1.
VIDUDABHA VATTHU
“Walaupun seseorang mengumpul
bunga-bungaan ....” Uraian dhamma ini dibabarkan Guru ketika Beliau tinggal di
Savatthi sehubungan dengan Vidudabha bersama pasukannya, yang diterjang dan
terseret banjir besar hingga semuanya meninggal.
Di Savatthi hidup Pangeran
Pasenadi, putra raja Kosala; di Vesali hidup Pangeran Mahali, keturunan
Licchavi; di Kusinara ada Pangeran Bandula, putra raja Malla. Tiga pangeran ini
belajar pada seorang guru terkenal di Takkasila. Ketika bertemu di sebuah rumah
peristirahatan di luar kota, mereka saling bertanya tentang tujuan kedatangan,
keluarga serta nama, dan menjadi teman. Mereka belajar pada guru yang sama pada
waktu yang bersamaan, dan tak lama kemudian mereka telah menguasai berbagai
macam ilmu, mereka mohon diri dari guru, berangkat bersama pulang ke
masing-masing kerajaan.
Pangeran Pasenadi sangat
mengembirakan ayahnya dengan mempertunjukkan berbagai macam keahlian yang
dimilikinya sehingga ayahnya menotbatkannya menjadi raja.
Pangeran Mahali membaktikan
dirinya pada tugas mendidik para pangeran Licchavi, namun karena terlalu bekerja
keras, ia menjadi buta. Karena itu, para pangeran Licchavi berkata: “Sial! Guru
kita telah buta. Kita tidak akan mengusirnya, namun kita harus membantunya
dengan baik.” Selanjutnya mereka memberikan sebuah gerbang (pembsayaran pajak)
seharga 100.000 kahapana. Ia tinggal di dekat gerbang ini, dan mengajar
berbagai ilmu kepada 500 pangeran Licchavi.
Sedangkan bagi Pangeran
Bandhula, para pangeran Malla mengikat batangan-batangan bambu dalam ikatan-ikatan
yang masing-masing terdiri dari 60 batang, dan menyelipkan sebatang besi tipis
ke dalam setiap ikatan bambu, mengangkat ikatan-ikatan batangan nya ke atas,
dan menantang Bandula untuk memotongnya. Bandula meloncat ke udara setinggi 80
hasta dan menebas ikatan-ikatan itu dengan pedangnya. Karena mendengar suara
bunyi besi pada ikatan terakhir, ia bertanya: “Apa itu?” Ketika ia
diberitahukan bahwa sebatang besi tipis diselipkan dalam setiap ikatan, ia
melempar pedangnya dan menangis dengan berkata: “Mereka semua adalah kerabatku
dan temanku, namun tidak ada seorang pun dari mereka yang mau memberitahukan
hal ini. Sebab, bilamana saya mengetahuinya, saya akan menebas ikatan-ikatan
itu tanpa menyebabkan bunyi besi.” Lalu ia berkata kepada ayah dan ibunya:
“Saya akan membunuh semua pangeran ini dan menguasai kerajaan.” Mereka
menjawab: “”Nak, tahta diwariskan dari ayah ke putranya, maka dengan demikian
tidak mungkin bagimu melakukan hal ini.” Dengan berbagai macam cara mereka
membujuknya untuk tidak melaksanakan apa yang ia rencanakan, akhirnya ia
berkata: “Baiklah, saya akan pergi dan tinggal dengan sahabatku,” dan ia
berangkat ke Savatthi.
Raja Pasenadi mendapat
informasi bahwa Bandula datang, maka ia segera pergi mengangkatnya menjadi
panglima tertinggi tentaranya. Bandula mengajak ayah dan ibunya untuk tinggal di
kota Savatthi.
Pada suatu hari, sementara raja
berdiri diteras dan melihat ke jalan di bawah, ia melihat beberapa ribu bhikkhu
yang melalui jalan dalam perjalanan mereka untuk makan pagi di rumah
Anathapindika, Culla Anathapindika, Visakha dan Suppavasa. “Ke mana para
bhikkhu itu pergi,” tanya raja. “Maha Raja, setiap hari 2000 bhikkhu pergi ke
rumah Anathapindika untuk mendapat makanan, obat-obatan dlll.; 500 bhikkhu ke
rumah Culla Anathapindika; jumlah yang sama juga pergi ke rumah Visakha dan
Suppavasa.” Raja pun berkeinginan untuk melayani sangha bhikkhu, maka ia pergi
ke vihara, lalu mengundang Guru dan ribuan siswanya untuk makan di istananya.
Selama tujuh hari ia memberikan dana kepada Guru, pada hari ke tujuh ia
memberikan hormat dan berkata: Sejak hari ini Bhante dengan 500 bhikkhu secara
tetap datang makan di istanaku.” “Maha Raja, para Buddha tidak pernah menerima
makanan secara tetap di satu tempat; manyak orang menginginkan kedatang para
Buddha.” “Baiklah, kirim seorang bhikkhu secara tetap.” Guru menunjuk Bhikkhu
Ananda melaksanakan tugas ini.
Ketika sangha bhikkhu bhikkhu,
raja mengambil patta mereka dan selama tujuh hari secara pribadi ia melayani
mereka, tanpa mengizinkan orang lain membentunya. Pada hari ke delapan raja
menderita pusing dan lalai melaksanakan tugasnya. Para bhikkhu saling berkata:
“Di istana raja tidak ada seorang pun yang meyediakan tampat duduk bagi para
bhikkhu dan melayani mereka tanpa ia diperintahkan untuk melakukannya. Dengan
demikian tidak mungkin bagi kita untuk tetap berada di sini lebih lama lagi.”
Selanjutnya mereka pergi. Pada hari berikutnya juga raja melalaikan tugasnya,
maka banyak bhikkhu yang pergi. Demikian pula pada hari ke tiga raja melalaikan
tugasnya, akibatnya semua bhikkhu yang tersisa kecuali Bhikkhu Ananda yang
tetap tinggal.
Mereka yang sungguh-sungguh
mengikuti kebenaran muncul melampaui di lingkungannya dan menjaga kepercayaan
umat berkeluarga. Tathagata memiliki dua orang siswa utama, yaitu: Sariputta Thera
dan Moggallana Thera; dua siswi utama, yaitu Khema dan Uppalavanna.
Diantara umat awam ada dua upasaka utama, yaitu: Citta dan Hatthaka Alavaka;
sedangkan dua upasika utama adalah Velukanthaki Nandamata dan Kujjutara.
Singkatnya, semua siswa mulai dari 8 orang ini, telah melakukan Tekad Kuat untuk
memenuhi Sepuluh Paramita, dan telah memiliki banyak pahala. Demikian pula
denganm Ananda Thera, ia telah membuat Tekad Kuat, telah memenuhi 10
Paramita selama 100.000 kappa, dengan demikian telah memiliki maha pahala. (mahapunna).
Begitulah Ananda Thera yang muncul melampaui lingkungannya, tetap
tinggal untuk menjaga kepercayaan orang-orang istana. Sehingga mereka
menyiapkan tenpat duduk untuk bhikkhu Ananda dan melayani beliau.
Ketika para bhikkhu telah
berlalu, raja tiba dan memperhatikan bahwa makanan yang keras dan lunak belum
tersentuh, ia bertanya: “Apakah para bhikkhu yang mulia tidak datang?” “Hanya
Ananda Thera seorang yang datang, Raja.” “Lihat, berapa kerugian yang
mereka sebabkan,” kata raja. Karena mara kepada para bhikkhu, ia pergi menemui
Guru dan berkata: “Bhante, saya menyediakan makanan untuk 500 bhikkhu, namun
nampaknya hanya Ananda Thera seorang yang datang. Makanan yang telah
disediakan di sana tidak tersentuh, dan para bhikkhu tidak menunjukkan
tanda-tanda akan datang ke istanaku. Mohon, apakah alasannya?” Guru, tidak
mempersalahkan para bhikkhu, menjawab: “Maha Raja, para siswaku kurang percaya
kepada anda; tentu alasan ini yang menyebabkan hal itu terjadi.” Beliau
mensehati para bhikkhu dan meletakkan persyaratan bagi para bhikkhu untuk tidak
harus mengunjungi para umat, dan persyaratan bagi para bhikkhu untuk
mengunjungi para umat, beliau membabarkan Sutta (Anguttara N. iv. 387 – 388):
“Para bhikkhu, ada 9 syarat
bagi para umat yang tidak pantas dikunjungi olah para bhikkhu. Dengan demikian,
bilamana para bhikkhu tidak mengunjungi umat, maka mereka tidak diharuskan
mengunjungi umat itu; namun jika mereka sedang mengunjunginya, mereka tidak ada
pantas untuk duduk. Apakah 9 syarat itu? Mereka tidak menyambut para bhikkhu
dengan cara yang sopan; mereka tidak menghormat dengan cara yang sopan; mereka
tidak mempersilahkan duduk dengan cara yang sopan; mereka menyembunyikan milik
(harta) mereka; memiliki banyak, tetapi memberi sedikit; memiliki makanan yang
baik, namun memberikan makanan yang kurang baik; mereka memberikan dana dengan
cara yang tidak sopan; mereka tidak duduk untuk mendengar dhamma; mereka tidak
berbicara dengan sopan. Para bhikkhu, inilah 9 syarat yang dimiliki oleh umat
yang tidak pantas dikunjungi oleh para bhikkhu. Itulah sebabnya, bilamana para
bhikkhu tidak mengunjungi umat itu, maka mereka tidak pantas untuk mengunjungi
umat itu; namun jika mereka sedang mengunjunginya, mereka tidak ada pantas
untuk duduk.
Para bhikkhu, sebaliknya ada 9
syarat para umat yang pantas dikunjungi oleh para bhikkhu. Maka bilamana para
bhikkhu belum mengunjungi umat itu, mereka pantas untuk mengunjunginya; dan
jika mereka mengunjunginya, mereka pantas untuk duduk. Apakah 9 syarat itu?
Mereka menyambut para bhikkhu dengan cara yang sopan; mereka menghormat dengan
cara yang sopan; mereka mempersilahkan duduk dengan cara yang sopan; mereka
memperlihatkan milik mereka; memiliki banyak dan memberi banyak; memiliki
makanan yang baik dan memberikan makan yang baik; memberikan dana dengan cara
yang sopan; mereka duduk mendengar dhamma; mereka berbicara dengan sopan. Para
bhikkhu, inilah 9 syarat yang dimiliki umat yang pantas dikunjungi oleh para
bhikkhu. Itulah sebabnya, bilamana para bhikkhu belum mengunjungi umat itu,
maka mereka pantas mengunjungi umat itu, jika mereka mengunjunginya, mereka
pantas untuk duduk.
“Maharaja, berdasarkan hal
inilah para siswaku kurang kepercayaan kepada anda; pasti karena hal inilah
mereka tidak datang. Demikian pula yang dilakukan oleh para bijaksana pada masa
lampau yang tinggal di sebuah tempat yang tidak sesuai dengan kepercayaan
mereka; dan walaupun mereka dilayani dengan sopan, mereka merasakan penderita
kematian, sehingga mereka pergi ke tempat di mana sesuai dengan kepercayaan
mereka.” “kapan itu terjadi,” tanya Raja. Untuk itu Guru menceritakan hal
berikut ini.
Cerita
yang lampau.
Kesava,
Kappa, Narada, dan Raja Baranasi
Pada masa yang lalu, ketika
Raja Brahmadatta berkuasa di baranasi, seorang raja bernama Kesava meletakkan
tahtanya, meninggalkan kehidupan dunikawi menjadi petapa; 500 pembantunya
mengikuti jejaknya menjadi petapa. Sejak itu mantan raja dikenal sebagai petapa
Kesava. Begitu pula, Kappa, penjaga permata kerajaan menjadi petapa sebagi
murid Kesava. Petapa Kesava bersama para pengikutnya tinggal di pedalaman
Himalaya selama 8 bulan. Pada masa musim hujan ia datang ke Baranasi untuk
mendapat garam, cuka dan makan. Raja sangat gembira menemuinya, raja mendapat
janji dari petapa akan tinggal bersamanya selama 4 bulan musim hujan, raja
menyiapkan tempat tinggal di taman, dan menemuinya setiap pagi dan malam. Para
petapa yang lain, setelah tinggal di situ selama beberapa hari merasa terganggu
oleh suara-suara gajah dan binatang lainnya sehingga mereka merasa tidak puas,
lalu mereka pergi menemui Kesava dan berkata: “Guru, kami tidak bahagia, maka
kami akan pergi.” “Ke mana kamu sekalian akan pergi, saudara-saudara?” “Ke
pedalaman Himalaya, Guru.” “Pada akhari kita tiba di sini, raja mendapat janji
kita untuk tinggal selama 4 bulan musim hujan. Bagaimana dapat kita pergi,
saudara-saudara?” “Guru tidak menjelaskan kepada kami tentang janji yang guru
katakan kepada raja; kami tidak dapat tinggal di sini lebih lama lagi. Kami
akan tinggal tidak jauh dari sini, agar kami dapat berita dari Guru.”
Demikianlah mereka memberikan hormat kepadanya dan berangkat, akhirnya hanya
Guru dan muridnya Kappa yang tertinggal.
Ketika raja datang menemui
mereka, ia bertanya: “Ke manakan para petapa mulia pergi?” “Mereka mengatakan
bahwa mereka tidak puas dan tidak bahagia, maka mereka pergi ke pedalaman
Himalaya, Maha raja.” Tidak lama kemudian Kappa pun menjadi tidak puas.
Walaupun Guru membujuknya berkali-kali agar tidak meninggalkannya, namun ia
bersikeras bahwa ia tidak tahan lagi. Maka ia pergi mengikuti yang lain dan
tinggal di tempat yang tidak terlalu jauh, agar ia (dengan mudah) dapat berita
tentang Guru.
Guru sering memikirkan para
muridnya, dan setelah beberapa waktu kemudian ia mulai menderita sakit dalam.
Raja memerintahkan dokter untuk mengobatinya, namun kesehatannya tidak ada
perbaikan. Akhirnya petapa berkata kepada raja: “Maha raja, apakah anda ingin
saya sembuh?” “Bhante, jika mungkin, saya akan menyembuhkanmu pada saat ini
juga.” “Maha raja, jika raja ingin saya sembuh, maka antas saya menemui para
muridku.” “Baiklah, petapa,” jawab raja. Maka raja menidurkan petapa pada
sebuah usungan dan memerintahkan 4 menterinya yang dipimpi oleh Narada membawa
petapa kepada para muridnya, dengan berkata: “Perhatikan bagaimana kesehatan
petapa dan kabarkan padaku.”
Petapa Kappa mendapat berita
bahwa Guru datang, maka ia pergi menemuinya. “Ke mana yang lain?” tanya petapa
Kesava, “Mereka tinggal di tempat anu dan itu,” jawab Kappa. Ketika para petapa
yang lain mendengar bahwa Guru mereka telah tiba, mereka berkumpul, menyediakan
air hangat untuk guru dan memberikan kepadanya berbagai macam buah-buahan. Pada
saat itu juga petapa sembuh dari sakitnya; dan dalam beberapa hari saja
penempilan tubuhnya yang keemasan nampak. Narada bertanya kepada petapa:
“Setelah makan nasi dari padi
gunung yang murni, dimasak dengan kaldu daging, bagaimana mungkin anda menyukai
nasi dari pepadian kasar dan tanpa garam?”
“Apakah makanan itu enak atau
tidak, sedikit atau banyak, namun bilamana seseorang makan itu dengan penuh
kepercayaan, maka kepercayaan itu yang sangat menyenangkan.”
Ketika Guru seleasai
menguraikan ajarannya, beliau mengidentifikasikan pemeran-pemeran yang ada
dalam Jataja tersebut sebagai berikut: “Apada masa itu raja adalah Moggallana,
sedangkan Narada adalah Sariputta, petapa Kesava adalah saya sendiri, Kappa
adalah Ananda. Jadi Maha raja, di masa yang mapau pun para bijaksana mengalami
penderitaan kematian dan pergi ke tempat yang sesuai dengan kepercaan mereka.
Para muridku kurang kepercayaannya kepada anda, Saya tak ragu untuk hal ini.”
Demikianlah
cerita yang lampau.
Raja berpikir: “Saya harus
memenangkan kepercayaan dari bhikkhu sangha. Apa yang paling terbaik saya
lakukan? Cara terbaik bagiku adalah mengawini seorang kerabat dari Samma
Sambuddha. Dengan cara ini para samanera, bhikkhu baru akan tetap datang ke
istanaku dengan berpikir: ‘Raja adalah kerabat Samma Sambuddha.’” Selanjutnya
ia mengirim berita kepada para Sakiya, sengan kata-kata: “Berikan seorang anak
gadis anda.” Serta memerintahkan para dutanya untuk mengetahui nama orang tua
gadis itu dan melapor kepadanya. Para duta berangkat dan meminta seorang gadis
Sakiya.
Untuk itu, para Sakiya
mengadakan rapat dan mendiskusikan: “Raja adalah musuh kita. Bilamana kita
menolak memberikan apa yang ia minta, ia akan membunuh kita. Lagi pula ia tidak
sebanding dengan derajad keturunan kita. Apa yang harus kita lakukan?” Mahanama
berkata: “Saya memiliki seorang putri bernama Vasabhakhattiya, anak seorang
budak-perempuanku, ia seorang gadis yang amat cantik; kami akan memberikan dia
kepadanya.” Selanjutnya ia memberikatahukan kepada para duta: “Baiklah, kami
akan memberikan seorang gadis kami kepada raja.” “Putri siapa dia?” “Gadis itu
adlah putri Mahanama Sakiya, Mahanama adalah putra dari paman Samma Sambuddha.
Gadis itu bernama Vasabhakattiya.” Para duta pulang dan melaporkan kepada raja.
Raja berkata: “Jika demikian,
baiklah. Segera antar dia kepadaku. Namun para pangeran varna Ksatriya penuh
dengan tipu daya; mereka mungkin saja mengirimkan kepadaku seorang gadis anak
budak-wanita. Sehubungan dengan hal itu, jangan membawa dia sebelum ia makan
semeja bersama dengan ayahnya.” Setelah ia berkata seperti itu, ia mengirm
kembali para duta. Mereka menemui Mahanama dan berkata: “Raja, raja (kami)
menginginkan Vasabhakhattiya makan bersama anda.” “Baiklah, jawab Mahanama. Ia
menyuruh putrinya merias diri dan menemui dia pada waktu makan.
Selanjutnya ia berlagak makan
bersama Vasabhakattiya, sesudah itu menyerahkan dia kepada para duta. Para duta
mengantar Vasabhakhattiya ke Savatthi dan menceritakan kepada raja apa yang
telah terjadi. Raja sangat gembira dan segera menunjuknya sebagai kepala dari
500 wanita dan menyatakan dia sebagai permaisuri utamanya.
Tidak lama kemudian
Vasabhakhattiya melahirkan seorang putra, tubuhnya bagaikan emas. Raja sangat
senang dan segera memberi kabar kepada neneknya dengan kata-kata:
“Vasabhakhattiya, putri raja Sakiya, telah melahirkan seorang putra. Berikan
nama untuknya.” Ketika itu, menteri yang menerima dan akan menyampaikan berita
kepada nenek raja adalah seorang yang agak tuli. Akibatnya, ketika nenek
mendengar berita, dengan nyaring ia berkata: “Sebelum melahirkan anak,
Vasabhakhattiya telah disenangi semua orang; apalagi sekarang, ia sangat luar
biasa disayang (vallabha) oleh
raja.” Menteri yang agak tuli, salah mendengar kata valabha (sayang) menjadi Vidudabha, lalu pergi dan melapor kepada
raja: “Namakan Vidudabha kepada pangeran.” Raja mengira bahwa itu pasti salah
sebuah nama lama dari keluarga kami, dan memberikan nama Vidudabha kepada bayi.
Walaupun ketika ia masih kanak-kanak, raja mengangkat Vidudabha sebagai
panglima perang tentaranya, dengan pikiran bahwa hal ini akan menyenangkan
Guru.
Vidudabha dibesarkan sebagai
pangeran. Ketika ia berusia 7 tahun, ia memper-hatikan bahwa para pangeran lain
menerima hadiah boneka-boneka gajah, kuda, dan bentuk-bentuk lain dari para
kakek mereka, maka ia bertanya kepada ibunya: “Ibu, para pangeran lain menerima
hadiah dari kakek pihak ibu, tetapi tidak ada seorang pun yang mengirimkannya
kepada saya. Apakah ibu tidak memiliki ayah dan ibu?” Ibunya menjawab: “Anakku
sayang, kakekmu adalah para raja Sakiya, mereka tinggal jauh sekali; itulah
sebabnya mereka tidak perbah mengirimkan sesuatu kepadamu.” Begitulah caranya
ia membohongi ananknya. Begitu pula, ketika ia terlah berusia 16 tahun,
Vidudabha berkata kepada ibunya: “Ibu, saya ingin sekali untuk pergi menemui
keluarga ibu, yaitu kakek dari pihak ibu.” Namun Vasabhakhattiya menolak dengan
berkata: “Tidak, anakku sayang, apa yang kau akan lakukan di sana?” Bagaimana
pun ia menolak. Berulang kali anaknya memohon. Akhirnya ibunya memberikan izin
dengan berkata: “Baiklah, engkau dapat pergi.” Ia memberitahukan kepada ayahnya
dan berangkat dengan pengikut yang besar. Vasabhakhattiya mengirimkan surat
lebih dahulu, dengan berita: “Saya hidup bahagia di sini. Mohon para raja dalam
penerimaan tidak memperlakukan saya berbeda.” Ketika para Sakiya mengetahui
bahwa Vidudabha sedang dalam perjalanan mendatangi mereka, mereka membicarakan
hal ini:”Tidak mungkin bagi kita memberikan hormat kepadanya.” Karena itu
mereka menyuruh para pangeran muda ke pedalaman, dan ketika Vidudabha tiba di
kota Kapila, mereka berkumpul di gedung peristirahtan kerajaan. Vidudabha tiba
berhenti di gedung peristirahatan kerajaan. Mereka berkata kepadanya: “Kawan,
ini adalah kakek dari pihak ibumu dan ini pamanmu.” Sementara ia berjalan
sambil memberikan hormat kepada mereka semua, ia perhatikan bahwa tidak ada
seorang pun yang memberikan hormat kepadanya. Maka ia bertanya: “Mengapa tidak
ada seorang pun yang memberikan hormat kepada saya?” Para Sakiya menjawab:
“Kawan, para pangeran muda sedang pergi ke pedalaman.” Lalu melayani Vidudabha
dengan segala hormat. Setelah berada di sana beberapa hari, ia pulang bersama
para pengikutnya yang besar.
Sementara itu, seorang
budak-wanita sedang mencuci tempat duduk yang bekas diduduki Vidudabha di
gedung peristirahatan kerajaan dengan air dan susu; sedang melakukan pekerjaan
itu pembantu ini dengan jelas berkata: “Inilah tempat duduk yang diduduki oleh putra
seorang budak-wanita, Vasabhakhattiya!” Ketika itu ada seseorang yang telah
melupakan pedangnya kembali untuk mengambilnya, selagi ia mengambil pedang itu,
ia mendengar kata-kata pembantu wanita itu tentang pangeran Vidudabha. Ia
menanyakan hal itu, dan mendapat informasi bahwa Vasabhakhattiya adalah putri
dari budak-wanita dari Mahanama Sakiya. Ia kembali dan memberitahukan hal ini
kepada pasukan dengan berkata: “Saya diberitahu bahwa Vasabhakhattiya adalah
putri dari budak-wanita.” Segera hal ini menjadi pembicaraan umum. Ketika
Vidudabha mengetahui hal ini, ia bersumpah: “Sekarang para Sakiya ini mencuci
bebas tempat duduk saya dengan air dan susu; bilamana saya berkuasa di
kerajaanku, saya akan mencuci tempat duduk dengan darah leher mereka.”
Setelah pangeran tiba di
Savatthi, para menteri menceritakan apa yang telah terjadi. Raja sangat marah
kepada Sakiya karena mereka memberikan
kepadanya putri dari seorang
budak-wanita, ia mencabut kehormatan kerajaan yang telah diberikan kepada
Vasabhakhattiya dan putranya dan menurunkan kedudukan mereka sebagai budak.
Beberapa hari kemudian guru
pergi ke istana dan duduk. Raja datang, memberi hormat kepada beliau dan
berkata: “Bhante, Saya mendapat informasi bahwa putri seorang budak-wanita yang
diberikan kerabat bhante kepada saya. Itulah sebabnya maka saya mencabut kehormatan
kerajaan yang telah diberikan kepada dia dan putrnya dan menurunkan kedudukan
mereka menjadi budak.” Guru menjawab: “Maha raja, adalah tidak pantas para
Sakiya melakukan itu. Bilamana mereka memberikan seorang putri, mereka harus
memberikan kepadamu seorang gadis yang sepadan garis keturunannya dengan anda
sendiri. Maha raja, tetapi ada sesuatu yang perlu saya katakan kepada anda:
‘Vasabhakhattiya adalah putri seorang raja dan menerima upacara kehormatan di
istana raja varna Kesatriya, Vidudabha juga putra seorang raja. Apa pentingnya
keluarga dari ibu? Keluarga dari ayahlah yang berhak sebagai ukuran kedudukan
sosial. Para bijaksana yang lampaupun memberikan kehormatan permaisuri utama kepada
wanita miskin pencari kayu; dan kepada pangeran yang dilahirkannya menjadi raja
Baranasi, sebuah kota yang luasnya 12 yojana, yang diberi nama Katthavahana.”
Setelah berkata begitu, Beliau menguraikan Katthaharika Jataka (Jataka 7: i.
133-136). Raja mendengar babaran Dhamma Beliau, dan merasa senang dengan
pikiran: “Kelurga dari pihak ayahlah yang berhak sebagai ukuran kedudukan
sosial,” maka ia mengembalikan kedudukan dan kehormatan ibu dan anak.
Sementara itu, Mallika, putri
Mallika dan Bandhula, panglima perang, telah lama tidak memiliki anak.
Sehubungan dengan hal itu, Bandhula menyuruhnya pergi dengan berkata:
“Pulanglah kepada keluargamu.” Mallika berpikir: “Saya akan menemui Guru
sebelum saya pergi.” Selanjutnya ia pergi ke Jetavana, memberikan hormat kepada
Tathagata, dan menunggu. “Mau ke mana?” tanya Guru. “Suamiku telah memulangkan
saya kepada keluargaku, Bhante.” “Mengapa.” “karena saya mandul, tidak
mempunyai anak seorang pun.” “Jikalau ini benar, maka tidak ada alasan bagimu
untuk kembali kepada keluargamu. Kembali kepada suamimu.” Dengan riang gembira,
ia memberikan hormat kepada Guru dan kembali kepada suaminya. “Mengapa kau
kembali,” tanya suaminya. “Saya telah diperintahkan untuk kembali oleh dia yang
memiliki Dasabala (Sepuluh kemampuan batin),” jawab Mallika. “Dia Yang
Melihay-Jauh pasti telah melihat beberapa alasan,” pikir Bandhula dan
menyetujui.
Tidak lama kemudian Mallika
hamil, dan mengidam muncul. Ia berkata kepada suaminya: “Mengidam telah
muncul.” “Apa yang kau inginkan?” Ia menjawab: “Suamiku, di kota Vesali ada
sebuah tangki kolam-teratai (buatan) yang biasa digunakan oleh tentara para
pangeran pada upacara pelantikkan raja. Saya ingin masuk ke dalamnya, berenang
di dalam nya, dan meminum airnya.” “Baiklah,” kata Bandhula, dan mengambil
busur panahnya yang hanya dapat ditarik oleh 1000 orang, ia membantu istrinya
menaiki kereta dan berangkat dari Savatthi ke Vesali, memasuki Vesali melalui
gerbang yang telah diberikan oleh para Licchavi kepada Pangeran Mahali.
Sementara itu pangeran Licchavi, Mahali, tinggal di gedung di samping gerbang;
maka ketika ia mendengar gemuruh suara kereta di dekatnya, ia berkata sendiri:
“Itu suara kereta Bandhula. Ada kerusuhan yang akan muncul bagi para pangeran
Licchavi hari ini.”
Bagian dalam dan luar dari
kolam-teratai dijaga dengan ketat, dan kolam itu ditutupi dengan kerangka besi
dengan lobang-longan yang sangat kecil sehingga burung pun tidak dapat
memasukinya. Namun bandhula, panglima perang, turun dari kereta, memukulkan
tombaknya kepada para penjaga, dan mengusir mereka pergi. Ia merusak kerangka
besi, masuk ke dalam kolam-teratai, dan membiarkan istrinya mandi di dalamnya.
Setelah ia sendiri mandi di situ, ia keluar dari kota dan kembali ke jalan yang
sama yang telah dilaluinya.
Para penjaga melaporkan
kejadian ini kepada para pangeran Licchavi. Akibatnya para pangeran Licchavi
sangat marah, lalu menaiki 500 kereta, berangkat ke luar kota, dengan berkata:
Kami akan menangkap Bandhula dan mallika.” Mahali berkata kepada mereka:
“Jangan pergi, karena dia akan membunuh kamu sekalian.” Tetapi mereka menjawab:
“Kami tetap akan pergi.” “Baiklah, tetapi baliklah bilamana anda sekalian
melihat keretanya masuk ke dalam tanah hingga setinggi pinggang. Bilamana pada
waktu anda sekalian tidak balik, anda sekalian akan mendengar di depan anda
gelegar halilintar.
Anda sekalian pada waktu itu
harus segerak balik. Namun bilamana pada saat itu anda belum berbalik arah, anda
sekalian akan melihat lobang di bagain depan dari kereta. Berbaliklah, dan
jangan maju lagi.” Tetapi bagaimana pun usaha Mahali untuk memperingati mereka,
mereka tidak berbalik arah, malahan tetap mengejar Bandhula.
Mallika melihat mereka dan
berkata: “Suamiku nampak banyak kereta.” “Baik! Bilamana mereka semua nampaknya
hanya bagaikan sebuah kereta saja, katakan padaku.” Demikianlah ketika mereka
semua nampak seperti sebuah kereta saja, Mallika berkata: “Mereka nampaknya
bagikan kereta yang di depan saja.” “Bagus sekali,” kata Bandhula, “pegang tali
kekang ini.” Ia memberikan tali kekang kepada Mallika, ia berdiri di kereta dan
mengangkat busurnya. Akibatnya kereta masuk ke dalam tanah setinggi pinggang.
Walaupun para pangeran Licchavi melihat kereta Bandhula masuk ke dalam tanah,
namun mereka tidak berbalik arah. Setelah beberapa saat kemudian, Bandhula
menarik tali busurnya, muncul suara bagaikan gelegar halilintar. Namun demikian
para musuhnya tidak berbalik arah, mereka tetap mengejarnya seperti semula.
Kemudian Bandhula yang berdiri di atas keretanya, melepaskan sebatang anak
panah. Anak panah membuat lobang di depan dan menembus badan semua 500 kereta
serta di bagian ‘baju perang ketat’ (korset) mereka dan masuk ke
tanah. Tetapi para pangeran Licchavi tidak menyadari bahwa mereka telah
ditembusi anak panah, dan berteriak: “Berhenti di mana kamu. Berhenti di mana
kamu!” Setelah berkata begitu mereka meneruskan pengejaran. Bandhula
menghentikan keretanya dan berkata: “Kamu semua adalah mayat! Saya tidak akan
berkelahi melawan mayat.” “Apakah kami nampak seperti mayat?” tanya mereka.
“Baiklah,” jawab Bandhula, “lepaskan baju perang ketat dari orang kamu yang
terdepan.” Mereka melepaskan gidlenya. Pada saat baju perang ketat dilepaskan
orang itu jatuh dan mati. Kemudian Bandhula berkata: “Anda sekalian mempunyai
nasib yang sama dengan pemimpinmu. Pulanglah, selesaikan urusan anda sekalian
yang perlu diselesaikan, berikan nasehat terakhir kepada para putra dan istri
anda sekalian dan lepaskan baju perang anda.” Mereka melakukannya, selanjutnya
mereka semua jatuh dan mati. Kemudian bandhula meneruskan perjalanan ke
Savatthi.
Enambelas kali Mallika
melahirkan putra-putra kembar Bandhula, mereka semua perkasa, dan memiliki kekuatan
yang hebat. Mereka semua sempurna dalam beberapa keahlian. Mereka masing-masing
memiliki pengikut sebanya 1000 orang; dan ketika mereka mengikuti ayah mereka
ke istana, istana dipenuhi oleh kelompok mereka. Pada suatu hari ada beberapa
orang yang telah dikalahkan karena tuntutan salah dipengadilan melihat Bandhula
mendatangi, dengan suara yang lantang mereka meneriakkan protes kepadanya
karena pengadilan yang tidak adil dari para hakim. Karena hal itu Bandhula
pergi ke pemngadilan dan menyelesaikan kasus secara bijaksana sesuai kebenaran
bagi yang benar. Para penduduk memuji dia dengan teriakan nyaring karena
setuju. Raja bertanya: “Apa yang telah terjadi?” Ketika raja mendapat
keterangan, ia sangat senang, lalu raja memecat semua hakim, selanjutnya
menyerahkan administrai pengadilan kepada bandhula sendiri, dan dialah yang
menghakimi semua perkara di pengadilan.
Para hakim yang kehilangan
kesempatan menerima sogokkan, membuat perpecahan di antara anggota keluarga
istana, dengan berkata: “Bandhula menginginkan tahta kerajaan.” Raja percaya
pada kata-kata mereka dan tak sanggup mengendalikan perasaannya. “Namun,”
pikirnya, “bilana Bandhula di bunuh disini, saya akan sangat dikritik.” Dalam
pikiran yang lain ia memerintahkan beberapa orang untuk membuat kerusuhan di
perbatasan negara. Kemudian raja memanggil dan memerintahkan Bandhula
Dengan berkata: “Saya mendapat
informasi bahwa di perbatasan ada pemberontakan. Bawa para putramu, pergi dan
tangka para pemberontak.” Raja mengirimkan bersama Bandhula sejumlah
kesatryanya yang sangat kuat, dengan perintah: “Pancung kepala bandhula dan 32
putranya dan bawa (kepala-kepala) mereka kedaku.” Ketika bandhula mencapai
perbatas, dan para pemberontak yang disewa mendengar kedatangan panglima
perang, mereka lari. Bandhula menyelesaikan keamanan kerajaan dengan baik,
menciptakan kedamain, dan berangkat pulang. Ketika Bandhula mencapai tempat
yang tidak jauh dari kota, para kesatrya yang bersamanya menyerang dia dan
memancung kepala-kepala bandhula dan anak-anaknya.
Pada hari itu Mallika
mengundang mengundang dua Siswa Utama bersama 500 bhikkhu ke rumahnya. Pada
pagi itu seseorang membawa surat dan memberikan surat itu kepadanya yang berisi
berita: “Kepala suami dan para putra anda telah di penggal.” Ketika ia membaca
surat ini, ia tidak berkata sesuatu kepada siapa pun, namun memasukkan surat
itu ke dalam lipatan pakaiannya dan meneruskan pelayanan kepada bhikkhu sangha
seolah-olah tidak ada sesuatu yang terjadi. Sementara itu, terjadi suatu
kejadian yakni ketikan pelayannya memberikan makanan kepada para bhikkhu,
mereka membawa sebuah tempayan berisi ‘susu yang diragikan’ (ghee) dan tempayan
itu jatuh dan pecah di depan para Thera. Pelindung Keyakinan (bhikkhu)
berkata: “Tidak perlu diperdulikan kepecahan sesuatu yang mudah pecah.” Karena
itu Mallika mengambil surat yang ada dalam lipatan pakaiannya, dan berkata:
“Mereka baru saja menyampaikan surat ini, yang berisikan berita: ‘Kepala suami
dan para putra anda telah dipenggal.’ Walaupun saya mendapat berita ini, saya
tidak bereaksi apa-apa. Maka bagaimana saya akan memperdulikan pecahnya
tempayan ini, Bhante?”
Para Pelindung Keyakinan
mengucapkan syair (paritta) yang dimulai dengan kata: “Tanpa tanda, tanpa tahu,
kematian terjadi di sini,” dan setelah membabarkan dhamma, mereka bangkit dari
duduk dan pergi ke vihara. Mallika memanggi 32 menantunya dan menasehati mereka
sebagai berikut: “Para suami anda sekalian tidak bersalah dan mereka hanya
menerima matangnya buah kamma buruk mereka yang dibuat pada masa yang lampau.
Tidak usah bersedih dan meratap. Jangan benci kepadanya.” Mata-mata kerajaan
mendengar ucapannya dan pergi melaporkan hal ini kepada raja bahwa mereka tidak
membenci raja. Setelah mendengar laporan ini raja diliputi oleh perasaan yang
tidak menyenangkan, lalu ia pergi ke rumah Mallika, meminta Mallika bersama
para menantunya untuk memaafkannya serta memberikan sebuah “anugerah” (boon)
kepada Mallika. “Saya menerimanya,” jawan Mallika.
Setelah raja pergi, ia
melaksanakan upacara berduka cita, ia mandi dan pergi menghadap raja, dan
berkata: “Maha raja, anda memberikan kepadaku sebuah ‘anugrah’. Saya tidak
menginginkan yang lain kecuali hal ini, yakni izinkan saya bersama 32 menantuku
untuk kembali ke rumah keluarga kami.” Raja menyetujui, maka Mallika
memulangkan 32 menantunya ke keluarga mereka masing-masing, sedangkan ia
sendiri pergi ke kota Kusinara, kembali ke rumah keluarganya. Raja mengangkat
panglima perang baru yaitu Dighakarayana, kemenakan dari panglima perang
Bandhula. Namun Dighakarayana mengeritik raja dengan menyebarkan berita:
“Rajalah yang membunun pamanku.”
Sejak pada hari raja membunuh
Bandhula yang tak bersalah, ia diliputi kesedihan, pikirannya tidak tenang, dan
tidak bersemangat memerintah kerajaan. Ketika itu Guru tinggal di sebuah desa
kecil bernama Ulumpa, milik suku Sakiya. Raja pergi ke sana, dan berkemah di
tempat yang tidak jauh dari Taman, tempat Guru berada, dan raja berpikir: “Saya
akan pergi memberikan hormat kepada Guru,” lalu ia pergi ke vihara, bersama
beberapa pengawal. Ia menyerahkan 5 simbol (kekuasaan) kerajaan kepada
Dighakarayana, lalu memasuki Gandha Kuti. (Cerita ini sesuai dengan uraian
dalam Dhammacetiya Sutta, M.N. 89: ii. 118-125).
Setelah Raja Pasenadi masuk ke
Gandha Kuti, Karayana mengambil 5 simbol (kekuasaan) kerajaan dan membuat
Vidudabha menjadi raja. Kemudian ia pergi ke Savatthi dengan hanya meninggalkan
seorang pelayan wanita bersama seekor kuda untuk Pasenadi. Raja senang
bercakap-cakap dengan Guru, setelah itu ia keluar. Ia tidak melihat para
pengawal, ia bertanya kepada pelayan, dan dari pelayan itu ia mengetahui apa
yang telah terjadi. “Saya akan mengajak kemenakan saya dan menangkap
Vidudabha,” kata raja, lalu pergi ke kota Rajagaha. Ketika ia tiba di kota
waktu telah larut malam, germabang kota telah di tutup. Kerana kelelahan dan
tertimpa matahari dan angin, maka Pasenadi beristirahat dengan berbaring di sebuah
rumah peristirahatan, namun ia meninggal pada malam itu. Ketika malam berangsur
menjadi pagi, Orang-orang mendengar suara wanita yang menangis dengan berkata:
“Raja Kosala, anda telah kehilangan Pelindungmu!” Mereka melaporkan hal ini
kepada raja. Untuk itu Vidudabha melakukan upacara kematian untuk Pasenadi
dengan penuh kebesaran.
Setelah Vidudabha menjadi raja,
ia ingat dendamnya. Ia mendumel sendiri: “Saya akan membunuh para Sakiya,” maka
ia berangkat dengan pasukan yang bersar jumlahnya. Pada hari itu Guru sedang
memeriksa dunia di sore hari, beliau melihat ada malapetaka kehancuran para
para kerabatnya, dan berpikir: “Saya akan melindungi kerabatku.” Beliau pergi
pindapata di pagi hari, setalah kembali beliau berbaring dengan posisi seperti
singha di Gandha Kuti; dan di sore hari beliau terbang ke angkasa dan duduk di
bawah sebuah pohon beringin (Banyan) rindang tidak jauh dari Kapilavatthu yang
juga tidak jauh dari perbatasan kerajaan Vidudabha.
Vidudabha
melihat Guru, mendatanginya, memberikan hormat, dan berkata: “Bhante, mengapa
pada waktu yang sangat panas ini Bhante duduk di bawah pohon yang rindang ini?”
“Maha raja, tidak perlu di perdulikan hal ini. Kerindangan keluargaku membuat
saya ingin.” “Guru datang, tentu dengan tujuan untuk melindungi keluarganya,”
pikir Vidudabha. Setelah ia memberikan hormat kepada Guru, ia pergi dan pulang
ke Savatthi. Guru melayang ke angkasa dan kembali ke Jetavana.
Raja mengingat kembali
kebenciannya kepada suku Sakiya, maka ia pergi untuk kedua kalinya, namun
karena melihat Guru berada di tempat yang sama, ia pulang. Begitu pula untuk
ketiga lainya, ia melihat guru berada pula di tempat yang sama, maka ia
berbalik pulang. Namun ketika ia pergi keempat kali, Guru melihat
perbuatan-perbuatan lapau para Sakiya dan menyadari bahwa tidak mungkin untuk
menghalangi akibat perbuatan jahat yang telah mereka lakukan dengan memasukkan
racun ke dalam sungai, maka beliau tidak pergi untuk keempat kali.
Sehingga Vidudabha dengan
kekuatan yang besar pergi dengan berkata: “Saya akan membunuh para Sakiya.”
Pada waktu itu para kerabat Samma Sambuddha tidak membunuh musuh, malahan
mereka rela mati dari pada membunuh orang lain. Maka mereka saling berkata:
“Kita terlatih dan ahli; kita ahli dalam memanah dan terbiasa menggunakan busur
panjang. Karena salah bila kita membunuh orang lain, kita akan mengusir mereka
dengan cara mempertunjukkan keahlian kita.” Selanjutnya mereka mengenakan baju
perang mereka, maju ke medang perang dan mulai berperang. Panah-panah yang
mereka lepaskan melayang melalui pasukan Vidudabha, melewati antara
tameng-tameng mereka dan melalui antara bkuping dan kepala mereka, namun tidak
mengenai seorang pun. Ketika Vidudabha melihat panah beterbangan, ia berkata:
“Saya mengerti bahwa karena kesombongan para Sakiya mereka mengatakan bahwa
mereka tidak membunuh musuh mereka; tetapi nyatanya sekarang mereka membunuh
pasukanku.” Salah seorang anggota pasukannya berkata: Tuan, mengapa anda
berbalik dan lihatlah keadaan anda?” “Para Sakiya membunuh orang-orang kita.”
“Tidak ada seorang pun dari pasukan anda yang mati; mohon silahkan hitung.” Ia
menyuruh hitung dan mengetahui bahwa tidak ada seorang pun yang hilang.
Vidudabha membalikkan badannya
dan ia berkata kepada pasukannya: “Saya perintahkan kepada anda sekalian untuk
membunuh siapa saja yang mengatakan: ‘Kami adalah Sakiya, tetapi selamatkan
mereka adalah keluarga Mahanama Sakiya.” Para Sakiya tetap berdiri di tempat
mereka dan karena tidak ada lagi sumber lain, maka ada yang memegang daun yang
di letakkan diantara giri, sedang yang lain memegang alang-alang (reeds). Pada
waktu itu bagi para Sakiya lebih baik mati dari pada mengatakan hal yang tidak
benar. Maka ketika mereka di tanya: “Apakah anda Sakiya atau tidak?” Mereka
yang memegang daun di antara gigi mereka berkata: “Bukan Saka (peruk tanah) tetapi “rumput’; sedangkan mereka yang memegang
alang-alang, berkata: “Bukan saka, tetapi alang-alang.” Kehidupan keluarga
Mahanama dapat diselamatkan. Para Sakiya yang memegang rumput di gigi mereka
dikenal sebagai Sakiya rumput; sedangkan mereka yang memegang alang-alang
dikenal sebagi Sakiya Alang-Alang. Vidudabha membunuh semuanya, tanpa kecuali
termasuk anak-anak yang masih menyusu sekalipun. Setelah ia menciptakan sungai
darah, ia mencuci tempat duduknya dengan darah dari leher mereka. Demikianlah
keturunan Sakiya dilenyapkan oleh Vidudabha.
Vidudabha menangkan Mahanama
Sakiya dan berangkat pulang. Ketika sudah waktunya untuk sarapan, Vidudabha
berhenti di suatu tempat dan berpikir: “Sekarang saya akan sarapan.” Setelah
makanan disiapkan untuknya, ia berkata sendiri: “Saya akan makan bersama
kakekku,” dan menyuruh seseorang utuk memanggilnya datang. Pada masa itu
anggota dari varna Ksatriya lebih baik mati daripada makan bersama anak-anak
dari budak perempuan. Begitulah ketika melihat sebuah danau, ia berkata:
“Cucuku sayang, anggota tubuhku kotor, saya mau pergi mandi dulu.” “Baiklah
Kakek, pergi dan mandilah.” Mahanama berpikir: “Bilamana saya menolak makan
bersamanya, ia akan membunuh saya. Bila demikian, lebih baik saya mati dengan
tanganku sendiri.” Setelah melepaskan ikatan rambutanya, ia mengikatkan ujung
rambutnya, menempatkan ibu-jarinya pada rambut, dan menyeburkan diri ke air.
Karena kekuatan jasa pahalanya,
tempat tinggal para (dewa) Naga menjadi panas. Raja naga , mempertimbangkan hal
ini: “Apa artinya hal ini?” pergi menemui Mahanama, mendudukkan dia diatas
kepalanya, dan membawanya ke tempat tinggal para Naga. Di sana ia tinggal
selama 12 tahun. Sedangkan, ketika Mahanama menyeburkan diri ke air, Vidudabha
duduk dan berpikir: Sudah saat nya kakek saya akan datang; sekarang kakakek
saya akan datang.” Akhirnya setelah kakeknya telah lama ditunggu dan tidak
muncul, ia berpikir dan menyuruh orang untuk mencari kakakeknya dengan
menggunakan lampu, termasuk memeriksa di dalam pakaian para pasukannya. Namun
karena tidak menemukan kakeknya di mana pun, ia berpendapat: “Ia telah pergi,”
selanjutnya ia berangkat.
Dalam perjalanannya ia
kemalaman, Vidudabha sampai di sungai Aciravati dan berkemah di situ. Di antara
pasukannya ada yang berbaring di atas pasir dari dari sungai yang kering, ada
yang berbaring di tepi sungai pada tanah yang keras. Sementara itu mereka yang
berbaring pada sungai yang kering tidak melakukan perbuatan yang salah pada
banyak kehidupan yang lampau, sedangkan mereka yang berbaring pada tanah keras
di tepi sungai telah berbuat perbuatan salah pada banyak kehidupan yang lampau.
Terjadi kejadian, banyak semut keluar dari tanah di mana mereka berbaring. Maka
mereka bangun dan berkata: “Banyak semut di tempat kami berbaring! Banyak semut
di tempat kami berbaring!” Mereka yang tidak melakukan banyak perbuatan jahat
pada waktu kehidupan yang lampau bangun dari tempat mereka di sungai yang
kering dan berbaring di tanah keras di tepi sungai; sedangkan mereka yang telah
melakukan banyak perbuatan salah pada kehidupan yang lampau, turun dan
berbaring di sungai yang kering. Pada beberapa saat kemudian badai sangat hebat
muncul dan terjadi hujan yang sangat lebat. Banjir memenuhi sungai dan
menghanutkan Vidudabha dan pasukannya ke laut, dan mereka semua menjadi makanan
ikan dan kura-kura.
Masyarakat (di antaranya para
bhikkhu juga) membicarakan hal ini; Pembunuhan para Sakiya adalah tidak pantas.
Tidak benar mengatakan: Para Sakiya harus dibunuh,’ pancung dan bunuh mereka.”
Guru mendengar pembicaraan mereka dan berkata: “Para bhikkhu, bilamana anda
sekalian hanya memperhatikan kehidupan sekarang saja , maka hal itu sangat
tidak pantas bahwa para Sakiya mati dengan cara begitu. Bagaimana pun apa yang
mereka terima adalah adil, karena mempertimbangkan perbuatan buruk yang telah
mereka lakukan pada sebuah kehidupan yang lampau.” “Apakah perbuatan buruk yang
telah mereka lakukan pada kehidupan yang lampau, Bhante?” “Pada kehidupan yang
lampau mereka berkonspirasi bersama dan melemparkan racun ke dalam sungai.”
Juga pada suatu hari, para
bhikkhu melakukan diskusi di Dhammasala: “Vidudabha membunuh semua Sakiya, dan
kemudian sebelum keinginan terpenuhi, dia dengan pasukannya hanyut ke laut dan
menjadi makanan ikan dan kura-kura.” Guru datang dan bertanya: “Para bhikkhu,
apa yang anda sekalian percakapkan dengan berkumpul di sini?” Ketika
menceritakan kepadanya, beliau kerkata: “Para bhikkhu, apakah keinginan para
makhluk hidup ini terpenuhi, bagaikan banjir besar menyapu desa yang lelap,
begitu pula Raja Kematian mempersingkat hidup mereka dan menyempung mereka ke
empat lautan penderitaan,” Setelah mengatakan hal itu, beliau mengucapkan syair
berikut ini:
“Walaupun
seseorang sedang mengumpul bunga-bungaan, dengan batinnya diliputi napsu
indria, kematian menyeretnya bagaikan banjir besar menghanyutkan sebuah desa
yang tertidur.”