TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Dasar-Dasar
Dharma yang Mendasari Kegiatan Dharmayatra
Dasar-dasar yang mendasari kegiatan Dharmayatra terdapat dalam Sabda Sang
Buddha sebagai berikut:
2.1.1 Dasar Historis
Dharmayatra telah
disebutkan dalam Mahaparinibbana Sutta, Digha Nikaya, namun informasi tentang adanya Dharmayatra tidak pernah disebutkan sejak Sang Buddha parinibbana hingga masa Raja Asoka.
Kegiatan Dharmayatra muncul pada abad
III, ketika Raja Asoka berkuasa di Jambudipa.
Menurut kitab Mahavastu
dan Asokavadana, di ibukota
Jambudipa, Pataliputta (Patna, sekarang) berkuasa seorang raja bernama
Bindusara. Raja memiliki banyak permaisuri dan memiiliki seratus anak. Salah
seorang anak raja adalah Pangeran Asoka. Asoka mempunyai penampilan, kekuatan
dan kemampuan yang luar biasa melampaui yang dimiliki oleh para saudaranya.
Sebelum menjadi raja, Asoka membunuh 99 orang saudaranya, sehingga ia memiliki
kerajaan yang utuh. Hal ini terjadi 218 BE (Buddhist Era), yang dihitung mulai
sejak Sang Buddha parinibbana dan empat tahun kemudian ia dinotbahkan menjadi
raja di Pataliputta. Ia telah menguasai seluruh Jambudipa (sekarang India,
Pakistan, Bangladesh, Nepal, dan Bhutan).
Sebagai raja, ia memerintah dengan keras, dan ia
dipandang sebagai raja yang bengis dan kejam, sehingga ia dijuluki sebagai Candasoka (Asoka Jahat).
Pada mulanya Raja Asoka tidak mengenal Buddha Dharma.
Namun pada suatu hari selagi raja berdiri di dekat sebuah jendela, ia melihat
seorang petapa yang tenang sekali, yaitu Samanera Nigrodha, putra dari Sumana,
kakak tertua dari semua anak Raja Bindusara. Dengan kata lain Samanera Nigrodha
adalah kemenakan Raja Asoka sendiri.
Raja Asoka mengundang Samanera Nigrodha ke istananya. Di
istana Samanera membabarkan Appamanavagga
(Samyutta Nikaya) kepada raja.
Akhirnya raja menjadi umat Buddha. Sejak menjadi umat Buddha, raja melakukan
banyak dana dan perbuatan baik lainnya. Menurut kitab Mahavamsa, Raja Asoka
menjadi umat Buddha karena bertemu dengan Samanera Nigrodha. Sedangkan menurut
kitab Asokavadana, raja bertemu dengan Bhikkhu Samudra, dalam pertemuan itu
bhikkhu mempertunjukan kekuatan batin (Abhinna) dengan melayangkan tubuhnya ke
angkasa, setengah dari tubuhnya mengeluarkan api dan setengah tubuhnya yang
lain mengeluarkan air, karena pertunjukan inilah maka raja menjadi umat Buddha.
Setelah raja menjadi umat Buddha, selain ia melakukan banyak perbuatan baik, ia
juga mendirikan Vihara.
Pendirian banyak Vihara ini dilakukan sehubungan dengan
dialog Raja Asoka dengan Bhikkhu Moggaliputta-Tissa:
”Bagaimana besar Dhamma yang diajarkan Sang Buddha ?”
Bhikkhu Moggaliputta-Tisa menjawabnya. Ketika raja mendengar : ’Ada 84.000
Dhamma’ lalu raja berkata:
’Dari setiap bagian itu, saya akan hormati dengan sebuah
Vihara’. Ia memberikan sebanyak 96 koti untuk 84.000 kota, serta memerintah
para raja (bawahannya) untuk membangun Vihara dan ia sendiri mulai mendirikan
Asokarama”.
(Mahavamsa 77-80)
Karena perbuatan baiknya begitu
banyak dan perilakunya berubah, maka Raja Asoka dikenal dengan nama Dhammasoka
(Asoka yang hidup sesuai dengan Dhamma).Selanjutnya dalam kitab Asokavadana
disebutkan bahwa setelah Raja Asoka menjadi umat Buddha di bawah bimbingan
Bhikkhu Samudra, kemudian ia bertemu dengan Bhikkhu Upagupta. Pada pertemuan
itu, raja bertanya kepada bhikkhu: ’Saya ingin tahu tempat-tempat suci dalam
agama Buddha, ’Baik sekali’ Maharaja.’ Jawab Upagupta, ’keinginan anda sangat
menarik. Saya akan menunjukan tempat-tempat itu hari ini.’
Kemudian Raja Asoka menyiapkan
empat kelompok pasukan, menyiapkan wangi-wangian, karangan bunga,
bunga-bungaan, dan berangkat bersama Bhikkhu Upagupta. Dari uraian di atas, kita dapat mengetahui tentang Raja Asoka dengan
Bhikkhu Upagupta melakukan ziarah ke tempat-tempat yang ada hubungannya dengan
kehidupan Sang Buddha. Dengan kata lain tradisi berdharmayatra mulai dikenal
dan tersiar di Jambudipa. Begitu pula dengan umat Buddha di berbagai tempat di
dunia pun, mulai mengunjungi (berdharmayatra) ke tempat-tempat suci. Kunjungan
dari negara luar Jambudipa yang sangat terkenal adalah yang dilakukan oleh
peziarah-peziarah dari Cina, yaitu: Fa-Hien pada abad IV-V AD, Hsuan Tsang dan
kemudian I-Tsing pada abad VII AD.
Para peziarah ini meninggalkan
catatan-catatan mengenai perjalanan mereka di Jambudipa. Berdasarkan pada
catatan mereka ini, maka ada informasi tentang Dharmayatra ke tempat-tempat
suci yang berhubungan dengan kehidupan Sang Buddha.
2.1.2 Dasar Filosofi
Kegiatan Dharmayatra sangat
penting untuk dilakasanakan seperti yang ada pada latar belakang dan tujuan
Dharmayatra. Begitu banyak manfaatnya kita melaksanakan kunjungan ke
tempat-tempat suci yang ada hubungannya dengan Sang Buddha, adapun manfaat
penting dalam melaksanakan Dharmayatra sebagai berikut:
a.
Penting
guna meningkatkan saddha (keyakinan) bagi peziarah (pelaksana Dharmayatra);
b.
Menambah
pengetahuan wawasan pada tempat-tempat
yang disakralkan dalam agama Buddha bagi peziarah (pelaksana Dharmayatra);
c.
Memperbaiki
dan meningkatkan kesadaran bagi peziarah (pelaksana Dharmayatra) dalam beragama
Buddha;
d.
Mendapat
pahala yang sangat besar yang dapat membantu dan menentukan kelahiran yang akan
datang, seperti petikan pada Mahaparinibbana
Sutta ”Ananda, bagi mereka yang berkeyakinan kuat melakukan ziarah ke
tempat-tempat itu, maka setelah mereka meninggal dunia, mereka akan terlahir
kembali di alam surga.” (1989 : 125)
2.1.3
Dasar Hukum
a.
Undang-Undang
RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional;
b.
Peraturan
Presiden No. 76 Tahun 2005 tentang Penegrian STABN Sriwijaya Tangerang Banten;
c.
Peraturan
Mentri Agama RI No. 7 Tahun 2006 Tentang Organisasi dan Tata Kerja STABN
Sriwijaya Tangerang Banten;
d.
Rancangan
Statuta STABN Sriwijaya Tangerang Banten.
2.1.4 Dasar
Teologis
1)
Milinda Panha
Dalam Milinda Panha Sang
Buddha bersabda “Hormatilah relik dari mereka yang patut dihormati. Dengan
bertindak demikian engkau akan pergi dari dunia ini ke Surga (Bhikkhu Pesala,
2002 : 100)
Dalam petikan Milinda Panha pada halaman 100, terdapat sebuah kalimat yang
menyatakan bahwa:
“Hormati relik dari mereka yang
patut dihormati. Dengan bertindak demikian engkau akan pergi dari dunia ini ke
surga”
(Milinda Panha pada halaman 100)
Disini diceritakan tentang percakapan antara
Sang Buddha dengan Bhikkhu Ananda, yaitu :
“Sang Buddha berkata,’Jangan menghalangi dirimu sendiri,
Ananda, dengan menghormati apa yang tersisa dari Sang Tathagata. Tetapi pada
kesempatan lain Beliau berkata, “Hormatilah
relik dari mereka yang patut dihormati. Dengan bertindak demikian engkau akan
pergi dari dunia ini ke surga.”
Pernyataan manakah yang benar?”
“Nasehat pertama tidak diberikan kepada semua orang, O
baginda, melainkan hanya kepada para siswa Sang Penakluk (para bhikkhu).
Menghormati relik bukanlah tugas mereka. Memahami sifat hakiki semua bentukan,
menggunakan penalaran (memperhatikan anicca), meditasi pandangan terang, memegang inti obyek
meditasi, memberikan pengabdian kepada kesejahteraan spiritual, itulah
tugas-tugas bhikkhu. Seperti halnya, O Baginda, adalah urusan para pangeran
untuk belajar seni perang dan hukum wilayah; sedangkan beternak, berdagang dan
mengurus ternak merupakan urusan perumah tangga.
2)
Maha
Parinibbana Sutta
Dalam Maha Parinibbana Sutta terdapat sebuah
kalimat yang menyatakan bahwa:
“ Ananda, bagi mereka yang berkeyakinan kuat melakukan
ziarah ke tempat-tempat itu, maka setelah mereka meninggal dunia, mereka akan
terlahir kembali di alam surga.”(1989 : 125)
Sutta ini merupakan
cerita penting tentang hari-hari terakhir Sang Buddha, catatan sejarah mengenai
apa yang akan dilakukan dan dikatakan Sang Buddha serta yang terjadi di tahun
terakhir kehidupan Sang Buddha. Sutta ini juga diselingi dengan banyak khotbah
mengenai beberapa aspek yang paling mendasar dan penting di dalam ajaran Sang
Buddha. Salah satunya menceritakan tentang Suku Vajji yang sangat menghormati
dan menghargai tempat-tempat suci dan mereka dengan taat melaksanakan puja
bakti.
Selain itu juga, dalam Sutta
ini disebutkan bahwa ada empat tempat bagi seorang yang berbakti yang seharusnya pergi berziarah
dan menyatakan sujudnya dengan perasaan hormat yang diberitahukan oleh Sang
Buddha kepada Bhikkhu Ananda.
Hal ini disampaikan oleh Sang Buddha menjelang beliau parinibbana atau meninggal dunia, yaitu
sebagai berikut :
1. Tempat dimana Sang Tathagata dilahirkan;
2. Tempat dimana Sang Tathagata mencapai penerangan sempurna
yang tiada tara;
3. Tempat dimana Sang Tathagata memutar roda Dhamma untuk
pertama kali;
4. Tempat dimana Sang Tathagata meninggal (parinibbana).
Dalam sutta ini
juga terdapat syair yang menceritakan Delapan Relik Sang Bhagava.
3)
Saddhamma-Pundarika
Sutra
Dalam Saddhamma-Pundarika
Sutra, Bab I Purwaka pada halaman
5 terdapat petikan bahwa:
“Demikian
pula dapat disaksikan para Buddha yang telah mencapai Pari-Nirvana, dapat pula
dilihat stupa-stupa, terbuat dari pada
tujuh macam bahan untuk menempatkan Sarira (relik) para Buddha, yang didirikan
setelah para Buddha mencapai Pari-Nirvana”.
Bagi mereka yang telah mencapai Parinirvana yaitu para Buddha, maka ia
akan dibangunkan sebuah stupa. Stupa tersebut terbuat dari tujuh macam
bahan untuk menempatkan Sarira (relik) para Buddha. Jadi bagi mereka
yang telah mencapai Parinirvana, maka
ia patut di hormati dan didirikan sebuah stupa.
2.2 Sejarah Objek
Dharmayatra
Setiap tempat
yang memiliki nilai kebudayaan spritual pasti memiliki catatan sejah. Begitu
juga tempat-tempat dharmayatra pasti memiliki sejarah tersendiri. Adapun
sejarah yang ada dalam masing-masing objek dharmayatra sebagai berikut :
2.2.1
Candi
Plaosan Lor, Plaosan Kidul (kuti)
Letaknya ± 1 km ke arah
dari Candi Sewu. Candi ini dibangun pada pertengahan abad 9 Masehi oleh Rakai
Pikatan sebagai hadiah kepada permaisurinya. Kelompok Candi Plaosan Lor (Utara)
terdiri atas dua Candi induk, 58 perwara dan 126 buah Stupa. Kelompok Candi
Plaosan Kidul (Selatan) hanya berupa sebuah Candi. Halaman Candi induk terbagi
dua yang masing-masing di atasnya berdiri sebuah biara bertingkat dua. Tingkat
atas untuk tempat tinggal para pendeta Buddha dan tingkat bawah untuk kegiatan
keagamaan.
Secara administratif
kompleks Candi Plaosan terletak di Dukuh Plaosan, Desa Bugisan, Provinsi Jawa
Tengah. Sedangkan secara geografis terletak pada 7’ 44’ 32, 13 “Lintang Selatan
dan 110’ 30’ 11, 007” Bujur Timur dengan ketinggian kurang lebih 163,195 meter
dari permukaan laut. Kompleks
Candi Plaosan dapat dicapai dengan menyusuri jalan raya Prambanan-Manisrenggo,
yang ada di sebelah Timur pagar kompleks Candi Prambanan, ke arah Utara,
setelah kira-kira berjalan 1500 meter berbelok ke arah Timur, setelah kurang
lebih 1200 meter akan sampai di kompleks Candi Plaosan.
Kompleks Candi Plaosan
terdiri dari dua kelompok Candi yang dikenal dengan sebutan kompleks Candi
Plaosan Lor dan Plaosan Kidul. Kedua kompleks Candi dipisahkan oleh jalan aspal
yang membentang Timur-Barat dan lingkungan tanah persawahan. Kompleks Candi
Plaosan Lor secara keseluruhan terletak di tengah tanah persawahan dan di
sebelah Barat kompleks Candi Plaosan Kidul terdapat perumahan penduduk Dukuh
Plaosan.
2.2.2
Candi
Kalasan
Peninggalan agama
Buddha tertua di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah adalah Candi
Kalasan. Letak pada sisi sebelah kanan Jalan Raya Yogya-Solo 13 km. Masuk
beberapa puluh meter ke arah Selatan. Candi ini didirikan oleh Pangkaran, raja
kedua dari kerajaan Matarm Kuno pada abad 8 Masehi sebagai persembahan kepada
Dewi Tara. Lengkung
“Kala-Makara dengan hiasan kahyangan di atasnya terpahat di atas pintu masuk
dengan begitu indahnya. Keindahan hiasan dan relief-reliefnya disebabkan oleh
penggunaan sejenis semen kuno “Bajralepa”. Candi
ini dianggap permata kesenian Jawa Tengah.
2.2.3
Candi
Sari
“Sari” bararti “indah”
atau “cantik” sesuai bentuknya yang ramping. Mungkin keindahannya yang menarik
perhatian ia dinamakan demikian. Puncak atapnya berhiaskan 9 Stupa yang sama
sebangun dan tersusun dalam 3 deret. Di bawah masing-masing Stupa terdapat
ruangan-ruangan bertingkat 2 yang digunakan sebagai tempat tinggal, tempat
meditasi dan mengajar.
Arca-arca Bodhisatva terdapat pada
dinding luarnya. Dinding ini dihias dengan amat indahnya. Biara Buddha yang
dibangun pada ± abad 8 Masehi ini terletak pada sisi kiri Jalan Raya
Yogya-Solo, masuk ± 500 meter ke arah Utara. Bangunan dengan panjang 17,32
meter dan lebar 10 meter ini merupakan sebagian saja dari kumpulan candi yang telah hilang.
2.2.4
Candi
Prambanan
Candi
Loro Jonggrang yang sering disebut Candi Prambanan terletak persis di
perbatasan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah, kurang
lebih 17 km ke arah Timur dari kota Yogyakarta atau kurang lebih 53 km sebelah
Barat Solo. Komplek Percandian Prambanan ini masuk ke dalam dua wilayah yakni
komplek bagian Barat masuk wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan bagian Timur
masuk wilayah Provinsi Jawa Tengah. Percandian Prambanan berdiri di sebelah Timur
Sungai Opak kurang lebih 200 m sebelah Utara Jl. Raya Yogya-Solo.
Gugusan
Candi ini dinamakan “Prambanan” karena terletak di daerah Prambanan. Nama “Loro
Jonggrang” berkaitan dengan legenda yang menceritakan tentang seorang dara yang
jonggrang atau gadis jangkung putri Prabu Boko.
Candi
Prambanan adalah kelompok percandian Hindu yang dibangun oleh raja-raja Dinasti
Sanjaya pada abad IX. Ditemukannya tulisan nama Pikatan pada Candi ini
menimbulkan pendapat bahwa Candi ini dibangun oleh Rakai Pikatan yang kemudian
diselesaikan oleh Rakai Balitung bedasarkan prasasti berangka pada tahun 856 M
“Prasasti Siwargrha” sebagai manifest politik untuk meneguhkan kedudukannya
sebagai raja yang besar. Terjadinya perpindahan pusat kerajaan Mataram ke Jawa
Timur berakibat tidak terawatnya Candi-candi di daerah ini ditambah terjadinya
gempa bumi serta beberapa kali meletusnya Gunung Merapi menjadikan Candi
Prambanan runtuh tinggal puing-puing batu yang berserakan. Sungguh menyedihkan
itulah keadaan pada saat penemuan kembali Candi Prambanan. Usaha pemugaran yang
dilaksanakan pemerintah Hindia Belanda berjalan sangat lamban dan akhirnya
pekerjaan pemugaran yang sangat berharga itu diselesaikan oleh bangsa
Indonesia. Pada tanggal 20 Desember 1953 pemugaran Candi induk Loro Jonggrang
secara resmi dinyatakan selesai oleh Ir. Sukarno sebagai Presiden Republik
Indonesia pertama. Sampai sekarang pekerjaan pemugaran dilanjutkan, yaitu
pemugaran Candi Brahma dan Candi Wisnu, Candi Brahma dipugar mulai tahun 1977
dan selesai diresmikan pada tanggal 23 Maret 1987. Sedangkan Candi Wisnu mulai
dipugar pada tahun 1082 , selesai dan diresmikan oleh Bapak Presiden Soeharto
pada tanggal 27 April 1991.
Komplek
percandian Prambanan terdiri atas latar bawah, latar tengah, dan latar atas
(latar pusat) yang semakin ke arah dalam makin tinggi letaknya. Berturut-turut
letaknya : 390 meter persegi, 222 meter persegi, dan 110 meter persegi, latar
bawah tak berisi apapun. Di dalam latar tengah terdapat reruntuhan Candi-candi
Perwara.
Apabila
seluruhnya telah selesai dipugar, maka akan ada 224 buah Candi yang ukurannya
semua sama yaitu luas dasar 6 meter persegi dan tingginya 14 meter. Latar pusat
adalah latar terpenting di atasnya berdiri 16 buah Candi besar dan kecil.
Candi-candi utama terdiri atas dua deret yang saling berhadapan. Deret partama
yaitu Candi Siwa, Candi Wisnu dan Candi Brahma. Deret kedua yaitu Candi Nandi,
Candi Angsa, dan Candi Garuda. Pada ujung-ujung lorong yang memisahkan kedua
deretan Candi tersebut terdapat Candi Apit. Delapan Candi lainnya lebih kecil.
Empat diantaranya Candi keril dan empat lainnya disebut Candi Sudut. Secara
keseluruhan terdiri atas 240 Candi. Bangunan-banguna dari Candi Prambanan
antara lain :
a.
Candi Siwa
Candi dengan luas dasar
34 metr persegi dan tinnginya 47 meter adalah terbesar dan terpenting. Bernama
Candi Siwa karena di dalamnya terdapat arca Siwa Mahadewa yang merupakan arca
terbesar. Bangunan ini dibagi atas tiga bagian secara vertikal kaki, tubuh dan
kapala/atap, kaki Candi menggambarkan “dunia bawah” tempat manusia yang masih
diliputi hawa nafsu, tubuh Candi menggambarkan “dunia tengah” tempat manusia
yang telah meninggalkan keduniawian dan atap melukiskan “dunia atas” tempat
para dewa.
b.
Candi Brahma
Luas dasarnya 20 meter
persegi dan tingginjya 37 meter. Di dalam satu-satunya ruangan berdirilah arca
Brahma berkepala empat dan bertangan empat. Arca ini sebenarnya sangat indah
tetapi sudah rusak. Salah satu tanganya memegang tasbih yang satunya memegang
“Kamandalu” tempat air . keempat wajahnya menggambarkan keempat kitab suci Weda
masing-masing menghadap ke arah mata angin. Sebagai pencipta ia membawa air
karena seluruh alam kelaur dari air. Tasbih menggambarkan waktu. Dasar kaki
Candi juga dikelilingi oleh Selasar yang dibatasi pagar langkan dimana pada
langkan sebelah dalam terdapat pahatan relief lanjutan cerita Ramayana dan
relief serupa pada Candi Siwa hingga tamat.
c.
Candi Wisnu
Bentuk, ukuran relief
dan hiasan dinding luarnya sama dengan Candi Brahma. Dimana satu-satunya
ruangan yang ada berdirilah arca Wisnu bertangan empat yang memegang Gada,
Cakra, Tiram. Pada dinding langkan sebelah dalam terpahat relief cerita Kresna
sebagai “Autara” atau penjelmaan Wisnu dan Balarama (Baladewa) kakaknya.
d.
Candi Nandi
Luas dasarnya 15 meter
persegi dan tingginya 25 meter. Di dalam satu-satunya ruangan yang ada
terbaring arca Lembu jantan dengan sikap merdeka dengan panjang ± 2 meter. Di
sudut belakangnya terdapat arca Dewa Candra. Dengan mata tiga berdiri di atas
kereta yang ditarik 10 ekor kuda. Surya berdiri di atas kereta yang ditarik
oleh 7 ekor kuda. Candi ini sudah runtuh.
e.
Candi Angsa
Candi ini mempunyai
satu ruangan yang tak berisi apapun. Luas dasarnya 13 meter persegi dan
tingginya 22 meter. Mungkin ruangan ini hanya dipakai untuk kandang angsa hewan
yang biasa dikendarai oleh Brahma.
f.
Candi Garuda
Bentuk ukuran serta
hiasan dindingnya sama dengan Candi Angsa. Di dalam satu-satunya ruangan yang
ada terdapat arca kecil yang berwujud seekor naga. Garuda adalah kendaraan
Wisnu.
g.
Candi Apit
Luas dasarnya 6 meter
persegi dengan tinggi 16 meter.
Ruanganya kosong. Mungkin Candi ini dipergunakan untuk bersamadhi untuk
memasuki Candi-candi induk. Karena keindahannya ia mungkin digunakan untuk
menanamkan estetika dalam komplek percandian Prambanan.
h.
Candi Kelir
Luas dasarnya 1,55
meter persegi dengan tinggi 4,10 meter. Candi ini tidak mempunyai tangga masuk.
Fungsinya sebagai pendak bala.
i.
Candi Sudut
Ukuran Candi-candi ini sama dengan Candi
Kelir.
2.2.5
Candi Bubrah
Candi Bubrah adalah
candi Buddha yang berada di dalam kompleks Taman Wisata Candi Prambanan, yaitu di antara candi utama Roro Jonggrang dan Candi Sewu. Dinamakan Bubrah karena memang keadaannya rusak
sejak pertama kali ditemukan (bubrah dalam bahasa Jawa).
Sekarang candi ini hanya tinggal reruntuhannya saja, dengan bujur sangkar
berukuran 30 m x 30 m. Sifat keagamaan dan beberapa pola hiasnya sama dengan
candi sewu.
Menurut perkiraan,
candi ini dibangun pada abad ke-9 pada zaman Kerajaan Mataram Kuno, satu periode dengan Candi Sewu. Saat pertama
kali ditemukan masih terdapat beberapa patung Buddha, walaupun tidak utuh lagi,
sedangkan beberapa relief pada bagian kaki candinya masih terlihat.
2.2.6
Candi Lumbung
Candi Lumbung
merupakan candi yang berlatar belakang Buddha. Candi ini masih berada satu
kompleks dengan candi Sewu dan Candi Bubrah. Candi Lumbung ini terletak di
sebelah selatan Candi Sewu atau sekitar 300 m dari Candi Prambanan. Candi
Lumbung adalah candi yang berlatar belakang agama Buddha. Candi Lumbung
memiliki satu buah candi induk yang menghadap ke arah timur dan 16 Candi Perwara dengan masing-masing 4 buah di setiap penjuru
mata angin mengelilingi candi induk. Candi Lumbung terletak beberapa ratus
meter di sebelah selatan Candi Sewu. Candi ini sudah masuk
dalam wilayah kabupaten Klaten, Surakarta. Nama Lumbung masih menjadi
pertanyaan merupakan nama
candi ini atau nama itu hanya smerupakan sebutan masyarakat di sekitarnya, karena bentuknya yang mirip lumbung (bangunan tempat penyimpanan padi).
2.2.7
Candi Sewu
Candi Sewu adalah candi Buddha yang dibangun pada abad ke-8 yang
berjarak hanya delapan ratus meter di sebelah utara candi Prambanan. Candi Sewu
merupakan komplek candi Buddha terbesar kedua setelah Candi Borobudur di
Jawa Tengah. Candi Sewu berusia lebih tua dari pada Candi Prambanan.
Meskipun aslinya terdapat 257 candi, oleh masyarakat setempat candi ini
dinamakan Candi "Sewu" yang berarti "seribu" dalam bahasa
Jawa. Penamaan ini berdasarkan kisah legenda Loro Jonggrang. Berdasarkan
prasasti yang berangka tahun 792 dan ditemukan pada tahun 1960, nama asli
bangunan ini adalah “Manjus’ri grha” (Rumah Manjusri). Manjusri adalah salah
satu Boddhisatwa dalam ajaran Buddha.
Candi
Sewu diperkirakan dibangun pada
abad ke-8 masehi pada akhir masa pemerintahan Rakai Panangkaran. Rakai
Panangkaran (746 – 784) adalah raja yang termahsyur dari kerajaan Mataram Kuno.
Kompleks candi ini mungkin dipugar, diperluas, dan rampung pada masa
pemerintahan Rakai Pikatan, seorang pangeran dari dinasti Sanjaya yang menikahi
Pramodhawardhani dari dinasti Sailendra. Setelah dinasti Sanjaya berkuasa
rakyatnya tetap menganut agama sebelumnya. Adanya Candi Sewu yang
bercorak Buddha berdampingan dengan Candi Prambanan yang bercorak
hindu menunjukkan bahwa sejak zaman dahulu di Jawa umat Hindu dan Buddha hidup
secara harmonis dan adanya toleransi beragama.
Karena
keagungan dan luasnya kompleks Candi ini, candi Sewu diduga
merupakan Kerajaan Buddha, sekaligus pusat kegiatan agama Buddha yang penting
di masa lalu. Candi ini terletak di lembah Prambanan yang membentang dari
lereng selatan gunung Merapi di utara hingga pegunungan Sewu di selatan, di
sekitar perbatasan Yogyakarta dengan Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Di lembah
ini tersebar candi-candi dan situs purbakala yang berjarak hanya beberapa ratus
meter satu sama lain. Hal ini menunjukkan bahwa kawasan ini merupakan kawasan
penting artinya dalam sektor keagamaan, politik, dan kehidupan urban masyarakat
Jawa kuna.
Kompleks
Candi Sewu adalah kumpulan candi Buddha terbesar di kawasan sekitar Prambanan,
dengan bentang ukuran lahan 185 meter utara-selatan dan 165 meter timur-barat.
Pintu masuk kompleks dapat ditemukan di keempat penjuru mata angin, tetapi
mencermati susunan bangunannya, diketahui pintu utama terletak di sisi timur.
Tiap pintu masuk dikawal oleh sepasang arca Dwarapala. Arca raksasa penjaga
berukuran tinggi sekitar 2 meter ini dalam kondisi yang cukup baik, dan
replikanya dapat ditemukan di Keraton Yogyakarta. Aslinya terdapat 257 bangunan
candi di kompleks ini yang disusun membentuk mandala, perwujudan alam semesta
dalam kosmologi Buddha Mahayana. Candi kecil terdiri atas 248 buah dengan
disain yang serupa dan tersusun atas empat barisan yang konsentris. Dua barisan
terluar terdiri dari 176 candi kecil yang disusun berdekatan. Sedangkan dua
baris terdalam yang terdiri atas 72 candi yang agak besar tersusun dengan
interval jarak tertentu. Banyak patung dan ornamen yang telah hilang dan
susunannya telah berubah. Arca-arca Buddha yang dulu mengisi candi-candi ini
mengkin serupa dengan arca Buddha di Borobudur.
Pada
bentangan poros tengah, utara-selatan dan timur-barat, pada jarak 200 meter
satu sama lain, atara baris ke-2 dan ke-3 candi kecil terdapat candi perwara (pengawal), candi-candi ini
ukurannya kedua terbesar setelah candi utama. Aslinya di setiap penjuru mata
angin terdapat masing-masing sepasang candi perwara yang saling berhadapan, tetapi kini hanya candi perwara kembar timur dan satu candi perwara utara yang masih utuh.
Candi-candi yang lebih kecil ini mengelilingi candi utama yang paling besar
tapi beberapa bagiannya sudah tidak utuh lagi. Di balik barisan ke-4 candi
kecil terdapat pelataran beralas batu dan ditengahnya berdiri candi utama.
Candi utama memiliki denah poligon
bersudut 20 yang menyerupai salib atau silang yang berdiameter 29 meter dan
tinggi bangunan mencapai 30 meter. Pada tiap penjuru mata angin terdapat
struktur bangunan yang menjorok ke luar, masing-masing dengan tangga dan
ruangan tersendiri dan dimahkotai susunan stupa. Seluruh bangunan terbuat dari
batu andesit. Ruangan di empat penjuru mata angin ini saling terhubungkan oleh
galeri sudut berpagar langkan. Berdasarkan temuan pada saat pemugaran,
diperkirakan rancangan awal bangunan hanya berupa candi utama berkamar tunggal.
Candi ini kemudian diperluas dengan menambahkan struktur tambahan di
sekelilingnya. Pintu dibuat untuk menghubungkan bangunan tambahan dengan candi
utama dan menciptakan bangunan candi utama dengan lima ruang. Ruangan utama di
tengah lebih besar dengan atap yang lebih tinggi, dan dapat dimasuki melalui
ruang timur. Kini tidak terdapat patung di kelima ruangan ini. Akan tetapi
berdasarkan adanya landasan atau singgasana batu berukir teratai di ruangan
utama, diduga dahulu dalam ruangan ini terdapat arca Buddha dari bahan perunggu
yang tingginya mencapai 4 meter. Akan tetapi kini arca itu telah hilang,
mungkin telah dijarah untuk mengambil logamnya sejak berabad-abad lalu.
2.2.8
Ratu Boko
Kompleks Ratu Boko
terletak di dataran tinggi yang luasnya 500 x 500 m, atau tepatnya berada di
Desa Bokoharjo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman. Candi yang berdiri 8-10
M ini berada pada sebuah bukit kapur yang terletak di sebelah selatan candi
Prambanan yang jaraknya +/- 2 km. Bukit ini merupakan rangkaian dari Zona
Gunung Kidul bagian utara dengan ketinggian 110-229 m di atas permukaan air
laut.
Kompleks
kepurbakalaan Ratu Boko ini dikenal dengan nama Keraton Boko, karena disitulah
menurut cerita bertempat tinggal Ratu Boko yang disebut dalam cerita Loro
Jonggrang. Kawasan candi yang terbuat dari batu putih dan batu andesit ini
merupakan peninggalan sejarah yang menunjukkan unsur-unsur agama Buddha dan
Hindu dari abad 8-10 M. Candi ini dibuat pada masa kerajaan Mataram Kuno.
Bukti-bukti tertulis yang ditemukan di kompleks Ratu Boko memperlihatkan adanya
kaitan antara Ratu Boko dengan pemerintahan Kerajaan Matam Kuno. Candi
Prambanan sebagai salah satu bentuk peninggalan terbesar dari Kerajaan Mataram
Kuno memiliki kaitan dengan Ratu Boko.
Candi Prambanan
terletak pada salah satu imajiner dengan Ratu Boko, sehingga para ahli
memperkirakan bahwa Candi Prambanan sebagai daerah sakral, sedangkan kompleks
Ratu Boko sebagai tempat pemukiman. Dugaan ini diperkuat dengan temuan prasasti
di Ratu Boko yang menyebutkan bahwa fungsi Ratu Boko sebagai wihara. Prasasti
ini adalah Prasati Abhayagiriwihara pada tahun 792 M, yakni sebagai tempat
pemukiman dan perlindungan (berdasarkan prasasti yang dibuat oleh Raja Belitung
pada abad 10 M).
Situs Ratu Boko sebenarnya
bukan merupakan candi, melainkan reruntuhan sebuah kerajaan. Oleh karena itu,
Candi Ratu Boko sering disebut juga Kraton Ratu Boko. Disebut Keraton
Boko, karena menurut legenda situs tersebut merupakan istana Ratu Boko, ayah Loro
Jonggrang. Kata 'kraton' berasal dari kata Ka-ra-tu-an yang berarti istana
raja. Diperkirakan Candi Ratu Boko dibangun pada abad ke-8 oleh Wangsa
Syailendra yang beragama Buddha, namun kemudian diambil alih oleh raja-raja
Mataram Hindu. Peralihan 'pemilik' tersebut menyebabkan bangunan Keraton Boko
dipengaruhi oleh Hinduisme dan Buddhisme.
2.2.9
Candi Mendut
Sama halnya dengan Candi Borobudur, Candi
Mendut berlatar belakang agama Buddha. Candi ini hanya terdiri dari satu candi
induk yang menghadap ke arah barat. Sebenarnya di sisi
selatan candi induk, ada sekumpulan batu-batu candi, dan diperbiralan batu candi tersebut merupakan Candi Perwara. Candi ini kerap digunakan pada upacara sembahyang
agama Buddha, tidak heran bila di dekat candi terdapat sebuah vihara. Candi ini
dibangun pada sekitar abad ke-9 oleh Wangsa Syailendra yang juga membangun Candi
Borobudur. Di bilik utama terdapat tiga buah arca Buddha, Vairocana, Avalokitesvara, dan Vajrapani.
Simbolisme ketiga arca tersebut merupakan fungsi Candi Mendut, yaitu untuk bisa
membebaskan karma badan, karma ucapan, serta karma pikiran. Selain itu di setiap dinding
candi terukir berbagai macam relief jajaran dewa-dewa agama Buddha dan juga
berbagai macam relief kisah cerita binatang.
2.2.10
Candi
Borobudor
Candi Borobudor
dibangun oleh “Wangsa syailendra” yang dikenal dalam sejarah karena usahanya
untuk menjunjung tinggi dan mengagungkan agama Buddha Mahayana sekitar tahun
800 M. Kira-kira hanya 150 tahun Candi Borobudor digunakan sebagai pusat
ziarah. Dengan berakhirnya kerajaan Mataram tahun 930 pusat kehidupan dan
kebudayaan jawa bergerak ke Timur. Kira-kira pada abad ke 10 itulah Candi
Borobudor terbengkalai dan terlupakan. Baru pada tahun 1814 berkat kegiatan
“Sri Thomas Stamford Refles” telah menemukan beberapa bukti yang menunujukan
bahwa pada bagian kaki-kaki Candi yang tertutup terdapat tulisan singkat
berbahasa Sangsekerta dengan huruf kawi. Pada saat itu Refles adalah seorang
Letnan Gubernur Jendral Inggris. Ketika itu Indonesia dikuasai atau dijajah
Inggris tahun 1811-1816. Sejarah Candi Borobudor telah ditemukan kembali, lalu
dimulailah dan memugar kembalai bangunan Candi Borobudor yang mulanya hanya
dilakukan perbaikan kecil-kecilan serta pembuatan gambar dan foto
relief-reliefnya. Pekerjaan pemugaran yang boleh dikatakan agak besar yang
pertama kali diadakan pada tahun 1907-1911.
Candi Borobudor dibuat
dengan menggunakan batu andesit sebanyak 55.000 M3. Bangunan
berbentuk limas berundak-undak dengan tangga naik keempat sisinya (Timur,
Selatan, Utara dan Barat). Pada Candi Borobudor tidak ada ruangan dimana orang
bisa masuk melainkan hanya bisa naik sampai terasnya. Lebar bangunan Candi
Borobudor 123 M. Panjang bangunan Candi Borobudor 123 M. Pada sudut yang
membelok 113 M. Tinggi bangunan Candi Borobudor 34,5 M.
Pada kaki Candi yang
asli ditutup dengan batu sebanyak 12.750 M3, sebagai selasar dan
undaknya. Candi Borobudor merupakan tiruan dari kehidupan pada alam semesta,
yang terbagi tiga bagian besar, yaitu:
a.
Kamadhatu
Sama dengan dunia paling bawah atau
dunia hasrat, dalam dunia ini manusia masih terikat pada hasrat bahkan dikuasai
oleh hasrat, kemauan, dan hawa nafsu.
b.
Rupadhatu
Sama dengan dunia rupa. Dalam alam ini
manusia telah meninggalkan segala hasrat tapi masih terikat pada nama dan rupa.
Bagian ini terdapat pada langkah 1-5.
c.
Aruapadhatu
Sama dengan dunia tanpa rupa. Pada
tingkat ini sudah tidak ada nama maupun rupa. Manusia telah bebas sama sekali
dan telah memutuskan untuk selama-lamanya lepas dari ikatan kepada dunia
hasrat.
Patung-patung itu
menggambarkan Dhayani Buddha terdapat pada bagian Rupadhatu dan Arupadhatu.
Patung-patung Buddha di Rupadhatu ditempatkan dalam relung-relung yang tersusun
sejajar pada sisi luar pagar langkah sesuai dengan kenyataan bahwa
tingkatan-tingkatan bangunannya semakin tinggi letaknya semakin kecil
ukurannya. Susunan patung Buddha pada Candi Borobudor adalah sebagai berikut :
Langkah Pertama : 104 Patung Buddha
Langkah Kedua : 104 Patung Buddha
Langkah Ketiga : 88 Patung Buddha
Langkah Keempat : 72 Patung Buddha
Langkah Kelima : 64 Patung Buddha
Teras Bundar Pertama : 32 Patung Buddha
Teras Bundar Kedua : 24 Patung Buddha
Teras Bundar Ketiga : 16 Patung Buddha
Jad jumlah seluruh patung Buddha adalah
504 buah patung.
Pada bagian Arupadhatu
pada umumnya menggambarkan maksud yang sama, maka jumlah mudra yang pokok ada
lima, yaitu :
1. Bhumispara-Mudra
Sikap tangan ini menggambarkan saat
tangan Sang Buddha memanggil Dewi Bumi sebagai saksi ia menangkis semua
serangan iblis mara.
2. Wara-Mudra
Sikap tangan ini menggambarkan perihal
alam memberi berkat atau anugerah. Mudra ini adalah khas bagi Dhayani Buddha
Ratna Sambawa patung-patung menghadap ke Selatan.
3. Dhayana-Mudra
Sikap tangan ini melambangkan sedang
bersamadhi. Sikap tangan ini merupakan tanda khusus Dhayani Buddha Amithaba,
patung-patung menghadap ke Barat.
4. Abhaya-Mudra
Sikap
tangan ini melambangkan sedang memenangkan dan merupakan tanda khusus Dhayani
Amoghasidi, patung-patung menghadap ke Utara.
5. Dharma
Cakro-Mudra
Sikap tangan ini melambangkan gerak
memutar roda Dharma dan juga menjadi cirri khas Dhayani Buddha Wairocana,
daerah kekuasaannya berada di pusat.
Pada Stupa induk Candi Borobudur
berukuran lebih besar dari pada Stupa yang lainnya dan terletak di
tengah-tengah (paling atas) bangunan Candi Borobudor. Garis tengah Stupa induk
± 9,90 meter. Puncak yang tinggi disebut Pinakel atau Yasti Cikkra, Pinakel
terletak di atas Padamaganda dan juga terletak di atas Harmika. Stupa berlubang
atau terawang adalah Stupa yang terdapat pada tingkat I, II, III dimana di
dalamnya terdapat patung Buddha, Stupa ini berjumlah 72 buah. Adapula Stupa
kecil bentuknya sama dengan Stupa lainnya, hanya saja perbedaannya yang menonjol adalah dalam
ukurannya yang lebih kecil dari Stupa yang lainnya, jumlahnya Stupa kecil ada
1.472 buah.
2.2.11 Makam Imogiri
Makam imogiri dibangun tahun 1632 oleh Raja Adipati Anom Sesudah 5 tahun ia memerintah, kerajaannya dipindahkan ke Kerta-Plered dan
selanjutnya Kanjeng Sultan ingin memulai membuat makam di Pegunungan
Girilaya yang terletak di sebelah Timur Laut Imogiri yang dipergunakan sebagai
makam raja. Tetapi sebelum makam itu selesai, pamannya yaitu Gusti Pangeran
Juminah lebih dulu mengajukan permintaan. Kemudian Sinuhun merasa kecewa.
2.2.12 Keraton
Yogyakarta
Kraton Yogyakarta
dibangun tahun 1756 Masehi atau tahun Jawa 1682 oleh Pangeran Mangkubumi
Sukowati yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I. Setelah melalui
perjuangan panjang antara 1747-1755 yang berakhir dengan Perjanjian Gianti.
Sebelum menempati Kraton Yogyakarta yang ada saat ini, Sri Sultan Hamengku
Buwono I atau Sri Sultan Hemengku Buwono Senopati Ingalogo Ngabdulrahman
Sayidin Panotogomo Kalifatullah tinggal di Ambar Ketawang Gamping, Sleman.
Lima kilometer di sebelah barat Kraton Yogyakarta. Dari Ambar Ketawang Ngarso
Dalem menentukan ibukota Kerajaan Mataram di Desa Pacetokan. Sebuah
wilayah yang diapit dua sungai yaitu sungai Winongo dan Code. Lokasi ini berada
dalam satu garis imajiner Laut Selatan, Krapyak, Kraton, dan Gunung Merapi.
Bangunan Kraton
Yogyakarta sedikitnya terdiri tujuh bangsal. Masing-masing bangsal dibatasi
dengan regol atau pintu masuk. Keenam regol adalah Regol Brojonolo, Sri
Manganti, Danapratopo, Kemagangan, Gadungmlati, dan Kemandungan. Kraton diapit
dua alun-alun yaitu Alun-alun Utara dan Alun-alun Selatan. Masing-masing
alun-alun berukurang kurang lebih 100x100 meter. Sedangkan secara keseluruhan
Kraton Yogyakarta berdiri di atas tanah 1,5 km persegi. Bangunan inti kraton dibentengi dengan tembok
ganda setinggi 3,5 meter berbentuk bujur sangkar (1.000 x 1.000 meter).
Sehingga untuk memasukinya harus melewati pintu gerbang yang disebut plengkung.
Ada lima pintu gerbang yaitu Plengkung Tarunasura atau Plengkung Wijilan di
sebelah Timur Laut kraton. Plengkung Jogosuro atau Plengkung Ngasem di sebelah
Barat Daya. Plengkung Joyoboyo atau Plengkung Tamansari di sebelah Barat.
Plengkung Nirboyo atau Plengkung Gading di sebelah Selatan. Plengkung
Tambakboyo atau Plengkung Gondomanan di sebelah Timur.
Dalam benteng, khususnya
yang berada di sebelah selatan dilengkapi jalan kecil yang berfungsi untuk
mobilisasi prajurit dan persenjataan. Keempat sudut benteng dibuat bastion yang
dilengkapi dengan lubang kecil yang berfungsi untuk mengintai musuh. Penjaga
benteng diserahkan pada prajurit kraton di antaranya, Prajurit Jogokaryo,
Prajurit Mantrijero, dan Prajurit Bugis. Prajurit Jogokaryo mempunyai bendera
Papasan dan tinggal di Kampung Jogokaryan. Prajurit Mantrijero dilengkapi
dengan Bendera Kesatuan Purnomosidi dan tinggal di Kampung Mantrijeron.
Prajurit Bugis yang berbendera Kesatuan Wulandari tinggal di Kampung Bugisan.
Masa pemerintahan
Kraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono I (GRM Sujono) memerintah tahun
1755-1792. Sri Sultan Hamengku Buwono II (GRM Sundoro) memerintah tahun
1792-1812. Sri Sultan Hamengku Buwono III (GRM Surojo) memimpin tahun
1812-1814. Sri Sultan Hamengku Buwono IV (GRM Ibnu Djarot) memerintah tahun
1814-1823. Sri Sultan Hamengku Buwono V (GRM Gathot Menol) memerintah tahun
1823-1855. Sri Sultan Hamengku Buwono VI (GRM Mustojo) memerintah tahun
1855-1877. Sri Sultan Hamengku Buwono VII (GRM Murtedjo) memerintah tahun
1877-1921. Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (GRM Sudjadi) memerintah tahun
1921-1939. Sri Sultan Hamengku Buwono IX (GRM Dorojatun) memimpin tahun
1940-1988.
Sri Sultan Hamengku
Buwono X (GRM Hardjuno Darpito) memimpin tahun 1989 - sekarang. Disini kami ditemani
oleh seorang guide yang bernama P. Gandung, dari beliaulah kami memperoleh
pengetahuan baru tentang keberadaan Kraton tersebut. Masyarakat Jogjakarta
meyakini bahwa Kraton tersebut adalah tempat yang sakral. Dari lokasinya yang
merupakan titik kosmis antara gunung Merapi dan Pantai Selatan (jarak 27 km)
masyarakat menganggap tempat ini adalah tempat yang agung, yang nantinya mampu
melindungi masyarakat sekitar dari segala bencana yang terjadi.
2.2.13 Vihara Karang
Djati
Bangunan
induk Vihara Karang
Djati dibangun pada masa
pendudukan Belanda. Oleh pemiliknya, bangunan tersebut difungsikan sebagai
kandang sapi perah, sapi yang menghasilkan susu segar. Pada masa tersebut,
daerah tersebut belum merupakan perkampungan, tapi masih merupakan lahan yang
sangat luas, yang merupakan areal perkebunan tebu, komoditas primadona
Yogyakarta pada saat itu. Dengan
peralihan kekuasaan dari Belanda ke Indonesia, lahan tersebut akhirnya dimiliki
oleh Romo Among Pradjarto, seorang tokoh masyarakat yang cukup disegani, yang
dikenal memiliki pengetahuan yang winasis.
Bhikkhu Jinaputta, yang berperan penting dalam
alih fungsi Kandang sapi tersebut menjadi tempat ibadah. Pada tahun 1958 Bhante
(panggilan kepada Bhikkhu) Jinaputa berkenan menjalankan Vassa di Yogyakarta.
Beliau kemudian tinggal di Cetiya Buddha Kirti, Milik Bapak Tjan Tjoen Gie
(Gunavarman Boediharjo), sebagai satu-satunya tempat ibadah umat Buddha yang
ada di Yogyakarta waktu itu.
Bekas
Kandang sapi kemudian di bersihkan, dan jadilah bekas kandang tersebut menjadi
tempat vassa bagi Bhante jinaputa. Selama Bhante Jinaputa tinggal di tempat
tersebut, maka dimulailah beberapa diskusi seputar agama Buddha. Karena
kebanyakan yang datang adalah orang-orang memang mempunyai latar belakang
theosofi, kejawen dan ajaran-ajaran kebatinan yang lain, maka tidaklah sulit
untuk berdiskusi tentang ajaran tersebut.
Aktivitas di tempat tersebut kemudian sudah benar-benar
merupakan aktivitas Vihara. Sudah tidak dikenal lagi sebagai kandang ternak.
Kegiatan rutin berupa Puja Bakti setiap Rabu malam, serta Purnomosidhen (setiap
bulan Purnama) dilakukan. Kegiatan tersebut tentu saja membutuhkan tempat yang
lebih luas. Maka dibuatlah tempat tersebut menjadi lebih pantas, dilengkapi
dengan pagar dan gapura. Tahun 1962, dinyatakan secara resmi menjadi lahirnya
Vihara Buddha Karangdjati, meskipun aktivitasnya sudah dimulai sebalum tahun
tersebut.
Vihara Karang Djati juga berkesempatan menyambut Bhikkhu
Narada Mahathera, atau lebih dikenal dengan Bhante Narada, seorang tokoh
Buddhis yang cukup dikenal di Dunia, berasal dari Sri Langka. Beliau datang ke
Indonesia untuk mengajarkan agama Buddha di berbagai tempat, termasuk kemudian
meletakkan batu pertama calon bangunan ‘tempat biara Buddha’ di depan Candi
Mendut (Vihara Mendut saat ini). Sebelumnya, tahun 1961, perwakilan dari
International Buddhist Centre, Profesor Ananda Thera, Bhikkhu dari Srilanka,
juga berkunjung ke tempat tersebut.
Umat dari Vihara Karang Djati juga terlibat aktif dalam keorganisasian Buddhis
secara nasional, termasuk menjadi pelaksana Musyawarah nasional umat Buddha
pada tahun 1961 yang dihadiri delegasi dari berbagai kota dan propinsi di
Indonesia. Tahun 1969 dibentuk juga Organisasi Wanita Buddhis bernama
Perkumpulan Wanita Buddha Jogjakata, yang saat itu diketuai oleh Ibu Ratna Dewi
Suprapto.
Berbagai kegiatan yang berupa pelayanan keagamaan, pelayanan
sosial kemasyarakatan, pendidikan dan fungsi yang lain dilakukan di Vihara
tersebut, baik dalam skala kecil maupun Intensional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar