SANGHAKAMMA
Sanghakamma merupakan kegiatan para bhikkhu yang
timbul karena kegiatan tersebut memerlukan persetujuan Sangha atau perlu
diketahui Sangha berkenaan dengan pelaksanaan Upasampada, Uposatha, Pavarana
dan Kathina. Sanghakamma juga sering
disebut sebagai sidang Sangha atau upacara Sangha Tempat untuk melaksanakan Sanghakamma adalah di Uposathagara.
Berdasarkan Vinaya Pitaka, Sanghakamma yang dilakukan dalam Uposathagara
adalah; penahbisan para bhikkhu, pembacaan Patimokha setiap bulan terang dan gelap,
penyelesaian pelanggaran para bhikkhu, dan Penentuan hak Kathina. Sanghakamma
dapat dikelompokan menjadi beberapa bagian, yaitu;
1)
Apalokanakamma
Menyampaikan informasi kepada Sangha tentang 5 hal.
Dapat dikatakan Apalokanakamma apabila termasuk dalam 5 jenis hal berikut ini;
a) Nissarana
Mungusir atau memecat samanera yang telah melecehkan
dan menghina Buddha.
b) Osarana
Menerima kembali seseorang dalam persamuan Sangha
setelah berhasil memperbaiki sikapnya.
c) Bhandukamma
Meminta izin untuk mencukur rambut calon samanera
yang akan ditahbiskan dan bhikkhu sendiri langsung yang akan mengerjakannya.
d) Brahmadanda
Pengucilan terhadap bhikkhu yang memiliki perilaku
tidak terpuji. Pengucilan dilakukan dengan cara tidak menegur, tidak menasehati
bhikkhu tersebut. Contohnya hukuman Brahmadanda untuk Bhikkhu Channa yang
memiliki sifat sombong dan sulit dinasehati.
e) Kammalakkhana
Memperkenankan untuk tidak beranjali kepada bhikkhu
yang memiliki penyimpangan seksual dengan seorang bhikkhuni
2)
Nattikamma
Kegiatan yang berupa usul (natti) tanpa pengumuman
(anusavana), misalnya memanggil calon bhikkhu kedalam Sangha yang telah
diselidiki adanya hal-hal yang merintangi untuk pelaksanaan Upasampada.
Nattikamma dapat dikategorikan kedalam 9 jenis,
yaitu;
a.
Osarana :
Memanggil ke tengah-tengah Sangha seseorang yang ingin ditahbiskan menjadi
samanera berkaitan dengan hambatan untuk penahbisan.
b.
Nissarana :
tindakan untuk memberhentikan kecuali dari proses penetapan hukum yang sah,
Dhammakathika (pendeta Dhamma) tidak berhak melawan sebuah kasus tanpa alasan.
c.
Uposatha :
pembacaan Patimokkha di depan umum.
d.
Pavarana :
memberi kesempatan Bhikkhu lain untuk mengakui kesalahannya atau mengundang
Bhikkhu untuk mendengarkan pengakuan dari umat.
e.
Menyampaikan
tentang beragam pembicaraan, begitu menyampaikan tentang diri sendiri atau yang
lain untuk bertanya hambatan dalam melakukan penasbihan, dan menyampaikan
tentang diri sendiri atau yang lain bertanya atau menjawab pertanyaan tentang
Vinaya.
f.
Mengembalikan
jubah asli, mangkok pata dan sebagainya yang termasuk Nissaggiya.
g.
Menerima
pengakuan Apati dari Bhikkhu Sangha.
h.
Tindakan yang
berurusan deangan penundaan pavarana.
i.
Kammalakkhana : menyatakan
langkah awal dalam menyelesaikan perselisihan lewat metode
tinavattharakavinaya.
3)
Nattidutiyakamma
( 2 pengumuman)
Adalah kegiatan dengan mengajukan usul (natti) dan
mengumukan (anusavana) misalnya pengumuman tentang sima dan bhikkhu yang
ditugaskan untuk itu atas nama Sangha.
a. dan b. Nissarana
dan Osarana : contoh yang diberikan di Pali ialah dengan menyatakan
ketidaksetujuan Vaddhalic Chavi yang memiliki tingkah laku memalukan ajaran
Buddha dan mengumukan pembatalan apabila telah menyadari kesalahannya dan
memiliki pengendalian dimasa depan.
c. Mengumumkan berbagai pembicaraan seperti
Sima(batas) dan menujuk satu bhikkhu untuk menyelesaikan pekerjaan atas nama
Sangha.
d. Memberikan ungkapan terimakasih dengan cara
memberikan jubah kepada para bhikkhu atau samanera yang telah merawatnya ketika
sakit.
e.
Menyatakanpembatalan hak istimewa dalam Kathina.
f.
Mengumunkan skema dimana sebuah kuti akan dibangun untuk bhikkhu.
g.
Kammalakkhana : dituliskan dalam kitab Pali tentang Nattidutiyakamma
yang menceritakan akhir dari perselisihan melalui Tinavattharakavinaya.
4.
Natticatutthakamma
(4 pengumuman)
Mengemukakan usul (natti) dan pengumunan usul
(anusavana) itu sampai tiga kali. Jadi kegiatan ini (kamma) berupa empat kali
pengumuman (Natticatutthakamma). Misalnya, empat kali pengumuman tentang calon
bhikkhu untuk diterima sebagi bhikkhu.
a. dan b. Nissarana dan Osarana : dijelaskan dalam
kitab Pali bahwa Sangha melakukan 7 tindakan salah satunya Tajjaniyakamma.
Menghukum para bhikkhu yang memiliki tingkah laku yang tidak pantas dan ceroboh
dan mengampuni para bhikkhu yang memiliki kembali tingkah laku yang pantas.
b. mengumukan instruksi oleh Bhikkhu kepada Bhikkhuni.
c. Menunjuk tentang Parivasa dan Manatta untuk Bhikkhu
yang melakukan Sanghadisesa.
d. Niggaha : bhikkhu menjalani parivasa atau manatta
dan berjanji untuk tidak melakukan sanghadisesa yang lain, harus di lakukan
dari permulaan.
e. Samanubhasana : mengumumkan larangan terhadap
bhikkhu ynag memiliki pandangan salah, di katakan di sanghadisesa (latihan
peraturan) dengan tiga keterangan dan pada pelatihan ke-8 dari sappanavagga
pada bab pacittiya.
f. Kammalakkhana : yang mana di ceritakan dalam kitab
Pali tentang upasampada dan abbhana atau rehabilitasi dari seorang bhikkhu yang
melakukan sanghadisesa apabila latihan dari parivasa dan manatta sudah lengkap.
Sangha yang melaksanakan empat kamma ini di tentukan
oleh nomor dari vagga tersebut. Sangha
yang terdiri dari empat bhikkhu di sebut caturavgga, dari lima bhikkhu di sebut
pancavagga, sepuluh bhikkhu di sebut dasavagga, dua puluh bhikkhu di sebut
visativagga, demikianlah pembuatan empat vagga. Di dalam campeyyakhandhaka,
mahavagga (vinaya pitaka), ada sangha yang terdiri dari dua puluh bhikkhu di
sebut atirekavisativagga, tapi tidak menuliskan fungsi dari visativagga seperti
yang telah di jelaskan.
Dengan mengikuti empat perbuatan, pavarana,
memberikan kain kathina, upasampada dan abhana, semua perbuatan dapat di
lakukan dengan caturavagga-sangha. Di dalam campeyyakhandhaka tidak disebutkan
bagaimana cara memberikan kain kathina. Pavarana memberikan kain kathina dan
upasampada dapat di laksanakan di luar negara oleh pancavagga-sangha. Jika
upasampada di lakukan di dalam suatu negara maka di lakukan oleh
dasavagga-sangha. abhana hanya dapat di lakukan oleh visativagga-sangha.
Perbuatan yang di perlukan hanyalah empat bhikkhu maka dapat menjadi sah dengan
melakukan nomor yang lebih besar.
Seorang bhikkhu yang membuat pavarana akan di
berikan kain kathina, di upasampada oleh upajjaya. Dalam hal ini dapat di sebut
caturavagga-sangha yaitu melaksanakan perbuatan demikian. Di dalam menyatakan
tentang pelaksanaan upasampada ini, makapaling tidak di butuhka lima bhikkhu
termasuk bhikkhu yang mengumumkan atau bhikkhu upajjaya. Dalam kitab Pali tidak
memasukkan perbuatan yang bertentangan dengan perbuatan yang di laksanakan oleh
pancavagga-sangha. Dalam mengumumkan urusan sangha, seorang calon bhikkhu atau
samanera harus memilih seseorang dan menyetujui dari awal sebuah
kammarahapuggala (seorang yang pantas
untuk membawa urusan sangha). Saat dia sedang melaksanakan pavarana, dia harus
manyuruh bhikkhu lain untuk mengkritiki dia dari masing-masing bhikkhu tidak
termasuk bhikkhu yang ada di dalam pertemuan. Pada awal pemberian kain kathina,
tidak mengetahui siapa penerimanya. Upajjaya tidak di pilih di luar sima tetapi
di dalam sima. Sesuai dengan istiadat sekarang ada upajjaya yang di pilih di
luar sima tetapi akhirnya harus di dalam sima juga. Pemilihan upajjaya di luar
sima dulu juga pernah di lakukan pada saat Sang Buddha masih hidup, yaitu
ketika Sang Buddha meminta Y.M.Sariputta untuk menahbiskan Radhabrahmana.
Bhikkhu yang berpartisipasi, dengan membuat sebuah
rapat dari sangha untuk melakukan kamma, dalam kitab Pali di sebut “
partisipasi kamma”. Mereka harus bhikkhu normal, mereka bukan bhikkhu yang di
usir dari sangha karena ukkhepaniyakamma, mereka adalah samanasamvasa
(komunikasi yang sama) dan memiliki pemikiran yang sama dengan bhikkhu lain.
Kalau satu bhikkhu di usir, di adalah nanasamvasa (komunikasi yang berbeda).
Kammavipatti
( perbuatan yang tidak sesuai )
Perbuatan yang telah dicontohkan dan diajarkan harus
dilakukan sesuai dengan petunjuk seperti yang telah Sang Buddha ajarkan.
Akibatnya, apabila tidak dimengerti perbuatan yang dianggap benar akan menjadi
perbuatan yang tidak sesuai. Sebagai contoh suatu pertemuan yang mengharuskan
seorang bhikkhu datang tapi bhikkhu tersebut tidak datang, apabila seorang
bhikkhu diharuskan bertanya dan menjawab tapi bhikkhu tersebut tidak melakukan
hal demikian, atau seorang bhikkhu yang harus memberikan suara untuk kesepakatan
suatu hal namun ia tidak melakukan hal tersebut.
Perbuatan yang tidak sesuai menurut parisa (peserta)
dapat di lihat dari contoh berikut: suatu perbuatan yang di lakukan dari
caturavaggasangha, pancavaggasangha, dasavaggasangha atau visativaggasangha.
Para bhikkhu yang ikut berpartisipasi harus membentuk kuorum (jumlah anggota
rapat yang harus hadir dalam mengambil keputusan) dan tidak boleh kurang dari
jumlah yang telah ditentukan.
Cara
Dari Pengucapan Kata-Kata
Seseorang yang
bernyanyi di gereja harus tahu group dari surat dan tempat dari artikulasi dari
masing-masing mereka, dan dia harus tahu bagaimana caranya melafalkannya. Dengan
demikian dia akan mampu untuk menyanyikan dengan benar dan dengan lancar. Cara
dari pengucapan kata-kata adalah satu bagian dan yang keinginan untuk
mengetahui ini harus tunjuk ke buku telah terbit. Seperti aku harus mengucapkan
sekitar terkait aspek itu secara langsung ke kamavaca. Atthakata-acariyas yang
merekomendasikan bahwa bhikkhu yang chanting kamavaca memperhatikan ke sepuluh
aspek dari abjad, yaitu sithila
(bukan menghisap udara), dhanita
(dihisap udara), digha (lama), rassa (pendek), garu (ditekan), lahu (tanpa tekanan), niggahita (bunyi sengau), vimutta (buka), sambandha (euphonic), dan vavathita
(dipisahkan)
konsonan tidak disertai
hembusan napas dipanggil sithila dan terdiri dari yang pertama dan konsonan
ketiga dari lima group: k,g; c,j; ṭ,ḍ;
t,d; p,b.
huruf
mati yang dihisap udara dipanggil dhanita dan terdiri dari kedua dan konsonan
ke-empat dari lima group: kh,gh
ch,jh; th,dh; ph,bh.
huruf vokal panjang disebut digha dan
terdiri dari: a, i, u, e, o.
huruf vocal pendek melafalkannya dengan
separuh panjang. Huruf hidupnya disebut rassa dan terdiri dari: a i u.
huruf vocal panjang adalah garu, menekan. Huruf vocal pendek
disebut lahu, tidak ditekan.
Bagaimanapun huruf vocal pendek digabungkan dengan huruf mati (disebut samyoga)
adalah garu. Buddharakkhitattherassa
nakkhamati. Huruf vocal pendek tanpa konjungsi huruf mati adalah lahu. Buddharakkhitattherassa nakkhamati.
Huruf dengan nigghahita adalah
menekan. Sangham upasampadam.
pada komentar buku ini dijelaskan bahwa huruf yang
ditutup dengan menutup mulut mempertahankan bibir bersama-sama dan memaksa
memendapat melalui hidung dipanggil niggahita.
keterangan ini rup-rupanya mengacu pada membunyikan niggahita. Bunyi sengau m atau ṁ.
Suara
yang di buka disebut vimutta, sunatu me, esa natty. Kata yang
digabung disebut sambandha, tunha’ssa atau tunhi’ssa. Kata yang terpisah disebut vavatthita, tunhi assa.
Atthakatha-Acariyas
memberikan contoh pengucapan kata-kata yang salah:
1. Di
dalam kata sunatu me satu pengucapan t as th, ie. Sunathu me atau eg. Pattakallam esa natti seperti patthakallam esa natthi. Ini adalah
pengucapan sithila seperti dhanita.
2. Di
dalam kata bhante saṅgho, bh dilafalkan seperti b, gh
seperti g ie. Seperti bante
saṅgo ini adalah pelafalan dhanita
seperti sithila.
3. Di
dalam kata dimana suara dibuka eg. Sunantu me,
jika suara ditutup dan sengau ie. Sunantu
me; atau eg. esa natthi kembali esam natthi; ini adalah pelafalan vimutta
seperti niggahita.
4. Jika kata-kata dengan suara ditutup dan
sengau, eg. pattakalam adalah pelafalan seperti dibuka dan
tidak sengau eg. pattakalla; ini adalah pelafalan niggahita
seperti vimutta.
Keempat macam
contoh pelafalan salah tersebut dipengaruhi kamma yang kurang baik melalui
kammavaca. Selain keenam macam pelafalan yang salah, pelafalan digha seperti
rassa, garu seperti lahu, dan vice-versa dan pelafalan yang belum jelas dari
sambadha atau vavatthita, adalah penghormatan seperti tidak merusak kamavaca.
Siapapun Bhikkhu yang akan chanting kammavaca harus melafalkan setiap huruf
secara benar menurut sifat pelafalannya, menjaga tradisi yang hampir hilang dan
tidak membiarkannya hilang.
Di dalam ringkasan, bagian dari komentar para ahli
melafalkan kata-kata dan huruf-huruf salah jadi sama artinya dengan merusak
tidak dapat dibenarkan. Dengan pelafalan salah yang tidak merusak arti dapat
digunakan, tetapi pemakaian seperti itu menyebabkan bhikkhu dari beberapa
kelompok untuk menyalahkan bhikkhu dari kelompok lain yang melafalkan berbeda
dari pemikiran mereka, pemberian pentahbisan dengan kamavaca yang kurang baik
dan orang yang ditahbis tersebut tidak sesuai dengan yang diajarkan Buddha.
Dalam kenyataannya suara bukan orang asli bahasanya
berbeda dengan suara orang asli. Sebagai contohnya orang China, Eropa dan India
yang berbicara Thailand. Pengucapannya aneh!. Dengarkan suaranya, jangan lihat
suaranya,seseorang dapat menceritakan kebangsaan seseorang. Tetapi dalam bahasa
yang kita miliki datar, Kata-katanya sama pengucapan berbeda. Sebagai contoh,
logat Bangkok dan Nakorn si thnnart (di selatan). Variasi seperti itu tidak
terbatas untuk bahasa Thailand, untuk bahasa inggris dan bahasa lainnya
mempunyai kecenderungan yang sama.
