikkhu terdapat satu jenis apatti yang tidak dapat diperbaiki lagi, yaitu
parajika. Seorang bhikkhu yang telah melakukan parajika maka ia harus mengakui
bahhwa ia telah melakukan pelanggaran dan kemudian meninggalkan kebhikkhuannya
sesuai dengan masing-masing apatti. Cara untuk menyelesaikan majjhimapatti
(kesalahan menengah) yaitu sangha-disesa, bhikkhu yang melakukan sangha-disesa
tidak dapat membersihkan dirinya dari kesalahan tanpa bantuan bhikkhu lain yang
mengerti tentang hal itu.
Seorang bhikkhu yang telah melakukan
pelanggaran dan kemudian telah menutup-nutupi perbuatannya tersebut baik
dirinya sendiri maupun orang lain disebut alajji (tanpa malu), oleh sebab itu
para bhikkhu tidak boleh melanggar batas-batas apatti dan jika melanggarnya
maka mereka harus mengakuinya. Cara untuk melakukan lahukapatti adalah dengan mengakui
kesalahan dihadapan bhikkhu lain, metode kesalahan tersebut terdapat dalam
vinaya bagian uphosathakkandaka dari mahavagga.
Seorang bhikkhu yang telah melakukan apatti harus
pergi ke bhikkhu lain dengan mengenakan jubah yang menutup bahu kiri, kemudian
berjongkok dan bersikap anjali sambil berkata “aham avuso itthannamam apattim
apanno tam pattidesemi (teman yang mulia, setelah melakukan pelanggaran aku
mengakuinya)”.
Kemudian bhikkhu yang menerima pengakuan tersebut
harus berkata “passasi (apakah kau melihatnya?)
Bhikkhu yang mengaku menjawab : ama passami (ya, aku
melihatnya)
Bhikkhu penerima berkata : ayatim sanvareyyasi (kamu
harus mengendalikan dirimu di waktu yang akan datang)
Dengan mengucapkan kata-kata demikian maka bhikkhu
tersebut telah bersih dari apatti, dan apabila bhikkhu ragu-ragu dengan
beberapa apatti maka ia harus mengucapkan sebagai berikut :
“aham avuso itthannamaya apatti vematiko yada
Nibbematiko bhavissami tada tam apattim
patikkarissami
(teman yang mulia, saya
meragukan tentang pelanggaran (nama apatti) tetapi ketika aku terbebas dari
keragu-raguan itu, maka saya akan merubah apatti tersebut).
Menurut metode di atas maka apatti tersebut harus diakui
ditempat tinggal seorang bhikkhu, kemudian ia harus memilih penerima pengakuan
yang tinggal bersamanya dalam satu vihara dan dilarang melakukan pengakuan
dihadapan bhikkhu yang tidak satu tempat dengannya. Di dalam mahavibbhanga,
disebutkan bahwa jika terjadi seorang bhikkhu yang menghilangkan barang-barang milik
sangha, maka bhikkhu yang melakukan nisagiya harus datang kesangha dengan
mengenakan jubah yang menutup bahu kiri dan jongkok bersikap anjali sambil
mengucapkan kata-kata penyia-nyiaan barang milik sangha sesuai dengan formula
yang telah dilakukan dan mengakui apatti. Dengan cara demikian penyia-nyiaan
milik sangha telah diketahui, pengakuan ini dilakukan diluar dari hattahapasa
sangha, namun jika sebuah formula telah di buat didalam atthakatha yang menjadi
kata-kata untuk menetapkan seorang bhikkhu agar menerima apati, sebagai berikut
:
Sunatu me bhante sangho ayam itthannamao bhikkhu
apatim sarati vivarati udanikaroti deseti yadi sanghassa pattakallam aham
atthannamassa bhikkuno apatim patigganheyyam. (teman yang mulia biarkan sangha
mendengarkan saya ini, bhikkhu ini “nama” ingat, mengungkapkan, menjelaskan dan
mengumumkan apatti dari dirinya, apabila ada kesedihan penuh dari sangha, saya
harus memberitahukan apatti dari bhikkhu “nama” . Dengan cara demikian maka
apatti telah diakui dan diberitahukan didalam sangha.
Seorang bhikkhu harus mengakui satu pacittiya apatti
dan mengakuinya ditempat kediaman seorang bhikkhu yang lebih yunior
daripadanya, maka ia harus berkata “Aham avuso pacittiyam apattim apanno tam
patidesemi” dan kemudian seorang bhikkhu yang menerima pengakuan berkata
“passatha bhante”, pengaku menjawab “aham avuso passami”, penerima pengakuan
berkata “ayatim bhante sanvareyyatha.
Apabila apati yang dilanggar memiliki dasar sama,
misalnya mempunyai banyak jubah ekstra lebih dari sepuluh hari adalah satu
nissagiya pacittiya bagi setiap jubahnya. Mereka disebut apatti yang memiliki
dasar sama dan nama sama. Apatti ini dapat diakui bersama-sama pada waktu yang
samadengan menggunakan kata sambahula, yang berarti banyak. Seorang bhikkhu
boleh mengatakan sebagai berikut :
Aham avuso sambahula nissaggiya pacittiyayo
Apattiyo apanno ta patidesemi
Untuk apati
yang melibatkan dua hal, maka harus menggunakan kata dve=dua sebagai pengganti
dari sambahula, tetapi apabila terdapat dua atau lebih kasus maka sambahula
harus dipakai. Kemudian apatti yang sama
namanya tetapi mempunyai dasar yang berbeda seperti dukkata, dan tidak menghindari
hal yang tidak pantas untuk dilihat, kemudian dalam keadaan tidak sakit memakai
payung memasuki daerah pemukiman, duduk diatas sofa yang di isi dengan kapuk,
semua adalah apatti dukkata, tetapi masing-masing apati mempunyai dasar yang
berbeda. Semua apatti ini dapat diakui bersama-sama pada waktu yang sama dengan
menggunakan kata “nanavatthukayo” yang artinya dengan dasar berbeda.
Apabila hanya dua dasar yang dilampaui dan jumlah
apattinya juga hanya ada dua, maka kata-kata yang yang digunakan adalah dve
nana-vatthukayo. Apabila apati lebih dari itu, maka kata-kata yang harus
dipakai adalah “sambahula nanavathukayo”. Walaupun apatti dubbhasita (ucapan
salah) timbul dari berbagai ejekan ,olok-olokan, namun dikatakan mempunyai
dasar yang sama dan tidak timbul dari dasar-dasar berbeda, maka oleh karena itu
ia harus diakui sebanyak apatti yang mempunyai dasar sama.
Dalam hal pengakuan apatti yang tidak jelas, maka
bhikkhu yang mengaku bersalah itu harus menceritakan dasarnya (sifat dari
pelanggarannya) kepada penerima pengakuan, tetapi ada larangan untuk mengakui dan
memberitahukan kepada bhikkhu-bhikkhu yang membuat kesalahan yang sama
(sabhagapatti). Oleh karena itu sebaiknya menceritakan dasar apatti kepada
bhikkhu lain, kecuali seorang bhikkhu mengakui apatti di tempat tinggal dari
seorang bhikkhu yang barusaja selesai mengakui apatti.
Apabila apatti dengan dasar yang sama dilanggar oleh
dua orang bhikkhu atau lebih maka disebut sabhagapatti (apati dari jenis yang
sama), dan apati tersebut harus diakui ditempat kediaman bhikkhu lain . dan
apabila seluruh bhikkhu mempunyai subbhagapatti, maka seorang bhikkhu
diharuskan mengakuinya dimana saja sedangkan sisanya harus mengakui ditempat
tinggalnya , atau mengakui satu persatu kepada yang lain (yang sudah mengadakan
pengakuan). Apabila bhikkhu tersebut dapat melakukannya, maka hal itu merupakan
sesuatu yang baik, bila tidak dapat demikian maka ia harus melakukannya pada
hari uposatha kepada sangha. Sekali
pengumuman ini diumumkan maka uposatha dapat dilaksanakan . apabila disana
terdapat bhikkhu-bhikkhu yang telah mengakui dan memberitahukan sabhagapatti
bersama-sama dan menganggap seolah-olah apatti tersebut telah diakui,. Maka hal
tersebut adalah dukkata baik bagi pengaku kesalahan maupun penerima pengakuan.
Apatti itu harus diakui sesuai dengan nama, dasar
dan jumlahnya. Pengakuan terhadap apatti dengan menggunakan nama yang salah
tidak boleh dilakukan. Apabila terdapat kesalahan mengenai dasar dan jumlahnya,
melakukan banyak apatti dan mengakui sedikit saja,maka hal ini tidak boleh
dilakukan. Tetapi sedikit melakukan apatti dan mengakui seperti banyak apatti
boleh dilakukan.
Apatti dengan nama-nama berbeda tidak dapat secara
kolektif diakui dalam waktu yang sama. Para bhikkhu harus mengakuinya satu
per-satudan dilarang banyak bhkkhu secara bersama-sama (pada waktu yang
bersamaan) untuk mengakui apatti di tempat kediaman seorang bhikkhu. Hal ini
tidak boleh dilakukan karena apatti yang dilakukan para b hikkhu tidak sama.
Dan dilarang untuk mengaku di tempat kediaman dari empat atau lima orang
bhikkhu yang tinggal di luar sima. Ini berarti bahwa tempat itu tidak dapat
dibuat sebagai tempat Sanghakamma.
Nama-nama dari apatti tunggal yang harus diucapkan
demikian: thullaccaya apattim nissaggiya pacittiyam apattim, pacittiyam apattim,
dukkhatam, apattim dan dubbhasitam apattim menurut apatti. Apabila terdapat
banyak apatti ia harus dikatakan sebagai berikut: thullaccayo apattiyo. Dan
kata-kata dve atau sambahula bag apatti yang mempunyai satu dasar dan tambahkan
nanavatthukayo bagi dasar-dasar yang berbeda itu. Apabila disebut Patidesaniya
(yang harus diakui) mempunyai kata-kata jelas yang diberikan untuk pengakuannya
dalam naskah dari Patimokkha. Gerayham avuso dhammam apajjim asappayam
patidesaniyam tatidemi. Artinya “teman yang mulia saya telah melakukan perbuatan
yang patut disalahkan yang tidak biasa dan harus diakui kesalahannya. Untuk itu
saya mengakuinya”.
Seorang bhikkhu yang melakukan apatti tetapi tidak
mengakuinya dalam bahasa vinaya disebut sebagai “seorang yang tidak melihat
apatti” atau ia mengaku telah melakukan apatti dan tidak melakukan pengakuan
maka ia dinamakan “seorang yang tidak melakukan perbaikan”. Dalam kedua
dasarini Sang Buddha memperkenankan Sangha untuk ikut campur dalam menjatuhkan
hukuman ikkhepaniya-kamma.
Bhikkhu seperti itu dihalang-halangi dari samvasa,
makan dan tidur bersama-sama dengan bhikkhu lain. Bhikkhu itu disebut
“ukkhitako”, yang artinya “seorang yang ditinggalkan diluar sangha”. Apabila
ada seorang bhikkhu yang berhubungan dengan bhikkhu tersebut maka ia melakukan
pacittiya menurut eraturan latihan kesembilan dari sappanavagga dalam
pacittiya.
Apabila bhikkhu itu mengakuinya atau melihat
pelanggarannya sebagai suatu apatti atau ia berkeinginan untuk membuat
perbaikan-perbaikan. Sangha dapat membuat suatu pengumuman untuk mengakhiri
ukkhepaniya-kamma tersebut, sehingga ia diperbolehkan masuk dalam anggota
Sangha sebagaimana sebelumnya.
C.
Mengambil
Keputusan (Adhitthana)
Seorang bhikkhu dibolehkan untuk memiliki beberapa
alat-alat kebutuhan sebagai milik pribadi, namun tidak dibolehkan untuk
mempunyai lebih dari jumlah yang diperbolehkan atau lebih lama dari batas waktu
yang ditentukan. Apabila seorang bhikkhu ingin menyimpan alat-alat keperluan
sebagai milik pribadi, ia harus membuat adhitthana (ketetapan hati atau tekad)
tehadap alat keperluan mereka.
Alat keperluan itu harus disebutkan namanya saat
melakukan adhitthana, misalnya: sanghati, uttarasanga, anataravasaka yang
secara kolektif disebut tiga jubah. Dalam setiap membuat adhitthana harus
menyebutkan satu nama yang sesuai untuk masing-masing alat kebutuhan tersebut.
Seorang bhikkhu hanya boleh memiliki satu mangkok, maka aditthana hanya untuk
satu mangkok yang dipakai.
Sehelai kain untuk duduk (nisidana) dapat melakukan
adhitthana sepeti diatas. Kain alas tidur (paccattharana), kain untuk
memersihkan muka dan mulut (mukhapunchana), kain unuk menyaring air, tas untuk
mangkok, tas bahu, kain pembungkus disebut sebagai