Jumat, 15 Agustus 2025

Cahaya di Atas Gunung Yamatitam

 

Karya : Triyo Wibowo, S.Pd.B

NIP           : 199306302022031003

Penyuluh agama Buddha Kanwil Kemenag Provinsi Maluku

Cahaya di Atas Gunung Yamatitam

​Di puncak-puncak gunung Pulau Seram Maluku yang diselimuti kabut, hiduplah Suku Alifuru, sebuah suku pedalaman yang tangguh simbol keberanian dan keteguhan. Sepajang Hidup mereka pindah dari satu tempat ketempat lain, walau Indonesia  sudah merdeka mereka tetap hidup nomaden, menggantungkan hidup dengan cara berburu dan kearifan alam. Salah satu kearifan itu adalah filosofi Nunu Sagu, ajaran yang diturunkan dari leluhur, yang menekankan pentingnya harmoni dengan alam dan mencari bimbingan dari sosok suci. Mengajarkan bagaimana hidup menghargai alam, menghargai orang tua dan keluarga, serta menghargai Guru para dewa dan manusia.

​Kisah ini tentang sosok penyelamat itu telah menjadi legenda di kalangan mereka. Seorang yang berkepala botak, mengenakan jubah berwarna tanah, dan memiliki ajaran dari Buddha. Buddha yang mereka ibaratkan sebagai seorang ibu yang akan melindungi, mendidik, dan membawa mereka ke kehidupan yang lebih baik.

​Di antara mereka, hiduplah Metam, putra dari Raja Sabeo, pemimpin Suku Alifuru di Gunung Yamatitam. Sejak kecil, Metam telah memendam penasaran yang besar akan sosok legendaris dalam cerita para nenek moyang mereka yang turunkan terus menerus. Rasa penasaran itu mendorongnya untuk berkelana di hutan belantara, berburu sekaligus mencari petunjuk tentang sosok dalam cerita.

​Suatu hari, di kedalaman hutan, ia bertemu dengan seorang asing yang dikenal dengan sebutan Pak Aseng, seorang pembalak hutan. Meski canggung dan ragu, Metam memberanikan diri mendekat. Namun, mereka tidak bisa berkomunikasi. Bahasa mereka berbeda, dinding budaya yang tak kasat mata memisahkan mereka.

​Janji dan Panggilan Para Raja

​Pak Aseng, dengan bahasa isyarat, mengajak Metam untuk turun ke kaki gunung. Ia ingin mempertemukan Metam dengan seseorang yang bisa menjadi "jembatan bahasa" bagi mereka. Metam setuju. Di desa di bawah gunung, seorang penerjemah membantu mereka berkomunikasi. Metam menceritakan legenda Nunu Sagu dan sosok penyelamat yang dicari sukunya.

​Pak Aseng terkejut. Ia merasa cerita ini memiliki kemiripan dengan ajaran Buddha. Dengan mata berbinar, ia menawarkan untuk mempertemukan Metam dengan seorang Bhante atau Bhikkhu. Janji itu dibuat. Metam segera kembali ke gunung untuk menyampaikan kabar penting ini kepada sang ayah, Raja Sabeo.

​Di puncak Gunung Yamatitam, kabar dari Metam memicu kegemparan. Raja Sabeo yang bijaksana, segera mengutus utusan untuk menghubungi raja-raja dari gunung lain: Gunung Von, Gunung Maikim, Gunung Payung, dan Gunung Komu-komu. Para raja berkumpul, mengadakan rapat besar.

​Akhirnya, keputusan dibuat. Metam dan Yopi, putra dari Raja Yamatitam dan Raja Von, ditunjuk untuk menjadi perwakilan suku. Mereka akan turun gunung, mewakili harapan seluruh Suku Alifuru, untuk bertemu dengan sosok yang selama ini dicari.

​Pertemuan dengan Sang Guru

​Di sisi lain, Pak Aseng bergerak cepat. Ia menghubungi Pak Taryono, seorang pandita Buddha yang mengabdikan diri sebagai guru agama di Desa terpencil yang bernama Kopi Sonta. Pak Taryono dulunya adalah seorang samanera, sehingga ia sangat memahami jalan dharma.

​Ketika Pak Aseng menceritakan tentang Metam, filosofi Nunu Sagu, dan pencarian Suku Alifuru akan sosok Bhikkhu, Pak Taryono dan keluarganya tersentuh. Mereka setuju untuk menampung Metam dan Yopi, serta menjadi jembatan antara mereka dengan Sangha Theravada Indonesia.

​Pertemuan antara Metam, Yopi, dan Pak Taryono terasa penuh kehangatan. Mereka berdiskusi panjang, berbagi cerita dan harapan. Keluarga Pak Taryono menerima kedua pemuda itu seperti anak sendiri, sebelum akhirnya mereka memulai perjalanan panjang.

​Mereka menuju ke Kota Ambon. Namun, perjalanan ini tidak mudah. Metam dan Yopi tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP). Tanpa KTP, mereka tidak bisa membeli tiket pesawat atau kapal. Masalah ini menjadi rintangan besar. Umat Buddha di Ambon bergerak cepat, menghubungi banyak pihak. Akhirnya, bantuan datang dari TNI. Mereka diberikan surat jalan khusus, yang memungkinkan Metam dan Yopi untuk membeli tiket kapal dan melanjutkan perjalanan ke Pulau Jawa.

Pengembaraan di Pulau Jawa dan Bali

​Di Pulau Jawa, dunia baru terbentang di hadapan Metam dan Yopi. Mereka bertemu dengan para Bhante dan umat Buddha. Kunjungan ke candi-candi bersejarah di Jawa, seperti Candi Mendut, Candi Pawon, dan juga candi termegah umat Buddha yaitu Candi Borobudur menjadi pengalaman spiritual yang mendalam. Mereka mulai belajar tentang ajaran Buddha yang selama ini hanya menjadi legenda.

​Sebagian waktu mereka dihabiskan di kediaman Ibu Kesi, seorang umat Buddha yang ramah dan penuh kasih. Dirumah ibu Kesi di Desa Telogo Wungu Kecamatan Kaloran Kabupaten Temanggung, Ibu Kesi dan keluarganya menganggap Metam dan Yopi sebagai anak sendiri. Mereka mengajarkan banyak hal seperti Bahasa Indonesia, membaca, berhitung, berkebun, dan cara hidup seperti masyarakat pada umumnya.

​Beberapa bulan kemudian, perjalanan mereka berlanjut ke Batu Malang. Di sana, mereka bertemu dengan Bhikkhu Siri Ratano Mahathera, sosok yang kharismatik dan bijaksana. Melalui bimbingan beliau, Metam dan Yopi semakin yakin bahwa Bhante adalah sosok penyelamat yang mereka cari. Ajaran-ajaran yang disampaikan Bhante Siri Ratano Mahathera seolah menjawab semua pertanyaan yang selama ini ada di benak mereka.

​Setelah dari Malang, mereka melanjutkan perjalanan ke Pulau Bali. Di sana, mereka tidak hanya belajar tentang spiritualitas, tetapi juga keahlian praktis seperti menempa parang dan bertani. Ini adalah bekal berharga yang akan mereka bawa pulang untuk suku mereka.

Pulang dengan Cahaya Baru

​Setelah serangkaian perjalanan panjang, Metam dan Yopi kembali ke Ambon. Mereka kini memiliki identitas baru: anak asuh Bhikkhu Siri Ratano Mahathera. Dengan bantuan Bhante, mereka dimasukkan ke dalam Kartu Keluarga, sehingga untuk pertama kalinya mereka memiliki KTP. Ini adalah kunci untuk membuka pintu-pintu kehidupan modern.

​Bhikkhu Siri Ratano Mahathera tidak berhenti di situ. Bersama Metam dan Yopi, serta ditemani para umat, beliau memutuskan untuk melakukan perjalanan spiritual yang sesungguhnya: mendaki ke pedalaman Seram. Perjalanan ini adalah bentuk janji dan kasih sayang.

​Dengan dipandu Pak Taryono dan Pak Aseng serta relawan lain, mereka memulai pendakian yang berat. Selama tiga hari tiga malam, mereka harus menghadapi medan yang curam, berbatu, dan sering longsor. Banyak relawan yang tumbang sampai ada yang ditandu karena sudah tidak kuat berjalan karena kelelahan. Namun, Bhante Siri Ratano Mahathera dan rombongan tetap gigih, dipenuhi semangat untuk bertemu Suku Alifuru.

​Di Gunung Yamatitam, mereka disambut dengan perayaan besar. Suku Alifuru menampilkan tarian cakalele, sebuah tarian sakral yang membuat seluruh kampung kesurupan menari selama dua hari dua malam tanpa henti. Bhante dan para relawan tidak berani berkata-kata, mereka hanya menikmati suasana sakral sambil memakan siri pinang, simbol penerimaan dari suku.