Kemampuan berbicara asing sama artinya berkemampuan
untuk membuat dirinya mengerti dan paham apa yang dikatakan. Kita setuju orang
china eropa dan india seperti ucapan orang Thailand ketika kita paham apa yang
mereka katakana dan ketika mereka tahu apa yang kita katakan. Kita memuji
mereka seperti “berhasil berbicara Thailand” ketika mereka berbicara dengan
cara yang sama dimana mereka tinggal.
Suatu bahasa mati adalah seseorang berbicara tanpa menemukan arus, seperti
bahasa Magadha yang kita tahu sekarang sebagai bahasa pali. Ini memberi
perkembangan banyak kebiasaan yang berbeda dari pelafalan. Seseorang harus
mendengarkan chanting bhikkhu
Mahanikaya, Bhikkhu Dhammayuttika, Bhikkhu Ramanna, Bhikkhu Burma, Bhikkhu
Sinhalai, mereka suaranya berbeda! Seseorang yang belajar vinaya menyadari
kecenderungan dari bahasa yang berbeda dari yang biasa diucapkan. Mereka tidak
akan bangga dalam pelafalan seperti itu dan akan tahu bagaimana menghormat
bhikkhun dari kelompok lain dalam sikap yang tepat.
Sima
Sanghakamma yang
dilakukan dilakukan oleh Sangha
adalah ; penasbihan para bhikkhu, pembacaan Patimokha setiap bulan terang dan
gelap, penyelesaian pelanggaran para bhikkhu, dan Penentuan hak Kathina disuatu
lokasi yang mempunyai batas yang jelas terlihat yang dinamakan Sima.menurut
vinaya Sima merupakan suatu unsur yang penting untuk dapat terlaksanakannya
Sanghakamma. Suatu Sanghakamma tidak syah apabila sima tidak memenuhi syarat
yang ditentukan oleh vinaya meskipun unsur-unsur lain yang telah ditetapkan.
Ada dua jenis Sima yaitu ;
a.
Baddha Sima, yaitu Sima ynag
batas-batasnya ditentukan oleh Sangha sendiri dan merupakan Sima yang tetap.
a) Daerah
Sima
Baddha Sima memiliki batas minimal dan maksimal.
Batas minimal adalah lokasi yang dapat menampung minimal 21 orang bhikkhu yang
duduk sejarak satu hasta satu dengan lainnya. Batas maksimalnya adalah tiga
yojana (1 yojana=16km). Sima yang lebih kecil atau lebih besar dari itu tidak
memenuhi syarat dan tidak boleh digunakan untuk Sanghakamma. Sima merupakan
daerah hutan yang tidak ada pemiliknya. Dengan berjalannnya waktu,
berangsur-angsur seperti sekarang, terbatas pada tanah milik dan harus mendapat
izin dari pemerintah. Lokasi ynag digunakan untuk Sima adalah milik Sangha,
sama seperti lokasi untuk kutiyng disebutkan dalam Sikkhapada ke 6 dan ke 7
dalam Sanghadisesa. Jika terdapat desa-desa dalam lokasi yang diteteapkan oleg
Sangha sebagai Sima, maka desa-desa beserta bangunan diatasnya tidak termasuk
kedalam Sima.
b) Pilar
batas Sima (Nimitta)
Batas suatu Sima ditandai dengan berbagai objek.
Untuk tanda batas Sima diperkenankan oleh Sang Buddha dengan material yang
disebut Nimitta yang berarti tanda. Dalam vinaya disebutkan 8 jenis yang dapat
digunakan sebagai Nimitta: a.) bukit-bukit, b.) batu karamng, c.) hutan kayu,
d.) pohon-pohon,e.) bukan sarang semut, f.) jalan-jalan, g.) sungai-sungai dan
h.) danau atau genangan air semacam itu.
Beberapa banyak nimitta dapat di gunakan sebagai
pilar batas sima tidak ada penjelasannya, tetapi paling sedikit di gunakan 3
nimitta. Sima memiliki 3 nimitta berbentuk segitiga. Bila 4 nimitta berbentuk
segi empat dengan berbagai variasi tergantung pada letak nimitta. Sima yang
mempunyai banyak nimitta akan mempunyai bentuk beraneka ragam tergantung pada
posisi dari nimitta-nimitta seperti terlampir.
c).adhitthana sima
Setiap
lokasi yang akan dijadikan Sima, pertama kali harus dilakukan adhitthana pencabutan
ataupembatalan daerah itu sebagai Sima meskipun tidak ada tanda-tanda yang
menunjukan bahwa disana pernah ada Sima. Siapa tau, pada zaman dahulu kala
lokasi itu telah digunakan sebagai Sima. Bila tidak dilakukan pembatalan tempat
itu sebagai Sima, maka Sima baru akan tumpang tindih dengan Sima yang lama.
Sangha
tidak boleh menetapkan Sima baru yang bertumpah tindih dengan Sima yang lain.
Sima yang tumpang tindih tidak memenuhi syarat dan tidak boleh di gunakan untuk
Sanghakamma. Sima yang sesuai dengan ketentuan Vinaya di namakan
Samanavasa-Sima artinya “lokasi tempat orang yang sama”. Para Bhikkhu yang
tinggal di daerah ini punya hak untuk Uposatha, Pavarana, dan Sanghakamma
lainnya. Di dalam Samanavassa Sima,seorang bhikkhu boleh berpisah dengan Ticivara
kecuali dalam desa dan bangunan yang ada di sana yang terdapat dalam Sima
tersebut.
Pada
zaman dahulu terdapat berbagai jenis Baddhasima. Dalam perkembangannya kemudian
terdapat tiga jenis Baddhasima, yaitu: Kandasima (Sima yang hanya mencakup
uposatha ghara), Mahasima(Sima yang hanya mencakup seluruh wilayah vihara), Dua
bagian Sima dalam Maha Vagga (Vinaya Pitaka) disebutkan nadipara-sima, artinya
“sima tepian sungai”. Sima terletak diantara dua tepian sungai yang terbatas.
d.Mendirikan
Sima
Mendirikan Sima pada zaman sekarang dimulai dengan
membatalkan lokasi sebagai Sima yang mungkin telah ada pada zaman dahulu,
meskipun tidak ada tanda bahwa disana pernah ada Sima dengan Uposathagharanya.
Lokasi yang akan ditetapkan menjadi Sima harus mendapat izin lebih dahulu dari
pemerintah agar daerah itu menjadi Visungama, artinya daerah itu tidak termasuk
daerah desa atau kota. Sima akan kehilangan statusnya apabila tidak digunakan
lagi oleh Sangha, namun tidak perlu dilakukan pembatalan Sima. Apabila Sangha ingin
membatalkannya, maka Bhikkhu-bhikkhu ynag tinggal didaerah itu harus mengadakan
pertemuan untuk mendapatkan kata sepakat guna pembatalan suatu Sima sesuai
dengan prosedur Sanghakamma.
Bila Sangha menetapkan pembatalan Sima, maka
pertama-tama dilakukan pembatalan tempat itu sebagai tempat dimana para bhikkhu
dapat berpisah dengan Ticivara (ticipara-avipavassa). Kemudian membatalkan
sebagai tempat tinggal orang yang sama(samana-samvasa sima). Pembacaan Paritta
melepaskan sebagai Ticivara-avippavassa dan Samana-samvasa sima dilakukan dalam
satu hari. Sekiranya pembacaan paritta tidak selesai pada hari itu, maka
pembacaan Paritta Ticivara-avippavassa dilakukan sehari sebelumnya.
Pada waktu Adhitthana Sima, semua bhikkhu harus
hadir sesuai dengan prosedur Sanghakamma. Sangha harus memerintahkan Samanera
atau pembantu vihara mencegah agar Bhikkhu lain tidak memasuki Sima atau berada
di sekitar Sima sewaktu upacara. Adanya Bhikkhu lain yan jaraknya lebih dari
satu hasta menunjukkan bahwa Sangha tidak dalam persatuan (Samaggi). Karenanya
Sima itu tidak sah dan harus di ulangi lagi dengan mengikutsertakan Bhikkhu
yang berada di luar jarak satu hasta.
