UPASAKA DAN UPASIKA
(UMAT PERUMAH TANGGA dalam AGAMA Buddha)
Upāsaka (maskulin) atau Upāsikā (feminin) adalah dua kata yang diambil dari bahasa Sansakerta dan Pali, berarti "penunggu" (''"attendant"'' dalam bahasa Inggris). Kedua kata tersebut adalah sebutan untuk pengikut Buddhisme (atau, dalam sejarahnya, Gautama Buddha) yang bukan merupakan biksu, biksuni, atau murid di sebuah kuil Buddhis, dan menjalankan sumpah tertentu. Dalam arti modern, kedua kata ini memiliki konotasi seseorang yang bersungguh-sungguh, yang mungkin dapat diartikan sebagai "umat awam yang taat" atau "pengikut awam yang taat".
Latihan Sila yang dijalankan Upasaka dan Upasika ada 5 sila dan 8 Sila
Kelima sila dasar (dalam bahasa Pali: pañcasīla) yang dipegang kaum upāsaka adalah:
1. Saya tak akan melakukan pembunuhan makhluk sadar;
2. Saya tak akan mengambil yang tak diberikan kepada saya;
3. Saya akan menghindari penyelewengan seksual;
4. Saya akan menghindari perkataan palsu;
5. Saya akan menghindari mabuk.
Dalam tradisi Theravada, pada hari-hari Uposatha, pengikut awam yang taat dapat meminta "Delapan Sila" dari para pendeta (Pali: uposathaŋ samādiyati).
1. Dilarang menyakiti dan membunuh makhluk hidup.
2. Dilarang mencuri.
3. Dilarang berhubungan seksual.
4. Dilarang mengeluarkan ucapan kasar, fitnah, bohong dan menyakiti makhluk lain.
5. Dilarang segala minuman keras serta bahan-bahan lainnya yang menyebabkan lemahnya kesadaran.
6. Dilarang makan pada waktu yang tidak tepat.
7. Dilarang menari, menyanyi, bermain musik, melihat permainan atau pertunjukkan, dan memakai alat kosmetik untuk tujuan mempercantik diri.
8. Dilarang menggunakan tempat tidur dan tempat duduk yang besar dan mewah.
Tradisi Theravada
Dalam tradisi Theravada tradisional, seorang nonpengikut Buddha dapat menjadi murid awam Buddhis dengan menyebutkan Triratna dan Pancasila sebagai jawaban dalam sebuah upacara khusus kepada seorang pendeta, atau oleh dirinya sendiri di depan sebuah stupa atau representasi Buddha. Bayi yang lahir pada orang tua pengikut Buddha, secara tradisional dimasukkan ke dalam agama Buddha dengan cara diikutkan ke sebuah kuil waktu purnama atau pada hari festival.
Tradisi Mahayana atau Wajrayana
Dalam tradisi Ch'an di Cina atau Zen di Jepang, inisiasi kaum awam dilakukan dengan sebuah upacara yang menyatakan mencari keselamatan dalam Triratna dan menerima pancasila (受戒 Hanyu Pinyin: shòujiè; Jepang: jukai).
Upacara ordinasi untuk menerima Pancasila, dalam tradisi Cina, dituliskan dalam bab ke-14 dalam Sutra Prinsip Upasaka (優婆塞戒經受戒品第十四).
Orang yang hendak menerima Pancasila pertama-tama memberi penghormatan pada enam arah, yang mewakili orang tua, guru, suami/istri, teman, guru agama, dan karyawan (awalnya pelayan). Menghormati keenam arah tersebut adalah "sebuah cara untuk mewakilkan hubungan timbal balik dalam tiap-tiap hubungan tersebut".
Seseorang yang telah menghormati hubungan-hubungan ini dan memberi penghormatan pada keenam arah kemudian harus meminta izin kepada orang tuanya untuk menerima prinsip Pancasila. Jika mereka setuju, ia akan memberi tahu pasangan dan karyawannya. Orang ini kemudian perlu meminta izin dari raja, meskipun tentunya untuk alasan yang jelas, hari ini izin terakhir ini sudah jarang diminta.
Orang itu, setelah memberi penghormatan kepada enam arah dan mendapat izin yang cocok, kini boleh meminta kepada pendeta untuk diberikan prinsip Pancasila. (Kini, upacara ini biasanya diadakan secara teratur dan diketuai oleh seorang ketua kuil atau perwakilannya; dan seseorang mungkin tak bisa begitu saja meminta kepada seorang pendeta untuk menjalankan upacara).
Kepanditaan dan orang itu kemudian akan berdialog. Kependetaan akan bertanya dan orang itu harus menjawab. Ia akan bertanya apakah orang itu telah memberi penghormatan kepada enam arah dan apakah ia telah mendapatkan izin yang sesuai. Ia kemudian akan bertanya pertanyaan-pertanyaan tertentu untuk memastikan bahwa orang itu belum pernah melakukan kesalahan serius, dan kuat baik secara fisik atau mental untuk menerima prinsip.
Kependetaan kemudian akan menjelaskan manfaat prinsip Pancasila, serta konsekuensi negatif untuk melanggar prinsip-prinsip tersebut; setelah itu orang yang meminta akan ditanyakan apakah sudah siap dan akan tetap berdedikasi pada Triratna. Kemudian, kependetaan akan bertanya apakah orang itu akan mengikuti kebiasaan-kebiasaan tertentu untuk menghindari melanggar prinsip, akan menghindarkan orang lain dari pelanggaran prinsip, dan menghindari ketergantungan pada khandha. Apabila orang tersebut sudah siap, pendeta kemudian akan meminta orang itu untuk mengikuti seluruh sarannya selama enam bulan selama berada di bawah supervisi teratur sang pendeta.
Jika setelah enam bulan sang murid telah menjalankan prinsip dengan baik, ia boleh meminta kepada kependetaan untuk mengambil prinsip secara formal. Murid itu kemudian akan meminta perlindungan kepada Triratna, dan kependetaan akan memastikan bahwa sang murid telah siap untuk mengambil seluruh prinsip (dan bukan hanya beberapa). Apabila sang murid berkomitmen untuk menjalankan semua prinsip, dan mengikutinya dengan si pendeta, maka ia telah menyelesaikan ordinasinya menjadi kaum awam.
Bab itu kemudian berakhir dengan penjelasan mengenai konsekuensi melanggar prinsip dan kewajiban yang harus dijalani setelah mendapatkan prinsip.
Pakaian upacara
Pakaian tradisional upāsaka di India adalah gaun putih, yang menunjukkan suatu tingkatan yang membedakan antara orang-orang awam dan kependetaan. Untuk alasan ini, teks-teks tradisional tertentu menyebut "kaum awam yang berbaju putih" (avadāta-vassana). Praktik ini masih dapat ditemukan di kuil Theravada modern, terutama saat seorang nonpenganut Buddhisme masuk dalam agama Buddha atau ketika seseorang sedang mengikuti delapan prinsip dalam hari uposatha.
Dalam tradisi Cina, kaum upāsaka dan upāsikā diperbolehkan mengenakan gaun putih untuk upacara kuil dan acara lain, begitu pun di rumah. Kaum upāsaka dan upāsikā mengenakan gaun hitam berlengan panjang yang disebut haiqing (海青), yang menunjukkan pencarian keselamatan mereka dalam Triratna. Kasaya cokelat yang disebut manyi (缦衣) yang dikenakan sebagai pengganti gaun hitam, mewakili komitmen mereka dalam menjaga prinsip Buddhis. Tidak seperti kaum pendeta, mereka tidak diperbolehkan memakai gaun di luar upacara keagamaan di kuil.
Orang awam Jepang juga dapat mengenakan rakusu, yaitu sebuah kain pendek yang dikenakan di leher. Bentuk lain adalah wagesa, sebuah kain pendek yang dikenakan di leher, dengan mon kuil yang bersangkutan dituliskan pada kain tersebut. Wagesa juga dapat berlaku sebagai kasaya yang sederhana.