​Perubahan dan Harapan

​Setelah peristiwa itu, Suku Alifuru akhirnya menyatakan diri sebagai pengikut Sang Buddha. Mereka mulai menuruti perkataan Bhante Siri Ratano, mengubah pola hidup mereka perlahan-lahan.

  • ​Dari yang dulunya nomaden, mereka mulai menetap di suatu tempat.

  • ​Yang dulunya tidak merawat orang sakit atau meninggal, kini mulai melakukannya.

  • ​Yang dulunya hanya mengandalkan berburu, sekarang mulai bercocok tanam.

  • Yang dulunya sering menebang bohong hanya untuk mendapatkan buruan sekarang mulai merawat pohon-pohon.

  • Yang dulu tidak bisa merawat diri, sekarang sudah mulai merawat diri.

​Bhante Siri Ratano Mahathera memiliki misi yang lebih besar yaitu pendidikan. Karena bhante percaya dengan pendidikan mereka akan bisa hidup berdampingan dengan alam dan masyarakat luar. Perlahan tapi pasti, beliau merayu orang tua dan mengajak anak-anak suku untuk turun gunung dan bersekolah. Tentu saja, ini tidak mudah. Beliau harus bernegosiasi dengan orang tua dan menghadapi medan perjalanan yang berbahaya.

​Ketika sampai di desa terdekat, mereka menghadapi masalah baru: tidak ada sekolah yang mau menerima anak-anak suku. Bhante Siri Ratano Mahathera  tidak menyerah. Ia memutuskan untuk membawa mereka ke Makassar. Dengan bantuan TNI, rombongan anak-anak kecil tanpa identitas ini berhasil sampai di Vihara Mawang, Makassar.

​Di sana, Bhante Siri Ratano Mahathera menjalin komunikasi dengan kepala desa setempat. Berkat karma baik, sang kepala desa memiliki kerabat seorang kepala sekolah. Akhirnya, anak-anak suku ini diterima di sekolah, memulai babak baru dalam hidup mereka.

​Hingga kini, Bhante Siri Ratano Mahathera terus membawa anak-anak Suku Alifuru untuk bersekolah. Banyak di antara mereka yang telah lulus dan kembali ke kampung halaman, membawa pulang ilmu dan pengetahuan yang mereka dapatkan. Mereka menjadi pembawa cahaya baru bagi Suku Alifuru di pedalaman Seram, meneruskan ajaran Nunu Sagu dalam versi yang lebih modern dan penuh harapan. Kemerdekaan yang dulu tak pernah di rasa kini mulai terasa. Tak ada kata menyerah ketika kita mau berusaha berjuang dalam dhamma demi hidup di Indonesia.








Selasa, 24 Oktober 2023

APA ITU UPASAKA DAN UPASIKA? Cara Menjadi Upasaka-Upasika (Cara Menjadi Umat Buddha)

UPASAKA DAN UPASIKA

(UMAT PERUMAH TANGGA dalam AGAMA Buddha)

 Upāsaka (maskulin) atau Upāsikā (feminin) adalah dua kata yang diambil dari bahasa Sansakerta dan Pali, berarti "penunggu" (''"attendant"'' dalam bahasa Inggris). Kedua kata tersebut adalah sebutan untuk pengikut Buddhisme (atau, dalam sejarahnya, Gautama Buddha) yang bukan merupakan biksu, biksuni, atau murid di sebuah kuil Buddhis, dan menjalankan sumpah tertentu. Dalam arti modern, kedua kata ini memiliki konotasi seseorang yang bersungguh-sungguh, yang mungkin dapat diartikan sebagai "umat awam yang taat" atau "pengikut awam yang taat".

Latihan Sila yang dijalankan Upasaka dan Upasika ada 5 sila dan 8 Sila

Kelima sila dasar (dalam bahasa Pali: pañcasīla) yang dipegang kaum upāsaka adalah:

1. Saya tak akan melakukan pembunuhan makhluk sadar;

2. Saya tak akan mengambil yang tak diberikan kepada saya;

3. Saya akan menghindari penyelewengan seksual;

4. Saya akan menghindari perkataan palsu;

5. Saya akan menghindari mabuk.

Dalam tradisi Theravada, pada hari-hari Uposatha, pengikut awam yang taat dapat meminta "Delapan Sila" dari para pendeta (Pali: uposathaŋ samādiyati).

1. Dilarang menyakiti dan membunuh makhluk hidup.

2. Dilarang mencuri.

3. Dilarang berhubungan seksual.

4. Dilarang mengeluarkan ucapan kasar, fitnah, bohong dan menyakiti makhluk lain.

5. Dilarang segala minuman keras serta bahan-bahan lainnya yang menyebabkan lemahnya kesadaran.

6. Dilarang makan pada waktu yang tidak tepat.

7. Dilarang menari, menyanyi, bermain musik, melihat permainan atau pertunjukkan, dan memakai alat kosmetik untuk tujuan mempercantik diri.

8. Dilarang menggunakan tempat tidur dan tempat duduk yang besar dan mewah.


Tradisi Theravada

Dalam tradisi Theravada tradisional, seorang nonpengikut Buddha dapat menjadi murid awam Buddhis dengan menyebutkan Triratna dan Pancasila sebagai jawaban dalam sebuah upacara khusus kepada seorang pendeta, atau oleh dirinya sendiri di depan sebuah stupa atau representasi Buddha. Bayi yang lahir pada orang tua pengikut Buddha, secara tradisional dimasukkan ke dalam agama Buddha dengan cara diikutkan ke sebuah kuil waktu purnama atau pada hari festival.

Tradisi Mahayana atau Wajrayana

Dalam tradisi Ch'an di Cina atau Zen di Jepang, inisiasi kaum awam dilakukan dengan sebuah upacara yang menyatakan mencari keselamatan dalam Triratna dan menerima pancasila (受戒 Hanyu Pinyin: shòujiè; Jepang: jukai).

Upacara ordinasi untuk menerima Pancasila, dalam tradisi Cina, dituliskan dalam bab ke-14 dalam Sutra Prinsip Upasaka (優婆塞戒經受戒品第十四).

Orang yang hendak menerima Pancasila pertama-tama memberi penghormatan pada enam arah, yang mewakili orang tua, guru, suami/istri, teman, guru agama, dan karyawan (awalnya pelayan). Menghormati keenam arah tersebut adalah "sebuah cara untuk mewakilkan hubungan timbal balik dalam tiap-tiap hubungan tersebut".

Seseorang yang telah menghormati hubungan-hubungan ini dan memberi penghormatan pada keenam arah kemudian harus meminta izin kepada orang tuanya untuk menerima prinsip Pancasila. Jika mereka setuju, ia akan memberi tahu pasangan dan karyawannya. Orang ini kemudian perlu meminta izin dari raja, meskipun tentunya untuk alasan yang jelas, hari ini izin terakhir ini sudah jarang diminta.

Orang itu, setelah memberi penghormatan kepada enam arah dan mendapat izin yang cocok, kini boleh meminta kepada pendeta untuk diberikan prinsip Pancasila. (Kini, upacara ini biasanya diadakan secara teratur dan diketuai oleh seorang ketua kuil atau perwakilannya; dan seseorang mungkin tak bisa begitu saja meminta kepada seorang pendeta untuk menjalankan upacara).

Kepanditaan dan orang itu kemudian akan berdialog. Kependetaan akan bertanya dan orang itu harus menjawab. Ia akan bertanya apakah orang itu telah memberi penghormatan kepada enam arah dan apakah ia telah mendapatkan izin yang sesuai. Ia kemudian akan bertanya pertanyaan-pertanyaan tertentu untuk memastikan bahwa orang itu belum pernah melakukan kesalahan serius, dan kuat baik secara fisik atau mental untuk menerima prinsip.

Kependetaan kemudian akan menjelaskan manfaat prinsip Pancasila, serta konsekuensi negatif untuk melanggar prinsip-prinsip tersebut; setelah itu orang yang meminta akan ditanyakan apakah sudah siap dan akan tetap berdedikasi pada Triratna. Kemudian, kependetaan akan bertanya apakah orang itu akan mengikuti kebiasaan-kebiasaan tertentu untuk menghindari melanggar prinsip, akan menghindarkan orang lain dari pelanggaran prinsip, dan menghindari ketergantungan pada khandha. Apabila orang tersebut sudah siap, pendeta kemudian akan meminta orang itu untuk mengikuti seluruh sarannya selama enam bulan selama berada di bawah supervisi teratur sang pendeta.

Jika setelah enam bulan sang murid telah menjalankan prinsip dengan baik, ia boleh meminta kepada kependetaan untuk mengambil prinsip secara formal. Murid itu kemudian akan meminta perlindungan kepada Triratna, dan kependetaan akan memastikan bahwa sang murid telah siap untuk mengambil seluruh prinsip (dan bukan hanya beberapa). Apabila sang murid berkomitmen untuk menjalankan semua prinsip, dan mengikutinya dengan si pendeta, maka ia telah menyelesaikan ordinasinya menjadi kaum awam.

Bab itu kemudian berakhir dengan penjelasan mengenai konsekuensi melanggar prinsip dan kewajiban yang harus dijalani setelah mendapatkan prinsip.

Pakaian upacara

Pakaian tradisional upāsaka di India adalah gaun putih, yang menunjukkan suatu tingkatan yang membedakan antara orang-orang awam dan kependetaan. Untuk alasan ini, teks-teks tradisional tertentu menyebut "kaum awam yang berbaju putih" (avadāta-vassana). Praktik ini masih dapat ditemukan di kuil Theravada modern, terutama saat seorang nonpenganut Buddhisme masuk dalam agama Buddha atau ketika seseorang sedang mengikuti delapan prinsip dalam hari uposatha.

Dalam tradisi Cina, kaum upāsaka dan upāsikā diperbolehkan mengenakan gaun putih untuk upacara kuil dan acara lain, begitu pun di rumah. Kaum upāsaka dan upāsikā mengenakan gaun hitam berlengan panjang yang disebut haiqing (海青), yang menunjukkan pencarian keselamatan mereka dalam Triratna. Kasaya cokelat yang disebut manyi (缦衣) yang dikenakan sebagai pengganti gaun hitam, mewakili komitmen mereka dalam menjaga prinsip Buddhis. Tidak seperti kaum pendeta, mereka tidak diperbolehkan memakai gaun di luar upacara keagamaan di kuil.

Orang awam Jepang juga dapat mengenakan rakusu, yaitu sebuah kain pendek yang dikenakan di leher. Bentuk lain adalah wagesa, sebuah kain pendek yang dikenakan di leher, dengan mon kuil yang bersangkutan dituliskan pada kain tersebut. Wagesa juga dapat berlaku sebagai kasaya yang sederhana.

Senin, 23 Oktober 2023

Ajaran Buddha Tentang Cara Sukses, karma, dan Sadar diri



Abhinhapaccavekkhana


Pali

Jarā-dhammomhi

jaram anatīto.


Byādhi-dhammomhi

byādhim anatīto.


Maraṇa-dhammomhi

maraṇam anatīto.


Sabbehi me piyehi manāpehi nānā-bhāvo vinā-bhāvo.


Kammassakomhi

kamma-dāyādo

kamma-yoni

kamma-bandhu

kamma-paṭisaraṇo.

Yam kammam karissāmi kalyāṇam vā pāpakam vā tassa dāyādo

bhavissāmi.


Evam amhehi abhiṇham paccavekkhitabbam.

Indonesia

Aku wajar mengalami usia tua.

Aku takkan mampu menghindari usia tua.


Aku wajar menyandang penyakit.

Aku takkan mampu menghindari penyakit.


Aku wajar mengalami kematian.

Aku takkan mampu menghindari kematian.


Segala milikku yang kucintai dan kusenangi wajar berubah, wajar terpisah dariku.


Aku adalah pemilik perbuatanku sendiri,

terwarisi oleh perbuatanku sendiri,

lahir dari perbuatanku sendiri,

berkerabat dengan perbuatanku sendiri,

bergantung pada perbuatanku sendiri.

Perbuatan apapun yang akan kulakukan,

baik atau pun buruk;

perbuatan itulah yang akan kuwarisi.



Demikian hendaknya kerap kali kita renungkan. 



 

Rabu, 18 Oktober 2017

Ajaran Buddha Tentang Makan dan Bahaya Kelaparan

 

KISAH SEORANG MURID AWAM
 Dhammapada XV: 203
Buddha membabarkan syair 203 berikut:

Kelaparan merupakan penyakit yang paling berat.
Segala sesuatu yang terkondisi
merupakan penderitaan yang paling besar.
Setelah mengetahui hal ini sebagaimana adanya,
orang bijaksana memahami bahwa
nibbana merupakan kebahagiaan tertinggi.


ADAPUN KISAHNYA SEBAGAI BERIKUT:

Suatu hari Sang Buddha mengetahui dari penglihatan-Nya bahwa terdapat seorang laki-laki miskin yang akan mampu mencapai tingkat kesucian sotapatti di Desa Alavi. Maka Sang Buddha pergi ke desa tersebut yang berjarak 30 yojana dari Savatthi.

Pada dini hari laki-laki tersebut kehilangan kerbau, maka dia pergi mencari kerbaunya. Sementara itu dana makanan sedang diberikan kepada Sang Buddha dan para bhikkhu di sebuah rumah di Desa Alavi. Setelah bersantap, orang-orang bersiap untuk mendengarkan khotbah Sang Buddha; tetapi Sang Buddha menunggu laki-laki itu.

Setelah menemukan kerbaunya, laki-laki itu datang dengan berlari-lari ke rumah di mana Sang Buddha berada. Laki-laki tersebut letih dan lapar, maka Sang Buddha meminta pada pendana yang berada di situ untuk memberi makan kepada laki-laki tersebut. Setelah laki-laki tersebut selesai makan, Sang Buddha memberikan khotbah, menjelaskan Dhamma tahap demi tahap, dan akhirnya sampai pada penjelasan tentang "Empat Kebenaran Mulia". Murid awam tersebut mencapai tingkat kesucian sotapatti pada saat khotbah berakhir.

Setelah itu Sang Buddha dan para bhikkhu pulang kembali ke Vihara Jetavana. Dalam perjalanan pulang, para bhikkhu berkata, sangat mengagetkan Sang Buddha meminta pada pendana makanan untuk memberikan makanan kepada laki-laki muda sebelum Beliau mulai berkhotbah.

Mendengar perkataan tersebut, Sang Buddha menjelaskan, "Para bhikkhu, apa yang kamu katakan adalah benar, tetapi kamu tidak mengerti mengapa saya datang ke tempat itu, yang berjarak 30 yojana, karena saya mengetahui bahwa ia dalam kondisi siap menerima Dhamma. Jika ia merasa sangat lapar, rasa sakit kelaparan itu akan menghalangi ia menerima Dhamma secara utuh. Laki-laki itu telah bepergian mencari kerbaunya sepanjang pagi, oleh karena itu ia sangat letih dan juga sangat lapar. Para bhikkhu, dari semuanya, tidak ada penderitaan yang sangat sulit ditanggung seperti kelaparan".


Kamis, 01 Juni 2017

SOAL UAS Agama Kelas XI SMA/SMK

UJIAN MID SEMESTER GANJIL
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Tahun Pelajaran 2016/2017



 
Mata Pelajaran               : Agama                                            Hari/Tanggal   : 
Kelas                              : XI IPA/IPS                                  Waktu             :  90 Menit



I.  Pilahan Ganda
1.    Setiap agama pasti memiliki suatu tradisi upacara keagamaan, di bawah ini yang bukan merupakan mafaat langsung yang didapat dari suatu upacara keagamaan adalah ....
a.    Meningkatnya Saddha
b.    Memiliki santi
c.    Mendapatkan Sukha
d.    Meningkatnya Akusalakamma
e.    Memiliki Santutthi
2.    Agama Buddha memperingatin 4 hari raya salah satunya yaitu khatina. Syarat-syarat pelaksanaan upacra jubah khatina di vihara atau cetiya adalah sebagai berikut, kecuali ....
a.    Jumlah Bhikkhu Minimal 5 orang
b.    Adanya Dewan Khusus Khatina
c.    Tepat Pada Waktunya
d.    Adanya Ruang Kathina
e.    Dilakukan Setelah Bhikkhu melaksanakan Vassa
3.      Cara penakbisan dengan Tisarana dilakukan setelah sang buddha menyebar 60 dhammaduta ke dunia. Penakbisan dengan Tisarana juga dijelaskan dalam kitab suci Tipitaka bagian ....
a.    Vinaya pitaka 1 : 22
b.    Angutara nikaya 2 : 56
c.    Abhidhamma pitaka
d.    Brahmajala sutta
e.    Udana VIII : 3
4.      Saddha yang diungkapkan dengan kata berlindung mempunyai tiga aspek yaitu ....
a.    Kemauan, harapan, dan perasaan
b.    Emosional, pengertian, dan pencerahaan
c.    Kemauan, pengertian, dan emosional
d.    Pengertian, harapan, dan emosional
e.    Kemauan, pencerahan, dan harapan
5.      Sila yang di jalankan seorang bhikkhuni berjumlah ....
a.    227
b.    250
c.    338
d.    311
e.    113
6.      Yang menimbulkan Sila dan merupakan pelindung dunia adalah ....
a.    Dhamma dan Vinaya
b.    Hiri dan Ottappa
c.    Sati dan Sampajana
d.    Saddha dan Viriya
e.    Santi dan Soracca
7.      Keadaan itu ada dua yaitu yang beryarat dan yang tidak beryarat, keadaan yang tak bersyarat disebut dengan ....
a.    Asankhata dhamma
b.    Sankhata dhamma
c.    Sankhara dhamma
d.    Sabbe dhamma anatta
e.    Dhamma patiruca
8.      Segala sesuatu yang terkondisi adalah dukha, penderitaan yang bersifat umum adalah ....
a.    Dukha-dukha
b.    Viparinama dukha
c.    Sankhara dukha
d.    Anicca dukha
e.    Anatta dukha
9.      Ketika seorang samana datang di suatu vihara bersama empat orang samana yang lain yang sudah di takbiskan menjadi bhikkhu dan berdiam di vihara disebut ....
a.    Ariya puggala
b.    Bhante
c.    Sangha
d.    Punggala
e.    Bhikkhu
10.  Dalam panca dhamma ada lima hal yang harus dilakukan untuk mendukung pancasila buddhis agar bisa dijalankan dengan maksimal, salah satunya untuk mendukung kita agar tidak melanggal sila ketiga adalah puas hanya memiliki satu istri atau suami disebut ....
a.    Kamesumicchacara
b.    Santutthi
c.    Sacca
d.    Samma ajiva
e.    Santi sampajanna
11.  Seorang upasakha dan upasikha harus menjalankan latihan moral minimal ....
a.    Patimokha
b.    Attha sila
c.    Dasa sila
d.    Panca sila
e.    Cula sila
12.  Kemampuan untuk mengetahui tentang kelahiran-kelahiran pada waktu yang lampau disebut dengan ....
a.     Cutupapatanana
b.    Asavakkhayanana
c.     Pubbenivasanussatinana
d.    Jhanasankilesadinana
13.  Empat sifat mulia (luhur) yang dimiliki sang buddha dan harus dikembangkan oleh semua orang disebut....
a. Brahma bhumi
b. Brahma vihara
c. Brahma virya
d. Brahma loka
       e. Brahma khanti
1.    Jelaskan pengertian Asankhata Dhamma! (Skor 3)
2.   Jelaskan mengenai syarat terjadinya makluk! (Skor 3)

SOAL AGAMA SMA/SMK Kelas X

UJIAN AKHIR SEMESTER GENAP
Sekolah Menengah Atas
Tahun Pelajaran 2016/2017



Mata Pelajaran               : Agama                                            Hari/Tanggal   : 
Kelas                              : X IPA&IPS                                            Waktu             :  90 Menit



I.  Pilahan Ganda
1.    Triratna pertama kali muncul setelah terjadi peristiwa ....
a.    Pertapa gotama mencapai ke Buddhaan
b.    Sang buddha membabarkan dhammackhapavatana sutta
c.    Sang buddha bertemu lima pertapa
d.    Sang buddha menakbiskan lima orang pertapa
e.    Sang buddha mengajak 60 arahat (dharma duta pertama)
2.    Penakbisan dengan menggunakan sistem Tisarana (berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha) pertama kali di ajarkan sang buddha kepada ....
a.    Lima orang pertapa
b.    Ananda, sariputta, dan moggalana
c.    60 arahat (dharma duta pertama)
d.    Kassapa bersaudara
e.    Para pertapa yang ada di jaman dulu
3.      Cara penakbisan dengan tisarana terdapat dalam kitab suci Tipitaka bagian ....
a.    Vinaya pitaka 1 : 22
b.    Angutara nikaya 2 : 56
c.    Abhidhamma pitaka
d.    Brahmajala sutta
e.    Udana VIII : 3
4.      Saddha yang diungkapkan dengan kata berlindung mempunyai tiga aspek yaitu ....
a.    Kemauan, harapan, dan perasaan
b.    Emosional, pengertian, dan pencerahaan
c.    Kemauan, pengertian, dan emosional
d.    Pengertian, harapan, dan emosional
e.    Kemauan, pencerahan, dan harapan