Karya : Triyo Wibowo, S.Pd.B
NIP : 199306302022031003
Penyuluh agama Buddha Kanwil Kemenag Provinsi Maluku
Cahaya di Atas Gunung Yamatitam
Di puncak-puncak gunung Pulau Seram Maluku yang diselimuti kabut, hiduplah Suku Alifuru, sebuah suku pedalaman yang tangguh simbol keberanian dan keteguhan. Sepajang Hidup mereka pindah dari satu tempat ketempat lain, walau Indonesia sudah merdeka mereka tetap hidup nomaden, menggantungkan hidup dengan cara berburu dan kearifan alam. Salah satu kearifan itu adalah filosofi Nunu Sagu, ajaran yang diturunkan dari leluhur, yang menekankan pentingnya harmoni dengan alam dan mencari bimbingan dari sosok suci. Mengajarkan bagaimana hidup menghargai alam, menghargai orang tua dan keluarga, serta menghargai Guru para dewa dan manusia.
Kisah ini tentang sosok penyelamat itu telah menjadi legenda di kalangan mereka. Seorang yang berkepala botak, mengenakan jubah berwarna tanah, dan memiliki ajaran dari Buddha. Buddha yang mereka ibaratkan sebagai seorang ibu yang akan melindungi, mendidik, dan membawa mereka ke kehidupan yang lebih baik.
Di antara mereka, hiduplah Metam, putra dari Raja Sabeo, pemimpin Suku Alifuru di Gunung Yamatitam. Sejak kecil, Metam telah memendam penasaran yang besar akan sosok legendaris dalam cerita para nenek moyang mereka yang turunkan terus menerus. Rasa penasaran itu mendorongnya untuk berkelana di hutan belantara, berburu sekaligus mencari petunjuk tentang sosok dalam cerita.
Suatu hari, di kedalaman hutan, ia bertemu dengan seorang asing yang dikenal dengan sebutan Pak Aseng, seorang pembalak hutan. Meski canggung dan ragu, Metam memberanikan diri mendekat. Namun, mereka tidak bisa berkomunikasi. Bahasa mereka berbeda, dinding budaya yang tak kasat mata memisahkan mereka.
Janji dan Panggilan Para Raja
Pak Aseng, dengan bahasa isyarat, mengajak Metam untuk turun ke kaki gunung. Ia ingin mempertemukan Metam dengan seseorang yang bisa menjadi "jembatan bahasa" bagi mereka. Metam setuju. Di desa di bawah gunung, seorang penerjemah membantu mereka berkomunikasi. Metam menceritakan legenda Nunu Sagu dan sosok penyelamat yang dicari sukunya.
Pak Aseng terkejut. Ia merasa cerita ini memiliki kemiripan dengan ajaran Buddha. Dengan mata berbinar, ia menawarkan untuk mempertemukan Metam dengan seorang Bhante atau Bhikkhu. Janji itu dibuat. Metam segera kembali ke gunung untuk menyampaikan kabar penting ini kepada sang ayah, Raja Sabeo.
Di puncak Gunung Yamatitam, kabar dari Metam memicu kegemparan. Raja Sabeo yang bijaksana, segera mengutus utusan untuk menghubungi raja-raja dari gunung lain: Gunung Von, Gunung Maikim, Gunung Payung, dan Gunung Komu-komu. Para raja berkumpul, mengadakan rapat besar.
Akhirnya, keputusan dibuat. Metam dan Yopi, putra dari Raja Yamatitam dan Raja Von, ditunjuk untuk menjadi perwakilan suku. Mereka akan turun gunung, mewakili harapan seluruh Suku Alifuru, untuk bertemu dengan sosok yang selama ini dicari.
Pertemuan dengan Sang Guru
Di sisi lain, Pak Aseng bergerak cepat. Ia menghubungi Pak Taryono, seorang pandita Buddha yang mengabdikan diri sebagai guru agama di Desa terpencil yang bernama Kopi Sonta. Pak Taryono dulunya adalah seorang samanera, sehingga ia sangat memahami jalan dharma.
Ketika Pak Aseng menceritakan tentang Metam, filosofi Nunu Sagu, dan pencarian Suku Alifuru akan sosok Bhikkhu, Pak Taryono dan keluarganya tersentuh. Mereka setuju untuk menampung Metam dan Yopi, serta menjadi jembatan antara mereka dengan Sangha Theravada Indonesia.
Pertemuan antara Metam, Yopi, dan Pak Taryono terasa penuh kehangatan. Mereka berdiskusi panjang, berbagi cerita dan harapan. Keluarga Pak Taryono menerima kedua pemuda itu seperti anak sendiri, sebelum akhirnya mereka memulai perjalanan panjang.
Mereka menuju ke Kota Ambon. Namun, perjalanan ini tidak mudah. Metam dan Yopi tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP). Tanpa KTP, mereka tidak bisa membeli tiket pesawat atau kapal. Masalah ini menjadi rintangan besar. Umat Buddha di Ambon bergerak cepat, menghubungi banyak pihak. Akhirnya, bantuan datang dari TNI. Mereka diberikan surat jalan khusus, yang memungkinkan Metam dan Yopi untuk membeli tiket kapal dan melanjutkan perjalanan ke Pulau Jawa.
Pengembaraan di Pulau Jawa dan Bali
Di Pulau Jawa, dunia baru terbentang di hadapan Metam dan Yopi. Mereka bertemu dengan para Bhante dan umat Buddha. Kunjungan ke candi-candi bersejarah di Jawa, seperti Candi Mendut, Candi Pawon, dan juga candi termegah umat Buddha yaitu Candi Borobudur menjadi pengalaman spiritual yang mendalam. Mereka mulai belajar tentang ajaran Buddha yang selama ini hanya menjadi legenda.
Sebagian waktu mereka dihabiskan di kediaman Ibu Kesi, seorang umat Buddha yang ramah dan penuh kasih. Dirumah ibu Kesi di Desa Telogo Wungu Kecamatan Kaloran Kabupaten Temanggung, Ibu Kesi dan keluarganya menganggap Metam dan Yopi sebagai anak sendiri. Mereka mengajarkan banyak hal seperti Bahasa Indonesia, membaca, berhitung, berkebun, dan cara hidup seperti masyarakat pada umumnya.
Beberapa bulan kemudian, perjalanan mereka berlanjut ke Batu Malang. Di sana, mereka bertemu dengan Bhikkhu Siri Ratano Mahathera, sosok yang kharismatik dan bijaksana. Melalui bimbingan beliau, Metam dan Yopi semakin yakin bahwa Bhante adalah sosok penyelamat yang mereka cari. Ajaran-ajaran yang disampaikan Bhante Siri Ratano Mahathera seolah menjawab semua pertanyaan yang selama ini ada di benak mereka.
Setelah dari Malang, mereka melanjutkan perjalanan ke Pulau Bali. Di sana, mereka tidak hanya belajar tentang spiritualitas, tetapi juga keahlian praktis seperti menempa parang dan bertani. Ini adalah bekal berharga yang akan mereka bawa pulang untuk suku mereka.
Pulang dengan Cahaya Baru
Setelah serangkaian perjalanan panjang, Metam dan Yopi kembali ke Ambon. Mereka kini memiliki identitas baru: anak asuh Bhikkhu Siri Ratano Mahathera. Dengan bantuan Bhante, mereka dimasukkan ke dalam Kartu Keluarga, sehingga untuk pertama kalinya mereka memiliki KTP. Ini adalah kunci untuk membuka pintu-pintu kehidupan modern.
Bhikkhu Siri Ratano Mahathera tidak berhenti di situ. Bersama Metam dan Yopi, serta ditemani para umat, beliau memutuskan untuk melakukan perjalanan spiritual yang sesungguhnya: mendaki ke pedalaman Seram. Perjalanan ini adalah bentuk janji dan kasih sayang.
Dengan dipandu Pak Taryono dan Pak Aseng serta relawan lain, mereka memulai pendakian yang berat. Selama tiga hari tiga malam, mereka harus menghadapi medan yang curam, berbatu, dan sering longsor. Banyak relawan yang tumbang sampai ada yang ditandu karena sudah tidak kuat berjalan karena kelelahan. Namun, Bhante Siri Ratano Mahathera dan rombongan tetap gigih, dipenuhi semangat untuk bertemu Suku Alifuru.
Di Gunung Yamatitam, mereka disambut dengan perayaan besar. Suku Alifuru menampilkan tarian cakalele, sebuah tarian sakral yang membuat seluruh kampung kesurupan menari selama dua hari dua malam tanpa henti. Bhante dan para relawan tidak berani berkata-kata, mereka hanya menikmati suasana sakral sambil memakan siri pinang, simbol penerimaan dari suku.
Perubahan dan Harapan
Setelah peristiwa itu, Suku Alifuru akhirnya menyatakan diri sebagai pengikut Sang Buddha. Mereka mulai menuruti perkataan Bhante Siri Ratano, mengubah pola hidup mereka perlahan-lahan.
Dari yang dulunya nomaden, mereka mulai menetap di suatu tempat.
Yang dulunya tidak merawat orang sakit atau meninggal, kini mulai melakukannya.
Yang dulunya hanya mengandalkan berburu, sekarang mulai bercocok tanam.
Yang dulunya sering menebang bohong hanya untuk mendapatkan buruan sekarang mulai merawat pohon-pohon.
Yang dulu tidak bisa merawat diri, sekarang sudah mulai merawat diri.
Bhante Siri Ratano Mahathera memiliki misi yang lebih besar yaitu pendidikan. Karena bhante percaya dengan pendidikan mereka akan bisa hidup berdampingan dengan alam dan masyarakat luar. Perlahan tapi pasti, beliau merayu orang tua dan mengajak anak-anak suku untuk turun gunung dan bersekolah. Tentu saja, ini tidak mudah. Beliau harus bernegosiasi dengan orang tua dan menghadapi medan perjalanan yang berbahaya.
Ketika sampai di desa terdekat, mereka menghadapi masalah baru: tidak ada sekolah yang mau menerima anak-anak suku. Bhante Siri Ratano Mahathera tidak menyerah. Ia memutuskan untuk membawa mereka ke Makassar. Dengan bantuan TNI, rombongan anak-anak kecil tanpa identitas ini berhasil sampai di Vihara Mawang, Makassar.
Di sana, Bhante Siri Ratano Mahathera menjalin komunikasi dengan kepala desa setempat. Berkat karma baik, sang kepala desa memiliki kerabat seorang kepala sekolah. Akhirnya, anak-anak suku ini diterima di sekolah, memulai babak baru dalam hidup mereka.
Hingga kini, Bhante Siri Ratano Mahathera terus membawa anak-anak Suku Alifuru untuk bersekolah. Banyak di antara mereka yang telah lulus dan kembali ke kampung halaman, membawa pulang ilmu dan pengetahuan yang mereka dapatkan. Mereka menjadi pembawa cahaya baru bagi Suku Alifuru di pedalaman Seram, meneruskan ajaran Nunu Sagu dalam versi yang lebih modern dan penuh harapan. Kemerdekaan yang dulu tak pernah di rasa kini mulai terasa. Tak ada kata menyerah ketika kita mau berusaha berjuang dalam dhamma demi hidup di Indonesia.