Semua aktivitas melepas adhitthana Sima lama atau
Sima baru, meletakkan Nimitta Sima harus di lakukan dalam Sima. Apabila
dilakukan di luar Sima, maka tindakan atau kamma adalah salah (Kamma-vipatta)
dan Sima itu juga tidak sah (Sima Vipatta). Uposathaghara adalah bangunan yang
terletak dalam Sima dan luasnya tidak boleh melewati batas Sima. Luas
Uposathaghara minimal harus dapat menampung 21 orang Bhikkhu yang duduk sejarak
satu hastadengan yang lainnya. Uposathaghara adalah bangunan utama dan di
pandang paling suci di vihara, di sinilah upacara yang bersangkutan dengan
Sanghakamma di lakukan.
b.
Abaddha Sima, yaitu Sima yang batasnya
ditentukan oleh pemerintah atau dengan cara lain dan merupakan Sima yang tidak
tetap.
a) Ganasima
Apabila Sangha sendiri tidak menetapkan Sima, maka
daerah Samavasa ditetapkan dengan batas desa atau kota dimana para bhikkhu
tinggal. Lokasi ini disebut Gamasima atau Nigamasima. Gamasima mencakup sebuah
desa, sedangkan Nigamasima mencakup beberapa desa. Nigamasima digunakan bila
terdapat satu kelompo(nikaya) yang sama dan sedikit bhikkhu yang hadir, tetapi
bila banyak kelompok bhikkhu (nikaya) digunakan Gamasima.
b) Visungamasima
Atthakatha Acariya menggambarkan daerah tertentu
dalam suatu desa dipisahkan dari desa oleh raja dan diberikannya kepada
seseorang ynag berjasa. Daerah yang terpisah dari Ganasima itu dinamakan
Visungamasima. Kedua sima ini, yaitu Visungamasima dan Gamasima yang normal
sama dengan Baddhasima, kecuali dalam kedua Sima ini tidak dapat ditetapkan
sebagai tempat para bhikkhu dapat tinggal terpisah dari Ticivara
(Ticivara-avippavassa). Daerah Visungamasima tidak terjamin, karena dapat
diambil kembali oleh pemerintah.
c) Sattabhantagarasima
(100 metet Sima)
Permukaan genangan air
(danau) tidak dapat ditetapkan sebagai Sima, tapi Samvassa dapat dibatasi
dengan radius yang ditentukan dari seberapa jauh air dapat dilemparkan oleh
orang biasa, keadaan ini disebut Udakukkhapa(dibatasi oleh air). Vinaya
menyebutkan ada tiga jenis genangan air, yaitu sungai(nadi), lautan(samudra),
danau(jatisara). Sungai(nadi) adalah sungai yang tetap berair, tidak kering
setelah empat bulan musim hujan berlalu. Lautan(samudra) berarti timbunan air
yang berasa asin, termasuk teluk. Danau, telaga (jatarasi) adalah timbunan air
yang banyak dan tidak mengalir seperti sungai.
Sanghakamma dapat
dilakukan disalah satu diatas permukaan air, diatas kapal atau rakit yang
diikat agar tidak dibawa arus. Jarak kapal atau rakit dengan pantai atau tepi
sungai adalah paling kurang sejauh lemparan air. Diperkenankan juga melakukan
Sanghakamma diatas panggung yang dibuat diatas sungai. Daerah Samvassa adalah
sejauh satu lemparan air disekeliling Sangha. Ganasima sattabbhantasima dan
Ukakukkhepasima termasuk dalam Abaddhasima.
Kathina
Bhikkhu yang akan
menjalani Kathina harus menjalani Vassa selama 3 bulan tanpa putus dan tinggal
dalam satu vihara dengan 5 atau lebih Bhikkhu lainnya. Atthakatha Acariya
menjelaskan bahwa kain Kathina harus diberikan oleh Sangha kepada Bhikkhu yang
memakai jubah lusuh atau tua. Jika banyak Bhikkhu yang demikian, maka kain
Kathina diberikan kepada vassa yang tertinggi. Apabila banyak Bhikkhu yang
vassanya sama maka kain tersebut diberikan kepada Bhikkhu Mahapurisa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar