1.
Perkembangan
agama Buddha di Tibet
Jhnanaprabha
Pada pertengahan abad ke-9
M, seorang pangeran dari Tibet, Nigon, meninggalkan negerinya pergi ke barat
serta mendirikan kerajaan Guge
(shensung). Kerajaan baru ini
dibagi ketika raja meninggal dunia. Putera yang tertua, cakrasena, menerima upasampada,menjadi bhikkhu yang bernama
Jnanaprabha. Bhikkhu jhnanaprabha
banyak belajar dan membaca kitab-kitab, dikenal sebagai seorang rasionalis dan
mewarisi sifat ayahnya yang sangat setia pada agama Buddha.
Agama Buddha mulai
berkembang di Tibet ketika
paham Tantra menyebar luas di India. Pada zaman kehidupan Bhikkhu Jhnanaprabha, paham
Tantra telah mempengaruhi agama-agama di bumi India, tidak terkecuali agama Buddha. Bhikkhu Jhnanaprabha tidak tertarik pada paham Tantra,
bahkan beliau menulis sebuah buku untuk menentangnya. Mengenai hal ini para
penganut Tantra di Tibet mengatakan bahwa Bhikkhu
yang berdarah biru ini menghadapi neraka dengan bukunya itu.
Bhikkhu Jnanaprabha menyadari bahwa beliau seorang diri
tidak akan mampu mencegah meluasnya paham Tantra di Tibet. Untuk itu beliau memilih 21 anak muda yang mempunyai intelegensi tinggi yang
dididiknya sendiri selama 10 tahun sebelum mengirimkan mereka ke Kashmir untuk
malanjutkan pendidikan. Tidak satupun di antara mereka yang dikirim itu mampu bertahan terhadap iklim di Kashmir. Semuanya meninggal dunia kecuali Ratnabadhra (Rin-Chen-Zang-Po) dan Suprajna(Legs-Pahi-Shes-Rah).
Ratnabadra di kemudian hari
dikenal
sebagai seorang penerjemah besar di Tibet. Pulang dari pendidikan di Kashmir,
Ratnabandra disambut oleh Devaguru Jnanaprabha yang senantiasa menyadari bahwa
cita-cita reformasi yang diinginkannya terlalu besar untuk dikerjakan seorang
diri. Pengalaman pahit dengan mengirim murid-muridnya ke Khashmir memberikan
pelajaran kepada Bhikkhu. Jnanaprabha
bahwa lebih baik mengundang cendekiawan dari India ke Tibet.
Dari para siswa yang berasal
dari Tibet barat yang banyak di India, Bhikkhu
Jnanaprabha mendengar nama seorang Bhikkhu
terkemuka waktu itu, yaitu Dipankara Srijnana dari Vikramamasilamahavihara.
Begitu mendengar hal ini, Bhikkhu Jnanaprabha
melakukan persiapan untuk mengirim rombongan utusan untuk mengundang dan
memohan Bhikkhu Dipankara ke Tibet. Namun mereka
gagal untuk memohon Bhikkhu Dipankara melakukan kunjungan ke Tibet.
Jnanaprabha bukanlah seorang
seseorang yang cepat putus asa. Beliau menyiapkan kembali rombongan utusan yang
lain. Namun usaha kedua ini menghadapi masalah pembiayaan, maka beliau
mengunjungi provinsi Gartog untuk mengumpulkan emas. Dicatat dalam sejarah Tibet
bahwa Bhikkhu Jnanaprabha ditangkap dan disandera untuk diminta tebusan oleh
Raja Gartog. Ketika berita penyanderaan itu didengar oleh putera Bhikkhu Jnanaprabha, Bodhiprabha (Byang
Chub Od), beliau mengusahakan untuk mengumpulkan uang untuk membebaskan
ayahnya. Setelah mengumpulkan uang, belaiu mengunjungi ayahnya dipenjara.
Mendengar maksu puteranya. Bhikkhu Jnanaprabha memberikan nasihat bahwa beliau
telah tua, sewaktu-waktu dapat meninggal dunia. Seandainya masih hidup, hanya
bisahidup sepuluh tahun lagi dan apa yang akan dikerjakannya tetap sama. Lebih
baik uang itu digunakan untuk menjemput Bhikkhu
Dipankara dari India. Alangkah bahagianya apabila belaiu dapat meninggal dunia
untuk tujuan yang mulia itu, dan engkau (Bodhiprabha) dapat mengirimkan semua
emas yang ada untuk menjemput cendekiawan itu. Kemudian Bhikkhu Jnanaprabha melanjutkan. Lagi pula, belum tentu raja akan
membebaskannya setelah tebusan dibayarkan. Olek karena itu, tidak perlu
merisaukan dirinya, Lebih baik mengirimkan emas itu kepada Atisa (sebutan lain
dari Dipankara Srijnana). Saya yakin bahwa beliau setuju untuk datang ke negeri
Bhots (Tibet), terlebih setelah mendengar keadaan yang menyedihkan ini, beliau
akan merasa welas asih pada kita. Bilamana oleh karena alasan-alasan tertentu
beliau tidak bisa datang, usahakan mendapatkan murid beliau sebagai penggatinya. Devaguru Jnanaprabha meletakan tangannya pada putranya serta
merestuinya seperti tidak akan berjumpa lagi.
Pada waktu itu, merupakan
kebiasaan dalam masyarakat Tibet untuk menyembut para Bhiksu yang berdarah ningrat sebagai
Devaguru (Lha-Blama). Devaguru
Bodhiprabha mulai menyiapkan utusan untuk mlaksanakan amanat ayahnya. Upasaka Gun-Than-Pa yang pernah tinggal
di India selama dua tahun dipilih untuk melaksanakan tugas tersebut. Kemudian Upasaka Ghun-Than-Pa memilih orang-orangnya untuk menyrtai perjalanan yang
terdiri dari Bhiksu Silajaya atau Jayasila (Chul-Kharims-Gyal-Va) dari
Nag Chomo serta beberapa orang lagi sebagai rombongan ke Vikramasila mahavihara.
Kitab Guru Gunadharmakara,
riwayat hidup (biografi) Bhikkhu Dipankara
Srijnana yang ditulis oleh murid beliau, mencatat tentang kedatangan sepuluh
orang dari Tibet lewat Nepal. Ketika akan menyeberangi sungai Gangga, penumpang
perahu telah penuh, maka tukang perahu memberitahu mereka bahwa dia akan datang
kembali untuk menjmput mereka. Karena perahu tak kunjung datang, mereka takut
dibohongi oleh tukang perahu, maka rombongan dari Tibet bermaksud menanamkan
emas yang dibawa mereka di pasir dan kemudian tidur. Ketika mereka menyatakan
keragu-raguan apakah tukang perahu akan kembali menjemput, oleh tukang perahu
dijawab bahwa
tidak berani melawan hukumdengan meninggalkan mereka di tepi sungai tanpa
diseberangkan.
Setelah tiba di tepi
seberang, pintu gerbang kota telah ditutup dan tukang perahu menyarankan mereka
untuk menginap di suatu penginapan di dekat gerbang barat. Dari atas pintu
gerbang, Bhikkhu Vikramsingh (Tson
Sen) mendengar percakapan rombongan yang tidak asing baginya. Beliau berasal
dari Gya (desa terakhir di Ladakh menuju Kulu) dan ingin tahu maksud kunjungan
rombongan itu.
Setelah mendengar maksud
kunjungan, Bhikkhu Vikramasingh
menyarankan untuk tidak langsung menyatakan maksud mereka membawa Atisa ke
Tibet. Disarankan supaya mengatakan bahwa kedatangan mereka untuk belajar Dhamma. Hal ini menurut Bhikkhu Vikramasingh agar dapat mencapai
tujuan mereka. Beliau juga Setelah mendengar menjanjikan untuk
membawa mereka untuk Atisa pada waktu yang tepat.
Beberapa hari setelah rombongan Tibet tiba, di
Vikramasila ada pertemuan para
siswa dan Bhikkhu Vikramasingh
mengajak pertemuan untuk melihat sendiri murid-murid terkemuka dari Bhikkhu
Dipankara Srijnana (Atisa) seperti Ratnakirti,
Tathagatataraksita,Sumatikitri,Vairucanaraksita, dan Kanakasri. Beberapa hari
setelah itu Bhikkhu Vikramasingh membawa rombongan Tibet kepada Bhikkhu Dipankara Srijnana.
Rombongan dari Tibet tersebut meletakkan emas yang
diwanya kedepan Atisa serta menceritakan kisah kematian yang menyedihkan dari Bhikkhu Jnanaprabha di penjara. Bhikkhu Dipankara mendengar penuturan rombongan denga
gelisah dan berkata, “Tidak diragukan lagi bahwa Bhikkhu Jnanaprabha adalah
seorang Bodhisatta yang telah
mengorbankan dirinya sendiri untuk Dhamma. Saya
ingin memenuhi keinginan beliau, tetapi kalian harus mengetahui tanggung jawab
saya yang besar atas 108 Vihara berada dikedua pundakku, saya juga mempunyai
tugas-tugas lain yang memerlukan perhatian. Saya perlu 18 bulan untuk menyerahkan tugas-tugas tersebut. Setelah
itu, saya baru bisa berangkat ke Tibet. Sementara ini simpanlah dulu emas ini.”
Rombongan dari Tibet sangat
puas akan jawaban Atisa. Mereka memanfatkan waktu denagn belajar di Vikramasila
mahavihara. Sementra itu, Atisa mempersiapkam
keberangkatannya. Atisa berangkat ke Tibet pada tahun 1030 Masehi pada usia
57-58 tahun.
Ācariya Dipankara Srijnana
Ācariya Dipankara Srijnana membuat Tibet dan India menjadi
dekat dalam kebudayaan. Namanya begitu harum di Tibet dan oleh beberapa pihak
dikatakan bahwa beliau setingkat dengan Padmasambhava. Sebelum kedatangan Ācariya Dipankara
ke Tibet, terdapat beberapa cendekiawan India yang terkenal, seperti Ācariya Santarasikta
dan muridnya, Ācariya Kamalasila. Kelebihan Ācariya Dipankara
dibandingkan dengan mereka berdua adalah menjadikan kitab-kitab Sansekerta
menjadi bernilai bagi masyarakat Tibet. Pada umumnya para cendekiawan India di
Tibet diberi nama bahasa Tibet, misalnya Ācariya Dipankara
Srijnana dikenal sebagai Dpal-mar-med-mdsa Ye-Ses atau Jo-Vo-rJe Pal dan Atisa
(Svami Sri Atisaya) yang disingkat menjadi Atisa.
Ācariya Dipankara adalah putera Raja Kalyana Sri dan Ibu
Sri Prabhavati, lahir di Sahor (India Timur) tahun 982 M. Tidak jauh dari
istana Raja Kalyana Sri, tempat Ācariya Dipankara dilahirkan,
terdapat Vikrama vihāra yang juga disebut Vikramasilavihāra.
Berbeda dengan sumber dari India, sumber-sumber dari Tibet menyebutkan
Bhagalpur sebagai tempat kelahiran Ācariya Dipankara.
Kehidupan Raja Kalyana Sri mempunyai hubungan
erat dengan Vikramasilavihara.dalam
tradisi disebutkan, ketika Acariya
Dipankara lahir, orang tua beliau pergi ke Vihara untuk beribadah dan di ikuti
suatu prosesi yang terdiri dari 500
kereta kuda. Raja Kalyana Sri mempunyai tiga anak laki-laki, masing-masing
Padmagarbha, Chandragarbha,( kemudian di kenal sebagai Acariya Dipankara Srijnana)
dan Srigarbha.
Pendidikan
dan pengajaran pada waktu itu terdapat di vihāra-vihāra dan
kebetulan sekali Vikramasilamahavihāra yang terkenal itu terletak tidak jauh dari istana
Raja Kalyana Sri. Demikian pula Nalanda Mahāvihāra yang lebih
maju dan terkenal juga terletak di wilayah India. Pangeran Chandragarbha ketika
masih muda bertemu dengan Ācariya Jitari (ahli tata bahasa)
dan lebih mendapat dorongan untuk belajar di Nalanda Mahāvihāra daripada
di Vikramasila Mahāvihāra. Hal itu akan lebih baik bagi
Chandragarbha untuk memperoleh pendidikan jauh dari rumah.
Chandragarbha
tidak gampang memperoleh ijin dari ayahnya untuk menjadi bhikkhu (untuk
diterima sebagai murid di Nalanda Mahāvihāra). Beliau diijinkan
berangkat ke Nalanda dengan pendamping. Setelah melapor kepada Bhikkhu Bodhibhadra,
pimpinan bhikkhu, maka Chandaragarbha yang masih berumur 11 tahun
masih harus menunggu 9 tahun lagi untuk dapat ditahbis menjadi bhikkhu.
Saat itu Chandragarbha hanya diterima sebagai sāmaṇera dengan
nama Dipankara Srijnana.
Pada usia 12 tahun, samanera
Dipankara Srijnana dititipkan oleh Bhikkhu Bodhibadra kepada gurunya, Maitri
Avadhutipada (Advayavajra) seorang
penganut Siddha di Rajagaha untuk dididik. Pada zaman itu, kepercayaan akan
mantra dan Siddha cukup mendapat tempat dimasyarakat sehingga Samanera Dipankara terpaksa mendapat
pelajaran yang bukan termasuk agama Buddha
selama empat tahun. Tokoh Siddha yang terkenal pada waktu itu adalah Naropa
(Nadapada atau Narottamapada) yang juga seorang cendekiawan. Dia menetap di
gerbang utara Vikramasila Mahavihara. Baik
Nalanda maupun Vikramasila Mahavihara.
Dari
Rajagaha, Sāmera Dipankara melanjutkan pendidikan di bawah
asuhan Naropa di VikramasilaMahāvihāra. Beberapa asuhan Naropa yang
terkenal antara lain Prajnaraksita, Kanakasri, Manakasri, dan Murpa (guru dari
Milarepa, seorang penyair Siddha terkenal dari Tibet). Akhirnya Dipankara
menyelesaikan pendidikan di Vikramasila Mahāvihāra.
Dipankara
sangat haus akan ilmu pengetahuan dan melanjutkan belajar Vinaya Pitaka di
VajrasanaMahāvihāra di Both Gaya. Beliau berdiam di Mati Vihāra dan
diasuh Mahavinayadhara Silaraksita. Setelah dua tahun mempelajari Vinaya Piaka,
pada usia 31 tahun, Bhikkhu Dipankara telah diakui sebagai
cendekiawan serta memiliki pengetahuan tentang ketiga Pitaka dan Tantra.
Sewaktu belajar di
Vikramasila Mahavihara, Bhikkhu Dipankara berkenalan dengan murid-murid dari
Acariya Dharmapala yang mengajar agama Buddha dikerajaan Sriwijaya, Sumatera
(Swanadwipa), antara lain Ratnakarasanti (seorang Siddha Jananasari). Karena
ingin belajar
dari Acariya Dharmapala, setelah menyelesaikan belajar di Both Gaya, Bhikkhu
Dipankara mewujudkan cita-cita beliau dan berlayar ke Sriwijaya. Perjalanan
beliau terjadi tahun 1013 yakni pada masa pemerintahan Raja Vijayapala
(960-1040 M) dari kerajaan Magadha, pada waktu Mahmud Ghaznavi (997-1030 M)
menyerbu dan menghancurkan Kanauj, Mathura, Banaras, dan Kalanjar. di Vikramasila Mahāvihāra, Bhikkhu Dipankara
berkenalan dengan murid-murid dari Ācariya Dharmapala.
Beberapa murid Ācariya Dharmapala yang mengajar agama Buddha di
kerajaan Sriwijaya, Sumatera (Swarnadwipa), antara lain Ratnakarasanti (seorang
Siddha), Jananasari. Karena ingin belajar dari Ā (997-1030 M)
menyerbu dan menghancurkan Kanauj, Mathura, Banaras dan Kalanjar.
Bhikkhu
Dipankara belajar di Sriwijaya selama 12 tahun, mempelajari kitab-kitab yang
telah diketahui beliau. Kitab-kitab tersebut di antaranya adalah Ahsamayalankara karya Asanga dan Bodhicaryavatara karya Santideva. Di Sriwijaya dicatat bahwa Bhikkhu Dipankara mulai mendalami Tantra
maupun kitab-kitab lainnya. Pada
waktu itu merupakan kebiasaan bagi seorang murid tinggal bersama-sama gurunya
dalam waktu yang lama untuk mempelajari hal-hal penting secara metodik. Bhikkhu Dipankara kembali ke Vikramasila ketika berusia 44 tahun.
Latar
belakang pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki beliau menyebabkan beliau
dipercaya untuk memimpin 51 cendekiawan serta 108 vihāra. Sebelum
dijabat oleh Bhikkhu Dipankara, kedua kedudukan itu
masing-masing dijabat oleh Siddha Butakotipada dan Siddha Avadhutipada. Pada
jaman itu perguruan tinggi agama Buddha di India didirikan di
Nalanda, Uddantapuri (Bihar Sharif), Vajrasana, dan Vikramasila. Dari keempat
perguruan tinggi tersebut hanya Vikramasila yang mempunyai asal usul yang
menarik. Ketika maharaja Dharmapala dari kerajaan Pala berkunjung ke daerah
itu, beliau sangat tertarik akan keindahan suatu bukit kecil di tepi sungai
Gangga dan memutuskan untuk mendirikan sebuah vihāra di
sana. Vihāra tersebut, dibangun pada akhir abad ke-8 M dan
dalam perkembangannya selama 250 tahun telah menjadi suatu lembaga pendidikan
yang besar. Bahkan jumlah mahasiswa di Vikramasila lebih banyak daripada jumlah
di Nalanda. Di antara para guru ternama yang mengajar di Vikramasila adalah 108
cendekiawan, 8 ahli atau pandit dan seorang guru besar Ratnakarasanti yang
menjadi kepala vihāra. Beberapa di antara ahli atau pandit tersebut
adalah Bhikkhu Dipankara Srijnana, Santibhadra, Maitripa
(Avadhutipa), Dombipa Sthavirabhadra, dan Smrtyakara Siddha (Kasmiri).
Di Vikramasila juga terdapat
vihara dengan bodhisatta Avalokitesvara yang terletak ditengah komplek vihara serta 53 vihara besar dan kecil. Di vihara-vihara
tersebut juga ditemui para dewa dan para dewi yang dipuja serta
gambar-gambar suci yang dipuja penganut paham tantra. Selain itu juga masih terdapat 3 vihāra lagi
yang didirikan oleh dinasti Pala (765-1200 M).
Setelah Bhikkhu Dipankara Srijnana menyetujui permohonan rombongan dari
Tibet untuk mengajar Dhamma disana,
hal tersbut disampaikan kepada pimpinan Vikramasila Mahavihara,Bhikkhu Ratnakarasanti. Pada waktu itu, bangsa-bangsa
Turki dari barat yang beragama Islam telah mulai menyerang India. Bhikkhu Ratnakarasanti menanyakan kepada
rombongan Gun Than Pa sekiranya mereka tidak bersungguh-sungguh untuk membawa
pergi Bhikkhu Dipankara Srijnana dari
India. Bhikkhu Dipankara Srijnana
adalah buah mata India dan dengan kepergian beliau ke Tibet, Bhikkhu Ratnakarasanti yakin bahwa Dhamma yang diajarkan oleh Buddha akan tenggelam. Pada akhirnya Bhikkhu Ratnkarasanti mengizinkan
kepergian Bhikkhu Dipankara Srijnana
ke Tibet. Emas yang dibawa oleh rombongan Gun Than Pa dibagi menjadi empat,
masing-masing untuk para pandit, vihara Vajrasana
di Both Gaya, Bhikkhu Ratnakarasanti
dan yang terakhir untuk para pimpinan paham-paham yang ada.
Perjalanan Bhikkhu Dipankara
Srijnana ke Tibet ditemani oleh sebelas bhikkhu sampai ke
Nepal, termasuk di antaranya Bhikkhu Vikrama dari Gaya yang
bertindak selaku penerjemah. Bhikkhu Dipankara Srijnana terlebih dahulu mengunjungi Both Gaya,
tempat bersejarah di mana Pangeran Siddharta Gotama mencapai Penerangan Sempurna (Ke-buddha-an). Di Both Gaya beliau
mengunjungi Vihāra Vajrasana dan tempat-tempat bersejarah
lainnya. Kemudian beliau diantar oleh Ksitigarbha dan 19 orang lainnya
sampai vihāra terakhir diperbatasan India dan melanjutkan perjalanan ke Tibet.
Setelah melewati perbatasan
dan sampai di ibukota Nepal, rombongan disambut oleh Raja Jayakamadeva dari
dinasti Thakuri yang memohon Bhikkhu Dipankara
Srijnana tinggal di Nepal. Permohonan itu dikabulkan oleh Bhikkhu Dipankara Srijnana dan beliau tinggal di Nepal selama satu
tahun. Pada waktu itu, salah seorang puteri kerajaan memasuki kehidupan ke-Bhikkhuni-an. Dari Nepal, Bhikkhu Dipankara Srijnana mengirim
surat kepada Raja Nayapala (1040-1055) dari dinasti Pala. Terjemahan surat
tersebut disimpan dalam koleksi kitab Tajur di Tibet.
Ketika Bhikkhu Dipankara
Srijnana tiba di Tibet, Agama Buddha di negeri ini telah
berkembang menjadi beberapa aliran. Aliran yang pertama bersifat heterogen
dengan ajaran agama Buddha yang tidak teratur, mereka dari
kelompok Rn-:n-ma
pa (Aliran Tua) yang terbagi
ke dalam 4 sub-aliran. Mereka memuja Padmasambava sebagai guru, mempercayai
yang bersifat alamiah maupun mistik. Pada umumnya dikenal sebagai
golongan bertopi merah.
Kedatangan Bhikkhu Atisa,
Agama Buddha bangkit kembali di Tibet. Selama abad ke-11,Vihāra Sakya
Melek dari sekte ”Topi Kuning” menjadi terkenal dan menguasai
Tibet. Di bawah kekuasaan Mongol, Vihāra Sakya Melek menjadi
pusat kekuasaan spiritual yang menguasai Tibet dengan pimpinan yang
disebut Dalai Lama, yang dipercayai sebagai inkarnasi dari Bodhisattva
Avalokitesvara. Di pihak lain, pimpinan Vihāra Tashilunpo
di sebelah barat Lhasa terkenal dengan sebutan Panchen Lama, yang
dipercaya sebagai inkarnasi Bodhisatva Amitabha. Tidak seperti Dalai
Lama, Panchen Lama hanya dianggap sebagai pemimpin spiritual.
Bhikkhu Atisa mengadakan pembaharuan dengan berdasarkan
tradisi Yogacara dari ĀcariyaMaitreya dan Asanga, yang dikemudian
hari oleh pengikutnya dikembangkan sebagai aliran Bkah-gdams-pa.
Aliran ini menyatukan ajaran Hīnayāna dan Mahāyāna, serta
menuntut para bhikkhu berselibat serta meniadakan praktek-praktek
magic. Pada abad ke-11, oleh pembantu Agama Buddha bangsa Tibet,
Tson-kha-pa, aliran Bkah-gdams-pa diperbaharui
serta dimurnikan dan disebut Dge-lugs-pa.
Dua aliran lain yang lahir pada abad ke-11
dan masih mempunyai kaitan dengan Bkah-gdams-pa adalah :
- Bkah-rgyd-pa yang
didirkan oleh Lama Mar-pa (teman Bhikkhu Atisa serta murid Naropa dari
Nalanda) dan mempunyai hubungan dengan aliran dhyāna yang populer di China dan Jepang. Aliran ini
terbagi ke dalam beberapa sub-aliran, antara lain Karma-pa dan Hbrug-pa.
- Sa-skya-pa (Tanah abu-abu), mengambil
warna tanah yang berwarna abu-abu untuk vihāramereka yang
didirikan pada tahun 1071. Aliran ini dekat dengan aliran Bkah-rygyud-pa dan
mencoba membaurkan ajaran Tantra tua dan baru melalui ajaran Madhyamika dari
Nagarjuna bahkan berhasil membangun suatu hirarki yang kuat sampai
lahirnya aliran Tson-kha-pa.
Salah satu penganut
paham Sa-skya bernama Hyhags
pa pada abad ke-13 diangkat menjadi penasehat spiritual Kaisar
Khubilai Khan dari Mongol yang menguasai Tibet terlebih dahulu sebelum
menjatuhkan China. Sa-skya dikukuhkan sebagai penguasa Tibet
tengah pada tahun 1270. Masa itu adalah masa awal
dari negara theokrasi di Tibet. Sa-skya-pa memajukan
pendidikan bangsa Tibet dan salah satu penganutnya yang terkenal adalah Bu-ston
(12901354), yang terkenal sebagai komentator kitab-kitab Agama Buddha,
seorang ahli sejarah bahkan seorang pengumpul kitab pertama di Tibet, dari
karya-karya yang sudah diterjemahkan ke bahasa Tibet. Bu-ston membuat
sistematika Bkah-gyur (PerihalBuddha) yang terdiri dari
100 jilid dan Bstan-gyur (Ajaran-ajaran) yang terdiri dari 225
jilid.
Pada akhirnya Tson-kha-pa (lahir
di Amdo tahun 1358) melakukan pembaharuan dan sejak itu agama Buddha di Tibet
memulai jaman modern. Para bhikkhu di Tibet sering berperan sebagai
panglima perang, sehingga vihāra juga berfungsi sebagai pusat
militer. Hal ini dapat dimengerti, karena sejarah agama di Tibet penuh dengan
gejolak perebutan kekuatan dan kekuasaan. Penjajahan yang kemudian menimpa
Tibet, baik dari Mongol, China nasionalis maupun China komunis sering memecah
belah kekuasaan Dalai Lama dan Panchen Lama. Dalai
Lama sejak tahun 1959 melarikan diri dari Tibet ke India setelah China komunis
menguasai Tibet.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar